Home / Romansa / Bimbingan Terlarang Dosen Gay / Bab 4 Siap tanggung jawab

Share

Bab 4 Siap tanggung jawab

Author: Penulis Hoki
last update Last Updated: 2025-09-28 00:51:20

Mobil Adrian memasuki gerbang rumahnya yang tinggi dan otomatis. Gerbang itu menutup di belakangnya dengan bunyi mekanis yang sunyi. Ia mematikan mesin di carport yang luas. Keheningan total kini menggantikan deru mesin. Lampu sensor menyala, memandikan mobil hitam itu dalam cahaya putih yang dingin.

Adrian tetap duduk di kursi pengemudi selama satu menit penuh, hanya mendengarkan napas Dara di belakang. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena antisipasi sebuah sensasi yang tidak ia rasakan sejak ia memenangkan beasiswa pertamanya ke London.

Ia membuka pintu mobilnya. Bau dingin dan bersih udara malam menyambutnya, segera melawan bau parfum dan alkohol yang menyebar dari interior mobil. Ia berjalan mengitari mobil, membuka pintu kursi belakang, dan menatap Dara yang terlelap.

Wajah Dara, tanpa riasan klub malam yang tebal, terlihat jauh lebih muda, nyaris seperti anak kecil. Kepalanya bersandar canggung di jendela, bibirnya sedikit terbuka. Adrian bisa saja merasa bersalah, tetapi ia mengingatkan dirinya sendiri pada tiga JPEG di ponselnya dan kalimat terakhir gadis itu yang penuh provokasi.

Ia meraih Dara. Tubuh gadis itu terasa ringan dan lembek karena mabuk. Ia mengangkatnya, menopang punggungnya dengan satu lengan dan kakinya dengan lengan yang lain. Kain gaunnya yang halus terasa dingin di kulit lengannya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Adrian Mahesa menyentuh seseorang selain dalam konteks jabat tangan formal, dan yang ia sentuh adalah masalah terbesarnya.

Ia membawa Dara melewati pintu kayu jati besar, masuk ke rumahnya yang didominasi oleh warna krem, abu-abu, dan putih. Sebuah rumah yang mencerminkan ketenangan logis pemiliknya. Ia tidak membawanya ke kamar tamu melainkan membawanya lurus ke kamar pribadinya.

Ini adalah tindakan yang ia tahu melanggar setiap kode etik, setiap etika profesional, dan mungkin juga akal sehat. Tetapi ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah lelaki gay. Dia adalah tamu tak diundang di rumahnya, di kamarnya, di ruang pribadinya yang paling dijaga.

Adrian meletakkan Dara dengan hati-hati di ranjang king-size miliknya. Ia meraih ponselnya, berniat menyingkirkan tiga file JPEG provokatif itu. Tindakan ini harus segera diakhiri, sebelum semua menjadi lebih rumit.

Namun, saat ia menekan tombol delete, pergerakan tiba-tiba di ranjang menghentikannya.

Dara, yang tadi tampak pingsan, tiba-tiba membuka matanya. "Pak Dosen..." gumamnya, suaranya kini lebih berat, lebih sensual, dan sama sekali tidak cadel.

Adrian membeku, nalurinya langsung membunyikan alarm keras. Ini bukan lagi Dara yang tidak berdaya.

"Jangan bergerak," perintah Adrian, suaranya rendah dan tajam. "Saya akan tidur di kamar sebelah sekarang."

Dara terkikik, tawa kecil yang terdengar gila dan tidak pada tempatnya. Dengan kekuatan yang mengejutkan untuk seseorang yang baru saja mabuk parah, ia mendorong dirinya ke posisi duduk. Matanya yang gelap, sedikit buram karena alkohol, menatap Adrian dengan fokus yang mengerikan.

"Kenapa buru-buru?" Dara mencondongkan tubuhnya ke depan, jarak antara mereka kini hanya beberapa jengkal. "Saya mau tunjukin sesuatu."

Adrian mencoba melangkah mundur, tetapi ranjang besar itu menghalangi. "Dara, kamu mabuk. Ini adalah pelecehan."

Gadis itu bergerak cepat. Sebelum Adrian sempat bereaksi penuh, tangan Dara yang dingin dan lembap melingkari leher Adrian, menarik dasi longgarnya dengan kasar. Gerakan itu tiba-tiba, didorong oleh kekuatan alkohol yang tidak terduga.

"Nggak ada pelecehan kalau sama-sama mau, Pak," bisik Dara, wajahnya sangat dekat. "Dan saya akan berusaha biar Bapak juga mau."

Adrian terkejut. Otaknya berteriak melawan, tetapi tubuhnya, yang tidak pernah dalam situasi fisik yang kasar, terasa kaku. Ia adalah seorang ahli ekonomi makro, bukan petarung.

Dara mengunci Adrian dalam pelukannya, menciumnya dengan paksa. Ciuman itu terasa panas, basah, dan sangat kacau, membawa serta rasa alkohol dan aroma parfum manis. Adrian mencoba mendorongnya, tetapi Dara menekan tubuhnya lebih keras, membuatnya jatuh ke ranjang.

Kemeja Adrian robek sedikit di bahu karena gerakan kasar itu. Adrian Mahesa, pria yang mengendalikan pasar, kini kehilangan kendali atas dirinya sendiri di ranjang kamarnya sendiri.

Saat Dara mulai mencengkeram dan merobek kemeja Adrian, dalam keputusasaan yang dingin, naluri Adrian mengambil alih. Bukan naluri untuk melawan fisik, melainkan naluri untuk mengamankan bukti.

Tangannya bergerak secepat kilat. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di dekatnya, jari-jarinya yang presisi menemukan aplikasi perekam video, dan dengan satu gerakan, ia menyalakannya. Layar ponsel ia sembunyikan di balik punggung Dara. Lampu indikator merekam berkedip-kedip kecil, nyaris tak terlihat, menjadi satu-satunya saksi bisu.

Adrian berhenti melawan dengan sekuat tenaga, membiarkan Dara menyerang dengan cara yang penuh kekacauan dan tanpa persetujuan, hanya berjuang untuk menjaga ponsel tetap merekam. Ia membiarkan Dara melakukan apa yang ingin ia lakukan, mencatat setiap detail gerakan, desahan, setiap momen dari serangan seksual yang dipaksakan ini. Ini bukan penyerahan diri, ini adalah perangkap. Dara sedang menggali kuburnya sendiri, dan Adrian memastikan rekaman itu akan menjadi palu godam.

Ia hanya menggumamkan beberapa kata perlawanan yang terekam, untuk menghilangkan keraguan bahwa ini adalah tindakan sukarela. "Dara, hentikan... Anda akan menyesali ini."

Namun, Dara yang dikuasai alkohol dan delusi tidak peduli. Ia terus maju dengan kekerasan yang mengerikan, mencabut kancing, menarik kulit, memaksa kehendaknya.

***

Saat fajar mulai menyingsing, serangan itu berakhir. Dara Prameswari, setelah melampiaskan hasratnya yang tertahan di umurnya yang ke -20, akhirnya jatuh pingsan lagi di atas tubuh Adrian, kelelahan, dan berbau alkohol.

Adrian Mahesa terbaring diam, napasnya berat dan tidak teratur. Kemejanya robek, kulitnya merah dan memar, rambutnya berantakan, dan harga dirinya terasa tercabik-cabik. Ia menyingkirkan tubuh Dara dari dirinya dengan hati-hati.

Hal pertama yang ia lakukan bukanlah mandi atau panik, melainkan memeriksa ponselnya.

Rekaman itu sempurna. Cahaya kamar yang redup, suara Dara yang jelas, dan gumaman penolakan Adrian yang terekam. Sebuah file video berdurasi 37 menit, bukti yang sangat kuat dari serangan seksual yang dilakukan oleh mahasiswinya.

Adrian bangkit, tubuhnya terasa berat dan terkejut, tetapi pikirannya dingin dan tajam. Ia berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri dan mengenakan pakaian bersih.

Ketika ia keluar, ia mendapati Dara mulai bergerak-gerak di ranjang.

Adrian tidak menyalakan lampu. Ia membiarkan Dara terbangun dalam kegelapan abu-abu pagi.

Dara mengerang, memegang kepalanya yang berdenyut. Ia membuka mata dan menemukan dirinya di ranjang yang tidak dikenalnya, dengan tubuhnya yang terasa sakit dan basah. Ia segera menoleh dan melihat Adrian Mahesa duduk di sofa, sama teraturnya seperti biasa, tetapi tatapannya kini bukan lagi dingin melainkan mematikan.

"P-pak Adrian..." Dar bergumam, mencoba mengingat. Ingatannya kabur, hanya menyisakan kilasan gila.

Adrian berdiri, berjalan ke ranjang, dan kali ini ia tidak membiarkan Dara berbicara. Ia mengambil ponselnya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menekan tombol play.

Suara yang memenuhi kamar adalah suara Dara. Tawa gila, tarikan napas berat, dan kalimat-kalimat yang jelas berisi pemaksaan. Dara mendengar suaranya sendiri, kemudian suara Adrian yang samar menolak. Ia melihat dirinya di layar, wajahnya yang mabuk dan menyerang.

Dara menatap ponsel itu, lalu menatap Adrian, wajahnya pucat pasi hingga ke bibir. Keberaniannya, kesombongannya, dan alkoholnya menguap habis, digantikan oleh ketakutan yang mendalam.

"Semalem... kita...?" tanya Dar, suaranya nyaris tidak percaya.

"Saya sengaja merekamnya untuk bukti," jawab Adrian, suaranya tenang, datar, tanpa ampun. "Anda memasuki rumah saya tanpa izin. Anda mengirimkan konten provokatif. Dan Anda, Nyonya Prameswari, baru saja melakukan penyerangan seksual terhadap dosen pembimbing Anda sendiri. Itu adalah kejahatan."

Ia mematikan video itu. Ruangan menjadi senyap, hanya menyisakan suara napas Dara yang tercekik.

"Anda ingin membuktikan bahwa saya bukan gay?" Adrian maju selangkah. "Ya... saya bukan gay. Ini buktinya!”

Dara terdiam lama.

“Kenapa? Menyesal? Saya siap tanggung jawab!” lanjut Adrian tiba – tiba, setelah melihat bercak darah di spreinya.

“Bu-bukan gitu, Pak. Saya ... memang menyesal... bukan karna keperawanan saya hilang. Tapi, karna saya udah terkontaminasi...” Jelas Dara dengan wajah ketakutan.

“Maksud kamu?”

“Bapak kan biasa main pedang – pedangan dan masuk ke lobang matahari.. jelas kotor! Sementara.. punya saya masih higienis, Pak!”

“Kamu masih ngira saya ini, gay?”

---TBC---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 49 Pertemuan kedua

    Adrian mendengus, sudut bibirnya terangkat sedikit. Senyum miring yang biasa ia tunjukkan sebelum menerkam mangsanya. Ia melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga Dara bisa mencium aroma yang kini begitu akrab di indra penciumannya. Aroma yang sama yang melekat di bantalnya setiap pagi."Jangan konyol," kata Adrian. Tangannya terulur, jari-jarinya yang panjang menyentuh rahang Dara, mendongakkan wajah gadis itu. "Kamu terlihat terlalu rapi."Dara menahan napas saat ibu jari Adrian mengusap kulit lehernya yang sensitif. Ia tahu sentuhan ini. Ia tahu ke mana arahnya. "Jadi? Anda mau saya berantakin rambut?""Kurang," bisik Adrian. Tatapannya turun ke perpotongan leher dan bahu Dara. "Kita perlu memastikan ibuku tahu bahwa anaknya yang dingin ini berfungsi dengan sangat baik. Bahwa kita tidak hanya berpegangan tangan di taman."Dara mengerti seketika. Wajahnya memanas."Kenapa? Keberatan?" tantang Adrian, alisnya terangkat. "Kita suda

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 48 Tanda yang asli

    Adrian menepati janjinya, meski dengan wajah yang seakan-akan baru saja menelan lemon utuh.Satu jam kemudian, sebuah taksi berhenti di depan gerbang besi raksasa kediaman Mahesa. Dari jendela lantai dua, Dara melihat Riana turun dengan mulut menganga. Temannya itu berputar-putar, menatap pilar-pilar marmer dan taman yang luasnya seperti alun-alun kota, sebelum akhirnya terlihat ragu untuk menekan bel."Dia terlihat seperti turis yang tersesat," komentar Adrian yang berdiri di samping Dara. Tangannya bersedekap, tatapannya menilai. "Temanmu itu berisik?""Dia ceria," koreksi Dara. "Sesuatu yang rumah ini sangat butuhkan.""Hmph. Ingat aturannya. Ponsel disita. Tidak ada foto. Tidak ada update status 'Sedang di rumah Dosen Killer'. Dan dia tidur di kamar tamu sayap barat. Jauh dari kamar kita.""Kamar kita?" Dara menaikkan alis.Adrian mendengus. "Kamar utama. Jangan besar kepala."Ketika Riana akhirnya masuk, dikawal oleh seorang pelayan yang terlihat lebih rapi daripada Riana saat wi

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 47 Sepakat

    Klik.Adrian menutup teleponnya. Di seberang meja, Dara menatapnya. Ia bisa melihat dengan jelas urat di leher Adrian yang menegang. Pria yang baru saja memenangkan negosiasi dan mempromosikannya menjadi Nyonya Muda, kini terlihat... panik."Nyonya Muda," ulang Adrian pelan, suaranya terdengar hampa. Ia menoleh ke Dara, dan Dara tidak melihat sang Dosen Es, sang predator, atau sang kekasih yang menuntut. Ia melihat seorang pria yang baru saja didorong ke tepi jurang."Anda terlihat... tidak senang," kata Dara hati-hati.Adrian tertawa. Tawa yang kering, pendek, dan sama sekali tidak lucu. "Tidak senang?" ulangnya. "Aku baru saja menyetujui sesuatu yang mustahil."Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang luas. Gerakannya tidak lagi terkendali dan anggun. Gerakannya kaku dan penuh amarah."Kamu pikir pertunjukan di meja makan keluarga itu sulit?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri. "Itu hanya... hidangan pembuka. Itu mudah. Aku ada di sana. Aku bisa meng

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 46 Adrian curang

    Dara terbangun dengan perasaan paling aneh yang pernah ia rasakan.Tubuhnya sakit, lemas, dan terasa berat, tapi ia tidak kedinginan. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih terjerat dalam pelukan Adrian. Pria itu tidur dengan lelap, tapi bahkan dalam tidurnya, lengannya melingkari pinggang Dara seperti sabuk pengaman, posesif dan tak terbantahkan.Semalam.Semua ingatan itu kembali menerjangnya. Sesuatu yang kacau, penuh gairah, dan dilakukan atas dasar... kesetaraan yang aneh?Ia menatap wajah pria yang tertidur di sampingnya. Garis rahangnya yang tegas tampak lebih rileks, bibirnya yang biasanya sinis kini terlihat lebih penuh.Dia menepati janjinya.Ia teringat Adrian berbisik, "Hanya kita." Dan untuk sisa malam itu, memang hanya mereka. Ia tidak menuntut atau menghukum. Mereka hanya... bercinta. Berkali kali. Hingga Dara kelelahan dan tertidur dalam pelukannya.Perlahan, sangat perlahan, Dara mencoba menggeser lengan Adrian. Ia harus bangun. Ia harus... memproses ini semua

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 45 Malam yang berbeda

    Garasi itu terasa sunyi dan dingin, tapi udara di antara Adrian dan Dara terasa panas membara. Ciuman itu bukan lagi sebuah serangan. Itu adalah sebuah ledakan.Adrian tidak sedang memainkan peran Dosen Es, Tuan yang Posesif, atau Peneliti yang Kejam. Ia hanyalah... Adrian. Dan ia baru saja melihat seorang wanita muda membungkam ibunya yang tiran dan menghancurkan rivalnya (Dr. Rina) hanya dengan beberapa kalimat cerdas.Dan itu, bagi seorang pria yang menghargai kecerdasan di atas segalanya, adalah afrodisiak terkuat di dunia.Bibirnya melumat bibir Dara, tidak lagi menghukum, tapi... mempelajari. Menuntut, ya, tapi juga bertanya. Tangannya yang satu masih di pintu mobil, sementara tangan yang lain menangkup rahang Dara, ibu jarinya mengelus pipinya dengan gerakan yang nyaris lembut.Dara seharusnya mendorongnya. Ia seharusnya menamparnya. Ia seharusnya menagih janjinya soal kebebasan.Tapi tidak.Ia terhanyut. Ia baru saja selamat dari sarang naga. Adrenalin masih membanjiri tubuhn

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 44 Serangan kedua

    Kedipan mata Dara yang cepat dan penuh makna itu adalah sebuah bom kecil yang meledak di tengah keheningan meja makan.Adrian membeku. Ia menatap Dara. Gadis ini, yang beberapa minggu lalu meringkuk ketakutan di bawah kungkungannya, baru saja menyelamatkannya dari ibunya sendiri. Ia tidak hanya memainkan perannya tapi ia baru saja mengambil alih seluruh naskah, menulis ulang dialognya, dan mengarahkan adegan itu dengan sempurna.Ibu Mahesa, yang jelas-jelas kalah telak, berdeham. "Anak muda jaman sekarang," katanya, suaranya kaku. "Selalu penuh... kejutan." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Hidangan utama."Suasana kembali cair, tapi semuanya telah berubah. Para paman dan bibi mulai berbisik di antara mereka, tatapan mereka pada Dara kini bukan lagi sekadar ingin tahu, tapi dipenuhi rasa hormat yang enggan. Dr. Rina tampak seperti akan sakit, ia meletakkan serbetnya dan menolak hidangan utama. Reza, yang terlalu mabuk untuk mengerti nuansa yang baru saja terjadi, hanya bersulang sendi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status