LOGINSatu bulan kemudian.Kediaman Mahesa disulap menjadi venue pernikahan paling intim namun paling mewah yang pernah dilihat oleh segelintir tamu undangan. Tidak ada ribuan tamu atau standing party yang melelahkan. Hanya ada keluarga inti, kerabat dekat, dan tentu saja Riana yang menangis sesenggukan di pojokan sambil memegang tisu.Dara duduk di ruang rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya putih rancangan Anne Avantie membalut tubuhnya dengan sempurna, menyamarkan perutnya yang mulai membuncit dengan potongan yang elegan. Bros antik pemberian Nyonya Ratna tersemat di dadanya, berkilau di bawah lampu kristal."Cantik," suara Nyonya Ratna terdengar dari arah pintu.Dara menoleh, sedikit terkejut. Ibu mertuanya itu masuk, mengenakan kebaya velvet merah marun yang membuatnya terlihat agung."Terima kasih, Bu," jawab Dara gugup.Nyonya Ratna berjalan mendekat, merapikan sedikit sanggul Dara. "Ingat, Dara. Menjadi istri Mahesa itu berat. Kamu akan jadi sorotan. Tapi melihat bagaiman
"Sore, Riana," sapa Adrian santai. Ia meletakkan nampan di meja, lalu duduk di sebelah Dara, merangkul pinggang Dara posesif. "Tolong pastikan Dara minum susunya ya. Dia suka bandel kalau nggak diawasin."Riana menunjuk mereka berdua dengan jari gemetar. "Bapak... Dara... Kalian...""Kami mau nikah bulan depan," kata Dara cepat, sebelum Riana stroke mendadak. "Dan ya, gosip hamil itu bener. Tapi bukan sama om-om. Sama dia." Dara menunjuk Adrian.BRUK.Riana benar-benar pingsan di karpet.***Setelah Riana sadar dan diberi teh manis hangat (oleh Adrian sendiri, yang membuat Riana hampir pingsan lagi), Adrian menjelaskan situasinya versi yang sudah disensor, tanpa bagian penculikan brutal dan pistol."Jadi..." Riana masih syok. "Lo bakal jadi Nyonya Adrian Mahesa? Lo bakal jadi istri dosen paling killer, paling kaya, dan paling ganteng di kampus?""Nasib, Na," canda Dara."Nasib apaan! Itu namanya jackpot!" seru Riana.Tiba-tiba, ponsel Riana berbunyi. Notifikasi grup angkatan meledak.
Adrian menggenggam tangan Dara. "Nanti, kalau anak kita lahir dan sudah sekolah, kamu bisa bangga cerita ke dia kalau ibunya lulus dengan nilai murni dari dosen paling killer di kampus, bukan karena nepotisme."Dara terdiam. Ia tahu Adrian benar. Justru karena dia calon istri Adrian, standarnya harus lebih tinggi. Orang-orang akan mencari celah untuk meremehkannya."Oke," Dara menghapus air matanya. "Saya revisi. Tapi...""Tapi apa?""Kalau saya berhasil benerin ini hari ini, Bapak harus pijitin kaki saya nanti malem. Kaki saya bengkak."Adrian tersenyum miring. "Deal. Tapi kalau masih salah, jatah nonton Netflix dipotong.""Kejam!""Adil, Sayang. Adil."Sore harinya, ketenangan belajar mereka terganggu oleh kedatangan iring-iringan tiga orang desainer ternama dan tentu saja, sang Ratu Ibu Suri, Nyonya Ratna.Para pelayan sibuk membawa masuk mannequin, gulungan kain sutra, dan katalog dekorasi setebal bantal.Dara, yang sedang bad mood karena revisi Bab 4, menatap horor ke arah ruang
Pagi di kediaman Mahesa, rumah mewah itu dimulai dengan suara kepanikan dari arah kamar mandi lantai bawah."Huekk..."Adrian, yang baru saja selesai jogging di treadmill ruang kebugaran pribadinya, langsung melempar handuknya ke sembarang arah begitu mendengar suara itu dari intercom yang terhubung ke ponselnya.Ia berlari menuruni tangga, masih dengan kaos olahraga yang basah oleh keringat, menerobos masuk ke kamar Dara tanpa mengetuk."Dara!"Di dalam kamar mandi, Dara sedang menunduk di wastafel, wajahnya pucat pasi. Ia baru saja memuntahkan air putih yang ia minum saat bangun tidur.Adrian dengan sigap memijat tengkuk Dara, tangan besarnya terasa hangat di kulit leher gadis itu yang dingin. "Masih mual? Saya panggil dokter lagi, ya?"Dara menggeleng lemah, membasuh mulutnya dengan air. Ia menegakkan tubuh, bersandar pada dada bidang Adrian tempat favorit barunya. "Nggak usah, Pak. Ini morning sickness biasa. Kata dokter wajar di trimester pertama.""Tapi kamu muntah terus dari ke
Dara tertegun. Kalimat itu terdengar klise di novel romantis, tapi keluar dari mulut Adrian Mahesa, itu terdengar seperti sumpah mati."Bapak... eh, kamu... beneran cinta sama aku?" tanya Dara, suaranya kecil dan ragu. "Maksudnya... cinta sebagai cewek? Bukan sebagai ibu dari anak kamu?"Adrian menghela napas panjang. Ia melepaskan pelukan sedikit, menangkup wajah Dara dengan kedua tangannya yang besar dan hangat. Ibu jarinya mengusap pipi Dara."Dara," mulainya, suaranya rendah dan serak. "Saya ini dosen statistik. Saya hidup berdasarkan data dan logika. Probabilitas saya jatuh cinta pada mahasiswi skripsi yang ceroboh, keras kepala, dan suka membantah seperti kamu itu harusnya nol."Dara cemberut sedikit mendengar deskripsi itu."Tapi," lanjut Adrian, menempelkan keningnya ke kening Dara. "Kenyataannya, saat kamu hilang, dunia saya berhenti. Saya nggak bisa kerja. Saya nggak bisa makan. Yang ada di otak saya cuma kamu. Bukan bayi ini. Tapi kamu. Senyum kamu, omelan kamu, bahkan cara
Dua hari berlalu.Dara resmi menjadi tahanan rumah sakit atau lebih tepatnya, ratu rumah sakit. Adrian memindahkan kantornya ke ruang VVIP itu. Ia menyuruh sekretarisnya mengirim berkas-berkas penting, laptop, dan printer ke sana.Pemandangan itu cukup absurd. Di satu sisi ruangan, Dara berbaring santai sambil menonton Netflix. Di sisi lain, di meja makan yang disulap jadi meja kerja, Adrian Mahesa CEO perusahaan multinasional sedang memimpin rapat direksi via Zoom sambil mengenakan kemeja rapi di atas tapi celana training santai di bawah (karena tidak kelihatan kamera)."Ya, angka penjualan kuartal ini cukup stabil, tapi saya mau tim marketing menekan lagi di sektor digital..." Adrian bicara dengan nada otoriter ke laptopnya.Tiba-tiba, suara Dara terdengar. "Pak, saya mau pipis."Adrian langsung menekan tombol mute di laptopnya dengan kecepatan cahaya. Wajah profesionalnya berubah panik dalam sedetik."Tunggu, jangan bangun sendiri!" serunya. Ia meninggalkan rapat direksi yang beris







