Sinar matahari menyelinap dari celah tirai jendela, menciptakan cahaya hangat yang perlahan mengusir dingin semalam. Gallen mengerjap pelan. Kepalanya masih berat, tapi dadanya sedikit lebih lega. Ia mencoba duduk, namun sepasang tangan langsung menahannya dengan lembut. "Jangan dulu," suara Titan terdengar serak lembut. "Kamu masih lemah." Gallen memalingkan kepala. Titan duduk di sisi ranjang, rambutnya berantakan, matanya sembab tapi penuh kehangatan. Ia tersenyum kecil, menyembunyikan gemuruh di hatinya. "Kamu… semalaman menjagaku?" tanya Gallen pelan. "Setelah menyeret tubuhmu ke sini? Iya. Dan aku juga jadi perawat dadakan. Kamu harus membayar ku mahal untuk itu," Titan menautkan alisnya, lalu tersenyum meski lelah. Gallen menggenggam tangan Titan. "Maaf." Titan hanya menggeleng. "Aku sudah bilang, aku tidak marah karena kamu menyelidiki Jupiter atau menyusun strategi. Aku cuma… kecewa, kenapa kamu pikir aku tidak cukup kuat untuk diajak menghadapi ini bersama?" Ga
Suasana pagi itu seolah berhenti bergerak. Gallen duduk di balik meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan dua layar besar yang menampilkan peta pergerakan Jupiter. Di sampingnya, Hamal berdiri tegap, menjelaskan skema jebakan pertama mereka. "Jadi, kita akan buat jebakan informasi palsu. Kita sebar lewat akun staf internal bahwa Dewi Titan akan tampil dalam proyek besar sebagai pemeran utama dan lokasi syutingnya di luar kota. Kita rekayasa agar tampak bahwa Bos akan mendampingi langsung proyek itu." "Jika Jupiter berpikir kalian akan pergi, dia akan gerak. Entah itu sabotase atau serangan langsung." Gallen mengangguk pelan, sorot matanya tajam. "Pastikan tim keamanan menyebar di area yang kita siapkan. Aku ingin semua terekam. Termasuk jika dia mengirim orang bayaran lagi." Tiba-tiba pintu terbuka. Galaksi masuk tanpa mengetuk, seperti biasanya. "Kalian lagi bahas strategi perang? Wah, seru juga. Sayang tidak bisa streaming," ucapnya santai, menjatuhkan diri ke sof
Sore itu di Apartemen Titan... Gallen berdiri di seberang jalan. Menatap jendela lantai lima yang tirainya masih tertutup. Tangannya membawa sesuatu: kotak kecil berisi makanan kesukaan Titan, dan sebuah foto polaroid mereka berdua saat masih diam-diam bertemu di tengah kekacauan publik. Ia tidak berani mengetuk pintu. Tidak hari ini. Ia hanya menitipkan semuanya ke resepsionis apartemen, lalu menuliskan catatan singkat. "Aku tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Tapi aku tahu aku tidak akan berhenti mencoba. Maaf... karena menyakitimu dengan niat melindungi." — Gallen Malamnya – Markas Sementara Operasi Hamal datang dengan laporan baru. Di dalamnya, informasi detail pergerakan Jupiter, pembicaraan samar lewat kode digital, dan seseorang misterius yang ikut membackup semua langkah Jupiter—belum teridentifikasi. "Perang belum selesai," kata Hamal. Gallen menatap layar, lalu menoleh ke arah jendela. "Tapi aku tahu untuk siapa aku bertarung sekarang…" lirih Gallen. Lan
Gallen berdiri di hadapan Jupiter. Mata mereka saling bertubrukan, seperti dua kutub yang sudah terlalu lama menahan ledakan. "Kalian berdua, kompak," ucap Jupiter menyeringai tipis, bersandar ke meja. "Kamu memang tidak pernah berubah, Gallen. Selalu ingin menjadi penyelamat dunia." "Aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku hanya ingin kamu berhenti. Cukup." "Lucu, dari dulu keluarga Pratama selalu bilang ‘cukup’, tapi luka yang mereka tinggalkan tidak pernah selesai," suara Jupiter meninggi. "Kamu hidup enak, punya semua. Aku? Aku hanya punya dendam." Gallen mengepalkan tangan, tapi tetap menahan diri. "Kamu bukan satu-satunya yang hidup dalam bayang-bayang kesalahan masa lalu. Tapi menyakiti orang lain… termasuk Titan, itu bukan jawaban." Jupiter terdiam sejenak, tapi sorot matanya tetap gelap. "Kamu pikir Titan akan tetap tinggal setelah tahu kamu menyembunyikan semua ini?" Gallen terdiam. Dan di luar, Titan berdiri—mendengar cukup banyak dari balik pintu kaca. Bebe
Titan mendekati staf kantor Gallen dengan ramah. Ia pura-pura mencari dokumen Gallen, padahal matanya sibuk memperhatikan meja kerja pria itu, mencari petunjuk kecil yang bisa menjelaskan segalanya. Di ruang kerja Gallen, Titan menemukan secarik memo tempel bertuliskan: "Kontrak - JP – finalisasi internal." Titan mengerutkan dahi. "JP?" Saat itulah Hamal masuk. "Dewi Titan? Kamu di sini?" Titan berbalik cepat, menyembunyikan kegugupan. "Oh, aku cuma… cari dokumen syuting yang kata Gallen dibawa ke sini. Tapi…" Hamal tersenyum sopan. "Kalau soal dokumen, sepertinya tidak di sini. Bisa jadi ada di ruang rapat lantai dua." "Oke, aku ke sana deh. Makasih ya." Titan pamit dan keluar. Tapi dalam hatinya, satu huruf itu menggema—JP. Apakah itu singkatan dari Jupiter? Malam hari, Titan di kamarnya. Menatap layar ponselnya. Di tangannya ada potongan info: Jupiter. CEO Alpha Star cadangan? Apa itu maksud dari JP? "Apa kamu tahu sesuatu, Jupiter?" bisiknya sendiri. T
Gallen duduk sendiri, mengenakan pakaian kasual elegan. Jam tangannya—dengan perekam kecil di dalamnya—berkilau samar. Jupiter muncul dengan kemeja putih dan kacamata hitam. Ia langsung duduk tanpa basa-basi. "Kalau kamu berniat menarik kembali jabatan CEO itu, lupakan." Gallen menyandarkan tubuh. "Aku tidak tertarik bicara soal jabatan. Aku cuma ingin tahu… apa kamu puas setelah semua ini?" Jupiter menyipitkan mata. "Kalau kamu berniat merayu, sudah terlambat." "Kamu tahu aku tidak bodoh. Kita berdua tahu kamu tidak bergerak sendiri." Jupiter terdiam sejenak. Sorot matanya menusuk. "Kalau kamu sudah tahu… kenapa masih main lembut? Minta saja to the point, Gallen. Kamu ingin tahu siapa di belakangku, kan? Kamu sudah menebaknya—Aries Bagaskara." "Kenapa dia?" Jupiter tertawa pelan. "Karena dia ingin menghentikan anaknya sendiri. Karena Adhara… terlalu jauh menyakiti orang lain. Dan aku… punya dendam sendiri. Jadi kami bekerja sama." Gallen mengangguk pelan, la