Di sisi lain, Titan berjalan gontai. Kini, ia sudah berada di atap sebuah gedung.
Gadis itu berdiri di pinggir dengan kedua kakinya gemetar. Titan takut ketinggian, tapi dia ingin cari angin untuk meredakan stress! Cari angin atau mau bunuh diri... "Kalau tahu di atas sini sedingin ini, aku pasti membawa jaket," gerutunya seraya memandang ke bawah. Namun, ia semakin ketakutan. "Kenapa gedung ini tinggi sekali, sih? Kalau aku jatuh ke bawah sana, bagaimana dengan tubuh seksiku ini? Kalau langsung mati, itu tidak masalah, tapi, kalau aku hanya terluka kemudian dirawat di rumah sakit, bukankah malah merepotkan orang," gerutunya. Kalaupun bunuh diri, dia tak mungkin menggunakan cara ini! Sayangnya, tingkahnya itu telah membuat seorang pria yang diam-diam tertidur di rooftop itu, terganggu. Galaksi pun beranjak lalu mengintip dari balik dinding. Namun, seketika dia terbelalak. "I...itu bukannya Dewi Titan?!" Sebagai fans, dia jelas khawatir jika artis favoritnya itu bunuh diri! Tapi, Galaksi tahu jika semakin dicegah, Titan bisa saja semakin nekat. Untungnya, sebuah ide mendadak muncul! Galaksi lantas menghirup udara lalu, menghembuskannya secara perlahan. "Siapa sih yang teriak-teriak, ganggu orang tidur saja!" Titan menoleh setelah mendengar suara pria dari belakang. "Siapa kamu?" tanyanya penuh selidik. "Aku?" ucap pria itu, santai. "Aku, orang yang tidurnya terganggu karena suara teriakanmu!" "Ngomong-ngomong sedang apa kamu berdiri di situ, apa kamu tidak takut jatuh?" Pria itu balik bertanya. "Itu, bukan urusan kamu!" Mencoba seangkuh mungkin, Dewi Titan menjawab. "Apa, jangan-jangan kamu mau bunuh diri? Ck...Ck... Sangat disayangkan artis berbakat sepertimu harus mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini?" "Memangnya, kamu tahu siapa aku?" "Siapa sih yang tidak tahu kamu, fans mu selalu memanggilmu dengan sebutan Dewi Titan, kan?" Titan mengangguk cepat. Ia tak menyangka, masih ada yang mengenalinya. "Tapi, sangat disayangkan karirmu hancur karena skandal. Kalau saat ini kamu terjun bebas ke bawah sana, sudah pasti kamu bakalan jadi berita utama dimana-mana, akh...itu pasti akan sangat memalukan. Nanti judulnya akan di cetak dengan kalimat 'Seorang artis yang sudah tidak laku di dunia hiburan mati bunuh diri karena sudah tidak punya kerjaan'. Sungguh miris, aku tidak bisa membayangkan," Pria itu geleng-geleng kepala. Deg! Kalimat yang diucapkan pria itu membuat Titan termenung. "Lalu, menurutmu apa yang harus aku lakukan?" tanyanya meminta pendapat. "Kalau aku mengatakan, aku bisa membuatmu kembali ke dunia hiburan seperti dulu, apa kamu percaya?" Titan menggeleng cepat, "Tentu saja tidak!" Drrt! Suara ponsel dari saku celana pria itu berdering, membuat perhatian keduanya teralihkan. Pria itu mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut. "Nanti aku akan memberikan informasinya, sekarang aku sedang sibuk!" Segera, pria itu mengakhiri panggilannya, lalu menatap Titan kembali. "Bisakah kamu turun dulu? Rasanya tidak nyaman melihatmu berdiri di sana." "Memangnya kamu siapa nyuruh-nyuruh aku turun?" cibir Titan. "Oh..., jadi kamu akan tetap berdiri di sana? Tapi sepertinya, kamu ragu-ragu untuk melompat, perlu bantuan," ucapan pria itu membuat Titan terpaku. "Orang ini tidak waras, biasanya kalau ada orang mau bunuh diri, pasti akan dicegah. Kenapa dia malah mau membantu," gumamnya dalam hati. "Kalau kamu diam, berarti kamu setuju kalau aku membantumu melompat," Pria itu melangkah mendekat. "Berhenti di sana! Atau... aku akan benar-benar melompat!" ancam Titan. Untungnya, langkah pria itu berhenti. "Kamu yakin, bukannya kamu takut ketinggian." "Ternyata dia juga tahu aku takut ketinggian?" Titan mulai gelisah. "Ayo, turun! Orang-orang yang tidak menyukaimu akan senang melihat mu semakin terpuruk, apa kamu tidak ingin membuktikan kepada mereka kalau kamu bisa kembali seperti dulu." Titan mulai berpikir, tapi, jika dilihat dari penampilannya, pria itu sangat tak meyakinkan. "Kamu bilang, kamu bisa bantu aku, bagaimana caranya?" Hatinya mulai goyah. "Jadikan aku manager mu, aku pasti akan membuatmu lebih terkenal." "Hah?!" Titan membulatkan mulutnya, tak percaya. Artis itu memperhatikan penampilan pria yang ingin menjadi managernya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Apa pria ini membual? Namun, melihat sorot matanya yang penuh keyakinan, Titan goyah juga. Terlebih, pria itu menambahkan, "Beri aku waktu dua hari, aku akan mencarikan pekerjaan untukmu, bagaimana?" Dapatkah Titan mempercayai ucapannya? Padahal namanya saja belum tahu. Entahlah… Titan tak mengerti. Tapi yang pasti, Titan pun turun dan mendekati pria itu. "Ngomong-ngomong siapa nama kamu?" tanya Titan kemudian. Pria itu mengulurkan tangannya, "Namaku Galaksi, kamu boleh memanggilku Gala atau Galaksi, terserah." Keduanya saling berjabat tangan, tanda bahwa mereka mulai bekerja sama. Mereka pun bertukar nomor telepon. Galaksi juga menjanjikan pada Titan, dua hari kemudian akan menghubungi artis itu untuk memberinya pekerjaan. Mulai hari ini, Galaksi Alpha Pratama resmi menjadi managernya. Sementara di tempat lain, Giselle tampak gelisah melihat kertas yang ditulis tangan Titan. Matanya juga waspada ke layar televisi sembari menunggu berita, mungkin saja ada berita tentang artis yang bunuh diri? Sebab, ia bingung harus mencari Titan ke mana. Tak ada seorang pun yang bisa dihubungi. Semenjak skandal yang menghebohkan tersebut, perlahan orang-orang menjauh. "Mba Titan," Suara Giselle lirih seraya menitikkan air mata. Ceklek! Tak lama kemudian, pintu terbuka. Titan melangkah masuk dengan santainya seperti tak terjadi apa-apa. Giselle sontak berlari menghampiri bos-nya itu. "Mba Titan!" teriaknya seraya memeluk Titan. "Maaf ya, aku sudah membuatmu khawatir." Titan mengusap lembut punggung Giselle. "Mba Titan tidak jadi bunuh diri?" pertanyaan Giselle membuat Titan melepaskan pelukannya. "Jadi, kamu berharap aku bunuh diri?!" Titan kesal bisa-bisanya asistennya bertanya demikian. "Hehehe..." Giselle tersenyum canggung seraya menggaruk kepalanya, tentu saja ia tak berharap itu terjadi. "Aku seneng Mba Titan tidak jadi bunuh diri, aku bingung kalau tiba-tiba jadi kaya mendadak setelah mendapat warisan yang ditinggalkan Mba Titan," Giselle melirik dua kartu dan beberapa surat berharga yang tergeletak di meja. Titan menyentil kening Giselle dengan jarinya "Memangnya aku ninggalin warisan itu buat kamu?" "Ya...mungkin saja. Satu dari dua kartu itu Mba Titan kasih buat aku." Titan tersenyum tipis, dilihatnya intens wajah asistennya itu. Di saat dirinya terpuruk hanya Giselle yang masih setia. Titan berjanji akan kembali seperti dulu dan menghukum orang-orang yang sudah membuat karirnya hancur! Terlebih, ia punya feeling baik setelah pertemuannya dengan Galaksi. Semoga ia tak salah!Musim gugur di Inggris selalu membuat langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Gallen Alpha Pratama duduk di bangku taman dekat asrama sekolah internasionalnya, mengenakan seragam lengkap, dengan mantel abu-abu tua melapisi tubuh tingginya yang masih tampak kurus saat itu. Ia memandangi jam tangan di pergelangan kirinya. Bukan untuk melihat waktu, tapi karena jam itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa—hadiah dari seorang anak perempuan kecil dengan suara cempreng dan senyum paling cerah yang pernah ia kenal: Titan. "Kalau kamu merasa sendirian, lihat jam ini ya. Aku di sini. Menunggumu pulang." Namun waktu justru membuat semuanya kabur. Bertahun-tahun berlalu tanpa satu pun kabar dari Titan. Surat-surat yang ia kirim tak pernah dijawab. Bahkan Kakek Pratama memintanya untuk fokus sekolah dan melupakan masa kecilnya di Indonesia. "Gallen, kalau kamu ingin jadi pewaris yang kuat, kamu harus belajar berdiri sendiri. Perasaan bisa jadi beban." – itulah kata-kata kakeknya.
Rooftop gedung Alpha Star Entertainment berubah jadi tempat makan malam romantis paling indah. Meja panjang tertata rapi dengan taplak putih bersih, piring-piring porselen, lilin kecil yang menyala lembut, dan lampu-lampu gantung seperti bintang-bintang jatuh di atas kepala mereka. Malam itu terasa hangat meski angin pelan berembus dari sisi bangunan. Di sana hadir semua orang terdekat yang sudah menjadi bagian dari perjalanan Titan dan Gallen: Starla dengan senyum cerianya, Vega duduk anggun penuh kasih, Kakek Pratama tampak jauh lebih tenang, Galaksi, Hamal, Rigel, Orion, dan Giselle menebar tawa dengan candaan kecil mereka. Dan tentu saja, Gallen dan Titan duduk berdampingan. Semua larut dalam kebahagiaan dan obrolan. Mereka mengenang masa lalu dengan tawa—meski beberapa kisah dulu penuh luka, malam ini tak ada yang mengingatnya dengan sedih. Hingga saat jam menunjukkan tengah malam, Titan bangkit dari kursinya. Lampu-lampu gantung diredupkan pelan, menyisakan cahaya ha
Balkon Apartemen Titan Udara sore menyusup pelan di antara sela-sela balkon. Angin menggerakkan tirai ringan dan menyibakkan helai rambut Titan. Ia duduk bersila di depan Gallen yang diam di kursi rodanya, membiarkan Titan memegang wajahnya dengan lembut. "Bulu-bulu ini sudah seperti ilalang, Gallen. Kamu bukan serigala, kan?" canda Titan, sembari mengusap dagu Gallen yang mulai bersemak. Gallen tersenyum kecil. "Kalau serigala sepertiku, kamu mau tetap pelihara?" "Kalau serigalanya hanya melolong padaku, mungkin." Titan mulai mengoleskan krim cukur, lalu perlahan membersihkan wajah Gallen. Setelah itu, Titan menyisir rambut Gallen dan mulai memotongnya dengan hati-hati. "Kenapa kamu tidak mengurus diri sendiri?" tanyanya pelan. "Gallen yang aku kenal selalu tampil bersih dan rapi." Gallen menunduk. "Karena tidak ada kamu." Keheningan menyelip masuk sejenak. "Bagaimana dengan fisioterapi?" tanya Titan kemudian. Gallen terdiam. Ia tahu jawabannya tak akan membuat Ti
Orion berdiri di tengah ballroom megah yang sudah disulap menjadi panggung pertunangan impian. Lampu kristal menggantung, bunga mawar putih dan merah tertata indah di sepanjang jalan masuk. Para tamu berdatangan dengan senyuman, tak menyadari bahwa semua ini hanya sandiwara… dengan penonton utama yang belum tiba. Titan berdiri di belakang panggung bersama Rigel dan Orion. Gaun putih berpotongan elegan melekat indah di tubuhnya, senyumnya tenang… tapi matanya penuh waspada. "Dia akan datang," ucap Titan lirih. Rigel menoleh, memastikan tak ada yang mendengar. "Kamu yakin?" Titan hanya mengangguk. Sementara itu… Sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari venue. Hamal keluar terlebih dahulu, lalu membuka pintu belakang. Dari sana, Gallen muncul—berpakaian serba hitam. Setelan rapi, tanpa dasi. Sepasang sarung tangan kulit membungkus tangannya. Wajahnya tajam dan penuh tekad, tapi sorot matanya menyimpan luka yang dalam. Di tangannya, sebuah kotak kecil berwarna biru tu
Lorong apartemen Titan lengang. Hanya suara langkah kaki Hamal yang terdengar, cepat namun tetap terjaga. Di tikungan menuju unit Titan, ia berpapasan dengan seseorang. "Eh? Mas Hamal?" suara familiar terdengar. Giselle. "Oh… Giselle," Hamal menyunggingkan senyum kecil. "Dewi Titan ada di dalam?" "Ada," jawabnya. Ada yang penting?" "Sedikit. Terima kasih, Giselle." Setelah Giselle berlalu, Hamal mengatur napasnya. Ia mengepalkan tangan lalu menekan bel apartemen. Tak lama, Titan membukakan pintu. Matanya terkejut, namun tak menunjukkan emosi berlebihan. "Hamal?" "Boleh aku masuk, Dewi Titan?" Titan mempersilakan. Di ruang tamu yang tenang, mereka duduk saling berhadapan. Titan menatap lurus ke arah Hamal. "Ada apa? Tumben kamu datang ke sini?" tanya Titan penuh selidik. Hamal menggeleng perlahan. "Ada hal penting. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu padamu." Wajah Hamal tampak serius. Titan diam. Hamal pun melanjutkan. "Aku tahu kamu mengikuti mobil itu... saat
Di ruang belakang kantor produksi Orion, Titan duduk di sofa coklat tua dengan tangan bersedekap. Di depannya, Orion berdiri menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. Kalimat terakhir Titan membuatnya tercekat. "Kamu bilang... Gallen masih hidup?" Orion hampir menjatuhkan mug kopinya. Titan mengangguk pelan. "Dan dia sekarang… lumpuh?" suaranya nyaris berbisik. Titan mengangguk lagi, kali ini dengan sorot mata penuh luka. "Aku melihatnya sendiri. Kursi roda, tubuhnya lebih kurus, dan dia bersembunyi di rumah Kakek Pratama." Sebelum Orion bisa berkata apa-apa, suara pintu terbuka tiba-tiba. Galaksi masuk tanpa rasa bersalah, seperti biasa. "Aku dengar Kak Gallen masih hidup dan lumpuh??!!" serunya pura-pura kaget. Tatapan Titan dan Orion langsung tertuju padanya. "Kamu nguping!" tuduh Titan. "Eh, bukan salahku, ruangannya kedap suara tapi pintunya kebuka," kilah Galaksi cepat sambil nyengir. Titan memicingkan mata. "Kamu pintar banget menyembunyikan ini dariku,