Bab 26 Apa Ini Jebakan?
Aku tertegun tatkala dalam mobil kulihat Celine ikut serta. Buat apa dia mengikuti kami. Kehadirannya merusak pemandanganku saja.Ia"Kasar dari mananya, Mas? Perasaan biasa-biasa saja,"
"Dibilangin masih aja nyolot. Seharusnya kau berterima kasih sama Celine," pukas Galih.
"Berterima kasih buat apa?" imbuhku.
"Hei asalkan kau tahu, bahwa Celinelah yang berinisiatif untuk membawamu memeriksakan kesehatan. Demi kau dan janin di perutmu," ujar Galih.
Aku terkhenyak.
"Jadi Celine yang ingin mengajakku ke klinik? bukan kamu? Baiklah kalau begitu berhentikan aku disini. Sudah kubilang tadi aku bisa pergi sendiri,"
"Tidak usah banyak belagu. Kalau kau bisa sendiri mengapa tidak sedari tadi," kembali Galih berujar kasar.
Bab 27 "Pa, tolong tidak usah kemari. Begini saja, oke aku akan lebih berhati-hati. Besok aku akan menemui Papa. Tapi Papa jangan ke sini dulu malam ini," Bagaimanapun aku tidak ingin rahasiaku terbongkar dulu. Biarkan keluarga ingin mengetahui siapa aku sebenarnya pada saat yang tepat. Besok aku akan menemui papa dan membicarakan hal penting padanya terkait dengan tawarannya padaku beberapa waktu yang lalu.*** "Mas, mulai hari ini aku akan bekerja!" Ucapku pada Mas Galih. Suaraku mengejutkan semua orang yang sedang menikmati santapan sarapan pagi di meja makan. "Uhuk ... uhuk ...!" Mas Galih terbatuk. Ia menghentikan makannya sejenak lalu menoleh ke arahku. "Apa? Kamu ingin bekerja? bekerja di mana?" Mas Galih tersen
Bab 28 Degup jantung ini tidak bisa lagi ku atur sempurna. Katakutan, gelisah dan ragu berbaur menjadi satu. Takutku apabila Papa berbuat sesuatu yang akan berakibat pada sesuatu hal yang tidak di inginkan. Keraguanku, bisakah Papa bertindak tanpa melibatkan emosi yang berujung pada adu otot? Aku benci masalah yang di hadapi dengan kekerasan. "Percaya saja sama Papa Kiara, Papa bukan orang bodoh!" Dalam hati aku menghibur diri sendiri. Akankah kedokku terbongkar di sini? Akankah Papa membuka semua rahasia yang sudah sejak lama kusimpan dengan rapi ini? Belum sempat aku berpikir lebih jauh,terlihat seorang laki-laki yang masih terlihat gagah, meski di usianya yang tak lagi muda, keluar dari mobil dan berjalan menuju ke arahku. Dialah Papa
Bab 29 "Nanti dulu ....!" Teriakku. "Kiara, sudah cukup kau hidup teraniaya di rumah mereka!" Semua yang hadir di sana dan melototkan mata tidak percaya atau pun bingung dengan ucapan Papa. "Sabar, sabar, Kiara mohon ...! Semua masalah ini tak akan selesai dengan emosi... Please dengarkan Kiara!" aku memohon dan memelas pada Papa. Aku tidak memanggil beliau dengan sebutan Papa agar orang-orang di rumah ini tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Mendengar aku bicara, Papa nampaknya bisa meredam emosinya yang tadi nampaknya sudah di ubun-ubun. "Ada apa ini, Kiara ...? Apa kau sudah saling kenal sama Pak Alfath? Bagaimana Bisa?" Bu Farah berbicara kebingungan. Dalam hati, tentu saja aku sudah kenal bahkan sangat dekat dengan Pak Alfath. Toh beliau adalah Papa kandungku.
Bab 30 Seonggok buntalan pakaian bekas yang ia berikan pada Kiara beberapa waktu lalu tergeletak begitu saja. Mata Bu Farah terpaku pada lembaran kertas putih yang ada di atas onggokan buntalan tersebut. Penasaran, Bu Farah membaca tulisan yang di toreh di sana. (Ini, aku kembalikan semua pakaian bekas yang ibu berikan padaku. Silakan kasih ke menantu baru ibu saja. Si Celine. Bukankah ibu bilang akan memberi pakaian itu pada menantu ibu untuk mengurangi pemborosan? Barangkali Celine mau memakainya. Aku ikhlas mewariskan semua ini padanya. Karena Alhamdulillah aku udah punya pakaian-pakaian yang jauh lebih baik dan layak) "Pakaian bekas? Apaan ini, Bu? Kok Kiara ingin memberikannya padaku?" Sebuah suara yang terdengar kesal berasal dari belakang Bu Farah. Bu Farah menoleh. Di san
Bab 31 "Sayang, bersiap-siaplah! Besok pagi kita berlibur ...!" ucap Galih. "Loh emangnya mau ke mana, Mas?" tanya Celine heran. "Ke Bali," jawab Galih pendek. "Haaa ...? Ke Bali? Apa aku nggak salah dengar? Kok mendadak sih?" Celine terkejut mendengar ucapan Galih yang tiba-tiba saja mengajak berlibur ke Bali. Tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Iya? emangnya kenapa? Emang aku nggak boleh ngajak calon istriku jalan-jalan merefreshkan pikiran? Mas mau nyenengin hati kamu loh," ujar Galih mengedipkan sebelah matanya. "Ih kok so sweet banget sih. Emang kapan Mas beli tiketnya?" "Kenapa harus tanya kapan beli tiket? Mas yang ngajak, tentu saja mas yang ngurus semuanya, mulai dari beli tiket, kendaraan, segala macam biaya, termasuk buat shopping kamu. Oh ya, karena Mas ingin kasih kejutan ke kamu,
Bab 32 Wanita dengan perutnya yang tengah hamil, sama sekali tidak mengurangi keanggunan. Justru hal itu menjadi daya tarik tersendiri di mata Galih. Semua karena kepiawaian wanita itu dalam memilih busana yang tepat. Mata Galih membesar dan melotot beberapa detik memperhatikan potret itu. 'Oh astaga ...! Apa mungkin Kiara mengunjungi negeri singa tersebut?' 'Kalau memang benar, darimana perempuan itu mendapatkan uang? Darimana? Apa karena ia sedang di boking pria hidung belang? Tapi lelaki mana yang mau memboking perempuan dengan perut gede seperti dia?' Dalam hati Galih tak habis pikir. Tentu saja dengan anggapan-anggapan negatifnya terhadap Kiara. 'Aduuuh ...! Perempuan itu sungguh membuat bingung,' "Tapi, ... Atau ... atau ... Ah pasti foto itu cuma editan saja," kotak Galih
Bab 33 Aku duduk di kursi menghadap sebuah meja dengan komputer di atasnya. Saat ini, sesuai dengan amanah Papa, aku lebih mempelajari kembali bagaimana mendalami tugas dan tanggung jawab seorang Manager di perusahaan. "Kembalilah seperti dulu, Kiara. jangan lagi terlalu mudah dipengaruhi dengan kata-kata yang disebut "cinta". tetaplah menjadi anak mama yang pandai dalam menghadapi segala situasi. Kembalikan dirimu yang dulu. Berlatihlah dengan giat," ujar Mama memberikan semangat. "Nanti setelah kau melahirkan, kau akan menduduki posisi jabatan yang tidak bisa diremehkan di perusahaan Papamu," "Sepantasnya sedari dulu kau menempati posisi itu. Tapi sayangnya kau lebih memilih untuk hidup bersama Galih, dan mengabaikan nasehat Mama dan Papamu," ujar Mama Lagi. Aku menelan saliva. Seketika rasa bersalah menyiksa batinku. Memang menyesal se
Bab 34 Drrrt ... drrt ... Getar handphone mengganggu konsentrasiku dari monitor. Sejenak aku memalingkan pandangan dari monitor laptop. Sebuah panggilan dari kontak wanita yang kukenal terpampang di sana. Ada apa perempuan itu menelpon? Malas membuang-buang waktu ku biarkan saja panggilan itu. Di angkat juga tidak akan ada maknanya. Ku lirik jam, sudah menunjukkan angka 21.00. Masih ada waktu setengah jam lagi buatku untuk mempelajari secara mendalam seluk beluk manajemen perusahaan. Ku seruput teh manis yang tadi disajikan Mama untuk menemani belajarku. Untuk sementara waktu, aku mempelajari secara teori. Rencananya besok aku akan berkunjung dan melihat-lihat perusahaan secara langsung ke lapangan. &nbs