Mobil Adrian memasuki gerbang rumahnya yang tinggi dan otomatis. Gerbang itu menutup di belakangnya dengan bunyi mekanis yang sunyi. Ia mematikan mesin di carport yang luas. Keheningan total kini menggantikan deru mesin. Lampu sensor menyala, memandikan mobil hitam itu dalam cahaya putih yang dingin.
Adrian tetap duduk di kursi pengemudi selama satu menit penuh, hanya mendengarkan napas Dara di belakang. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena antisipasi sebuah sensasi yang tidak ia rasakan sejak ia memenangkan beasiswa pertamanya ke London.
Ia membuka pintu mobilnya. Bau dingin dan bersih udara malam menyambutnya, segera melawan bau parfum dan alkohol yang menyebar dari interior mobil. Ia berjalan mengitari mobil, membuka pintu kursi belakang, dan menatap Dara yang terlelap.
Wajah Dara, tanpa riasan klub malam yang tebal, terlihat jauh lebih muda, nyaris seperti anak kecil. Kepalanya bersandar canggung di jendela, bibirnya sedikit terbuka. Adrian bisa saja merasa bersalah, tetapi ia mengingatkan dirinya sendiri pada tiga JPEG di ponselnya dan kalimat terakhir gadis itu yang penuh provokasi.
Ia meraih Dara. Tubuh gadis itu terasa ringan dan lembek karena mabuk. Ia mengangkatnya, menopang punggungnya dengan satu lengan dan kakinya dengan lengan yang lain. Kain gaunnya yang halus terasa dingin di kulit lengannya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Adrian Mahesa menyentuh seseorang selain dalam konteks jabat tangan formal, dan yang ia sentuh adalah masalah terbesarnya.
Ia membawa Dara melewati pintu kayu jati besar, masuk ke rumahnya yang didominasi oleh warna krem, abu-abu, dan putih. Sebuah rumah yang mencerminkan ketenangan logis pemiliknya. Ia tidak membawanya ke kamar tamu melainkan membawanya lurus ke kamar pribadinya.
Ini adalah tindakan yang ia tahu melanggar setiap kode etik, setiap etika profesional, dan mungkin juga akal sehat. Tetapi ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah lelaki gay. Dia adalah tamu tak diundang di rumahnya, di kamarnya, di ruang pribadinya yang paling dijaga.
Adrian meletakkan Dara dengan hati-hati di ranjang king-size miliknya. Ia meraih ponselnya, berniat menyingkirkan tiga file JPEG provokatif itu. Tindakan ini harus segera diakhiri, sebelum semua menjadi lebih rumit.
Namun, saat ia menekan tombol delete, pergerakan tiba-tiba di ranjang menghentikannya.
Dara, yang tadi tampak pingsan, tiba-tiba membuka matanya. "Pak Dosen..." gumamnya, suaranya kini lebih berat, lebih sensual, dan sama sekali tidak cadel.
Adrian membeku, nalurinya langsung membunyikan alarm keras. Ini bukan lagi Dara yang tidak berdaya.
"Jangan bergerak," perintah Adrian, suaranya rendah dan tajam. "Saya akan tidur di kamar sebelah sekarang."
Dara terkikik, tawa kecil yang terdengar gila dan tidak pada tempatnya. Dengan kekuatan yang mengejutkan untuk seseorang yang baru saja mabuk parah, ia mendorong dirinya ke posisi duduk. Matanya yang gelap, sedikit buram karena alkohol, menatap Adrian dengan fokus yang mengerikan.
"Kenapa buru-buru?" Dara mencondongkan tubuhnya ke depan, jarak antara mereka kini hanya beberapa jengkal. "Saya mau tunjukin sesuatu."
Adrian mencoba melangkah mundur, tetapi ranjang besar itu menghalangi. "Dara, kamu mabuk. Ini adalah pelecehan."
Gadis itu bergerak cepat. Sebelum Adrian sempat bereaksi penuh, tangan Dara yang dingin dan lembap melingkari leher Adrian, menarik dasi longgarnya dengan kasar. Gerakan itu tiba-tiba, didorong oleh kekuatan alkohol yang tidak terduga.
"Nggak ada pelecehan kalau sama-sama mau, Pak," bisik Dara, wajahnya sangat dekat. "Dan saya akan berusaha biar Bapak juga mau."
Adrian terkejut. Otaknya berteriak melawan, tetapi tubuhnya, yang tidak pernah dalam situasi fisik yang kasar, terasa kaku. Ia adalah seorang ahli ekonomi makro, bukan petarung.
Dara mengunci Adrian dalam pelukannya, menciumnya dengan paksa. Ciuman itu terasa panas, basah, dan sangat kacau, membawa serta rasa alkohol dan aroma parfum manis. Adrian mencoba mendorongnya, tetapi Dara menekan tubuhnya lebih keras, membuatnya jatuh ke ranjang.
Kemeja Adrian robek sedikit di bahu karena gerakan kasar itu. Adrian Mahesa, pria yang mengendalikan pasar, kini kehilangan kendali atas dirinya sendiri di ranjang kamarnya sendiri.
Saat Dara mulai mencengkeram dan merobek kemeja Adrian, dalam keputusasaan yang dingin, naluri Adrian mengambil alih. Bukan naluri untuk melawan fisik, melainkan naluri untuk mengamankan bukti.
Tangannya bergerak secepat kilat. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di dekatnya, jari-jarinya yang presisi menemukan aplikasi perekam video, dan dengan satu gerakan, ia menyalakannya. Layar ponsel ia sembunyikan di balik punggung Dara. Lampu indikator merekam berkedip-kedip kecil, nyaris tak terlihat, menjadi satu-satunya saksi bisu.
Adrian berhenti melawan dengan sekuat tenaga, membiarkan Dara menyerang dengan cara yang penuh kekacauan dan tanpa persetujuan, hanya berjuang untuk menjaga ponsel tetap merekam. Ia membiarkan Dara melakukan apa yang ingin ia lakukan, mencatat setiap detail gerakan, desahan, setiap momen dari serangan seksual yang dipaksakan ini. Ini bukan penyerahan diri, ini adalah perangkap. Dara sedang menggali kuburnya sendiri, dan Adrian memastikan rekaman itu akan menjadi palu godam.
Ia hanya menggumamkan beberapa kata perlawanan yang terekam, untuk menghilangkan keraguan bahwa ini adalah tindakan sukarela. "Dara, hentikan... Anda akan menyesali ini."
Namun, Dara yang dikuasai alkohol dan delusi tidak peduli. Ia terus maju dengan kekerasan yang mengerikan, mencabut kancing, menarik kulit, memaksa kehendaknya.
***
Saat fajar mulai menyingsing, serangan itu berakhir. Dara Prameswari, setelah melampiaskan hasratnya yang tertahan di umurnya yang ke -20, akhirnya jatuh pingsan lagi di atas tubuh Adrian, kelelahan, dan berbau alkohol.
Adrian Mahesa terbaring diam, napasnya berat dan tidak teratur. Kemejanya robek, kulitnya merah dan memar, rambutnya berantakan, dan harga dirinya terasa tercabik-cabik. Ia menyingkirkan tubuh Dara dari dirinya dengan hati-hati.
Hal pertama yang ia lakukan bukanlah mandi atau panik, melainkan memeriksa ponselnya.
Rekaman itu sempurna. Cahaya kamar yang redup, suara Dara yang jelas, dan gumaman penolakan Adrian yang terekam. Sebuah file video berdurasi 37 menit, bukti yang sangat kuat dari serangan seksual yang dilakukan oleh mahasiswinya.
Adrian bangkit, tubuhnya terasa berat dan terkejut, tetapi pikirannya dingin dan tajam. Ia berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri dan mengenakan pakaian bersih.
Ketika ia keluar, ia mendapati Dara mulai bergerak-gerak di ranjang.
Adrian tidak menyalakan lampu. Ia membiarkan Dara terbangun dalam kegelapan abu-abu pagi.
Dara mengerang, memegang kepalanya yang berdenyut. Ia membuka mata dan menemukan dirinya di ranjang yang tidak dikenalnya, dengan tubuhnya yang terasa sakit dan basah. Ia segera menoleh dan melihat Adrian Mahesa duduk di sofa, sama teraturnya seperti biasa, tetapi tatapannya kini bukan lagi dingin melainkan mematikan.
"P-pak Adrian..." Dar bergumam, mencoba mengingat. Ingatannya kabur, hanya menyisakan kilasan gila.
Adrian berdiri, berjalan ke ranjang, dan kali ini ia tidak membiarkan Dara berbicara. Ia mengambil ponselnya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menekan tombol play.
Suara yang memenuhi kamar adalah suara Dara. Tawa gila, tarikan napas berat, dan kalimat-kalimat yang jelas berisi pemaksaan. Dara mendengar suaranya sendiri, kemudian suara Adrian yang samar menolak. Ia melihat dirinya di layar, wajahnya yang mabuk dan menyerang.
Dara menatap ponsel itu, lalu menatap Adrian, wajahnya pucat pasi hingga ke bibir. Keberaniannya, kesombongannya, dan alkoholnya menguap habis, digantikan oleh ketakutan yang mendalam.
"Semalem... kita...?" tanya Dar, suaranya nyaris tidak percaya.
"Saya sengaja merekamnya untuk bukti," jawab Adrian, suaranya tenang, datar, tanpa ampun. "Anda memasuki rumah saya tanpa izin. Anda mengirimkan konten provokatif. Dan Anda, Nyonya Prameswari, baru saja melakukan penyerangan seksual terhadap dosen pembimbing Anda sendiri. Itu adalah kejahatan."
Ia mematikan video itu. Ruangan menjadi senyap, hanya menyisakan suara napas Dara yang tercekik.
"Anda ingin membuktikan bahwa saya bukan gay?" Adrian maju selangkah. "Ya... saya bukan gay. Ini buktinya!”
Dara terdiam lama.
“Kenapa? Menyesal? Saya siap tanggung jawab!” lanjut Adrian tiba – tiba, setelah melihat bercak darah di spreinya.
“Bu-bukan gitu, Pak. Saya ... memang menyesal... bukan karna keperawanan saya hilang. Tapi, karna saya udah terkontaminasi...” Jelas Dara dengan wajah ketakutan.
“Maksud kamu?”
“Bapak kan biasa main pedang – pedangan dan masuk ke lobang matahari.. jelas kotor! Sementara.. punya saya masih higienis, Pak!”
“Kamu masih ngira saya ini, gay?”
---TBC---
Mobil Adrian memasuki gerbang rumahnya yang tinggi dan otomatis. Gerbang itu menutup di belakangnya dengan bunyi mekanis yang sunyi. Ia mematikan mesin di carport yang luas. Keheningan total kini menggantikan deru mesin. Lampu sensor menyala, memandikan mobil hitam itu dalam cahaya putih yang dingin.Adrian tetap duduk di kursi pengemudi selama satu menit penuh, hanya mendengarkan napas Dara di belakang. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena antisipasi sebuah sensasi yang tidak ia rasakan sejak ia memenangkan beasiswa pertamanya ke London.Ia membuka pintu mobilnya. Bau dingin dan bersih udara malam menyambutnya, segera melawan bau parfum dan alkohol yang menyebar dari interior mobil. Ia berjalan mengitari mobil, membuka pintu kursi belakang, dan menatap Dara yang terlelap.Wajah Dara, tanpa riasan klub malam yang tebal, terlihat jauh lebih muda, nyaris seperti anak kecil. Kepalanya bersandar canggung di jendela, bibirnya sedikit terbuka. Adrian bisa saja meras
Malam baru saja melewati puncaknya. Adrian Mahesa melangkah keluar dari lobi hotel bintang lima dengan langkah yang sama presisi dan terukurnya seperti biasa. Udara malam yang lembap menyambutnya, membawa gema samar dari dentuman bass yang berasal dari sayap gedung yang lain dari sebuah klub malam yang bising dan, menurutnya, tidak berkelas.Ia melonggarkan dasinya sepersekian inci, satu-satunya tanda kelegaan setelah tiga jam rapat makan malam dengan seorang profesor tamu dari Universitas Heidelberg. Diskusi mereka tentang ekonomi makro Eropa sangat merangsang secara intelektual, tetapi interaksi sosial yang panjang selalu menguras energinya.Ia menuruni eskalator menuju parkiran basement yang lengang. Aroma beton lembap dan ban karet terasa menenangkan setelah aroma makanan mahal dan parfum di lantai atas. Baginya, ini adalah transisi kembali ke dunianya yang sunyi, teratur, dan dapat diprediksi. Klub malam dengan musiknya yang menghentak itu adalah anomali, polusi suara di dalam du
Keheningan yang ditinggalkan oleh Dr. Adrian Mahesa terasa lebih bising daripada teriakan apa pun. Dara dan Riana duduk membeku di bangku taman, tawa mereka yang tadinya renyah kini terasa seperti pecahan kaca di tenggorokan. Wajah Riana pucat, sementara Dara merasa seluruh darah di tubuhnya telah mengalir ke kaki, membuatnya berat dan dingin."Dia... dia denger nggak ya, Dar?" bisik Riana, suaranya gemetar.Dara tidak bisa menjawab. Ia tahu jawabannya. Tentu saja dia dengar. Cara Adrian berjalan melewatinya tanpa sedikit pun melirik, dengan aura yang seribu kali lebih dingin dari biasanya, adalah konfirmasi yang lebih dari cukup. Ia terlihat tidak marah dan tidak tersinggung. Ia jauh di atas itu semua. Ia hanya menghapus eksistensi Dara dari radarnya. Bagi seorang mahasiswa yang kelangsungan hidup akademisnya bergantung pada satu orang, itu adalah hukuman mati."Mampus gue, Ri. Mampus," desis Dara, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Selesai sudah riwayat skripsi gue. Bisa-bisa g
Koridor Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) jam tiga sore itu ramai banget. Aroma kertas dari ruang fotokopi berpadu dengan wangi parfum mahasiswa yang lalu-lalang, ditambah desing samar pendingin ruangan yang bekerja keras. Tapi, di ujung lorong lantai tiga, di depan pintu kayu solid dengan papan nama dari kuningan bertuliskan Dr. Adrian Mahesa, S.E., M.B.A., udaranya terasa dingin dan tipis. Kayak ada aura menekan, membuat bahu terasa berat dan napas jadi sesak.Dara Prameswari merasakan tekanan itu di setiap tarikan napasnya. Sambil memeluk map berisi draf Bab 1 dan 2 skripsinya, ia bersandar di dinding, menunggu pintu itu terbuka. Sudah lima belas menit ia di sana. Bukan karena Dr. Adrian telat, tapi karena Dara sengaja datang duluan biar mentalnya siap. Menghadapi Dr. Adrian Mahesa dalam sesi bimbingan itu ujian yang lebih berat daripada semua ujian akhir semester digabung jadi satu.Dosen muda itu sudah jadi legenda kampus. Bukan cuma karena prestasi internasionalnya yang sering d