"Akh…."
Titania Selin terbangun dengan wajah bingung, mengamati ruangan sekitar yang begitu asing baginya. Selain itu, kepalanya terasa begitu pusing dan sekujur tubuhnya... sakit? Deg! "Baju siapa ini?" Gadis yang biasa dipanggil Titan itu terkejut kala menyadari tubuhnya kini dibalut kemeja pria berwarna putih. Ini jelas bukan miliknya! Pikiran Titan langsung kacau. Jangan-jangan semalam … dia? "Kamu sudah bangun?" Suara berat dan mendominasi dari pria yang baru saja keluar dari kamar mandi menyadarkan Titan dari lamunan. "Si... siapa kamu?" tanyanya gugup. Namun, pria tampan itu justru tersenyum sembari berjalan tanpa memakai baju mendekati Titan. "Wah, kamu membuatku sakit hati, setelah kamu membuatku bekerja semalaman, sekarang, kamu malah tanya aku ini siapa?" "Maksudmu, apa?" panik Titan. "Kamu, beneran tidak ingat?" Melihat Titan menggeleng cepat dan kebingungan, pria itu kembali berkata, "Apa kita ulangi lagi kejadian semalam, agar kamu ingat apa yang sudah kamu lakukan padaku?" Tangan Titan mengepal. Mendadak, ia merasa dipermainkan. "Entah apa yang sudah kulakukan padamu semalam, tapi, anggap saja itu sebuah kecelakaan. Kita sudah dewasa, kejadian seperti ini bisa saja terjadi. Jadi, mari kita lupakan." Segera, gadis itu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari ranjang. Berjalan ke kamar mandi dengan balutan kemeja di atas lutut dan mengambil pakaiannya semalam, menahan malu yang sebenarnya sudah memenuhi dirinya. "Apa yang sudah kamu lakukan Titan? Bisa-bisanya kamu tidur dengan pria asing!" makinya pada diri sendiri. Rasanya, dunianya benar-benar runtuh kali ini. Sebagai artis papan atas yang karirnya hancur dan dikucilkan karena sebuah skandal perselingkuhan dan pacaran settingan, Titan yakin masih bisa bertahan meski sudah satu tahun lebih tak ada sutradara maupun produser mengajaknya syuting. Setidaknya, Giselle, sang asisten, masih setia menemani Titan. Keduanya yakin jika Titan bisa bangkit kembali, mengingat bakat aktingnya yang luar biasa. Tapi sekarang? Tubuh yang selama ini dijaga agar tak tersentuh orang lain, bahkan Titan menolak bila harus beradegan ranjang dalam projectnya, sudah tak lagi sama. Titan merenung, memandangi dirinya dari pantulan cermin. "Apa aku benar-benar sudah melakukannya dengan pria itu?" lirihnya. Gadis yang biasa dipanggil Dewi Titan oleh fans-nya itu, sontak mengusir pikiran kotornya. Tubuh bagian intinya saja tak merasakan sakit, pasti tak terjadi apa-apa tadi malam. Titan meyakini itu! Namun, kalau tadi malam benar-benar terjadi sesuatu antara ia dan pria asing itu, bagaimana? Pagi ini, dirinya bahkan terbangun dalam balutan kemeja pria itu. "Aku benar-benar bodoh," Wajahnya penuh kekecewaan sembari membersihkan tubuh. Tak menyangka hal seperti ini terjadi padanya. Titan menyesal, kenapa ia mabuk semalam? Setelah menata hati dan pikirannya, Titan keluar dari kamar mandi. Dilihatnya pria asing itu tengah duduk di sofa dengan angkuhnya, masih bertelanjang dada. Tubuh atletis pria itu membuat Titan... gila. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Bahkan, aktor yang biasa digilai wanita seluruh negeri saja, tidak ada yang semempesona ini! Kalaupun Titan sudah melakukan sesuatu dengan pria itu, tak rugi juga? Eh…? Ini tak benar, jangan memaklumi hal yang sudah jelas-jelas salah. Titan mengingatkan diri. Ia pun menghampiri pria yang namanya masih belum diketahui itu. "Terima kasih atas pelayananmu semalam," ucapnya sembari mengambil uang dari tasnya. Titan lantas menaruh uang itu di meja. Namun, pria itu justru tampak kesal. "Hanya ini, uangmu?" Hah? Titan tak percaya apa yang dilihatnya saat ini! "Kalau kamu tidak mau, ya sudah!" Titan berusaha mengambil uang itu kembali. Namun, pria itu langsung memasukkan uang yang dipegangnya ke dalam saku celananya! "Ayo, ambil!" tantang pria itu sembari melirik celananya. "Gila!" tutur Titan dengan perasaan jengkel. "Aku harap, kita tidak pernah bertemu lagi!" Wanita cantik itu lalu pergi dari ruangan itu dengan wajah kesal. Sepanjang perjalanan, Titan terus merutuki dirinya yang lagi-lagi terlibat masalah. Masalah yang satu saja belum selesai, kini, datang masalah lain yang membuatnya makin terpuruk. Ia bingung harus bagaimana sekarang. Apakah dirinya sanggup melewati semua ini? Titan menangis dalam diam. Tak mungkin juga ia meraung di dalam taksi yang ditumpanginya, apa kata pak supirnya nanti? Namun begitu tiba di apartemen, pertahanan diri artis berusia 25 tahun itu, langsung runtuh. Titan menangis sejadi-jadinya. Dia berharap setelah menangis dan meluapkan semua emosi, hatinya akan lega dan bisa berpikir jernih? Sayangnya, begitu terbangun, pikirannya masih kacau. Titan tidaklah sekuat yang orang bayangkan meski kepribadiannya terbilang tegas dan ceplas-ceplos. Bahkan, ia mulai berpikir … apakah ia lebih baik menghilang saja dari dunia ini? Sementara itu, di Hotel…. Gallen Alpha Pratama justru sedang menahan senyum miring mengingat tingkah Titan kala mengira sesuatu terjadi di antara keduanya. CEO perusahaan yang bergelut di dunia industri hiburan itu tak menyangka jika artis kontroversial seperti Titan bisa seimut itu, baik saat mabuk ataupun sadar? Untung saja, Gallen yang bertemu dengannya. "Bos, ini pakaian Anda." Ucapan bawahannya membuat Gallen tersadar. Segera diambilnya pakaian itu, lalu berjalan ke kamar mandi. Namun, senyum kembali menghiasi wajah tampannya saat melihat kemeja yang semalam dipakai Titan. "Kita akan bertemu lagi." Hanya saja, pikiran Gallen mendadak terganggu kala sebuah pesan dari bawahannya memberitahukan bahwa Galaksi, adiknya yang sedang disuruh untuk mencari informasi, pergi entah ke mana!Musim gugur di Inggris selalu membuat langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Gallen Alpha Pratama duduk di bangku taman dekat asrama sekolah internasionalnya, mengenakan seragam lengkap, dengan mantel abu-abu tua melapisi tubuh tingginya yang masih tampak kurus saat itu. Ia memandangi jam tangan di pergelangan kirinya. Bukan untuk melihat waktu, tapi karena jam itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa—hadiah dari seorang anak perempuan kecil dengan suara cempreng dan senyum paling cerah yang pernah ia kenal: Titan. "Kalau kamu merasa sendirian, lihat jam ini ya. Aku di sini. Menunggumu pulang." Namun waktu justru membuat semuanya kabur. Bertahun-tahun berlalu tanpa satu pun kabar dari Titan. Surat-surat yang ia kirim tak pernah dijawab. Bahkan Kakek Pratama memintanya untuk fokus sekolah dan melupakan masa kecilnya di Indonesia. "Gallen, kalau kamu ingin jadi pewaris yang kuat, kamu harus belajar berdiri sendiri. Perasaan bisa jadi beban." – itulah kata-kata kakeknya.
Rooftop gedung Alpha Star Entertainment berubah jadi tempat makan malam romantis paling indah. Meja panjang tertata rapi dengan taplak putih bersih, piring-piring porselen, lilin kecil yang menyala lembut, dan lampu-lampu gantung seperti bintang-bintang jatuh di atas kepala mereka. Malam itu terasa hangat meski angin pelan berembus dari sisi bangunan. Di sana hadir semua orang terdekat yang sudah menjadi bagian dari perjalanan Titan dan Gallen: Starla dengan senyum cerianya, Vega duduk anggun penuh kasih, Kakek Pratama tampak jauh lebih tenang, Galaksi, Hamal, Rigel, Orion, dan Giselle menebar tawa dengan candaan kecil mereka. Dan tentu saja, Gallen dan Titan duduk berdampingan. Semua larut dalam kebahagiaan dan obrolan. Mereka mengenang masa lalu dengan tawa—meski beberapa kisah dulu penuh luka, malam ini tak ada yang mengingatnya dengan sedih. Hingga saat jam menunjukkan tengah malam, Titan bangkit dari kursinya. Lampu-lampu gantung diredupkan pelan, menyisakan cahaya ha
Balkon Apartemen Titan Udara sore menyusup pelan di antara sela-sela balkon. Angin menggerakkan tirai ringan dan menyibakkan helai rambut Titan. Ia duduk bersila di depan Gallen yang diam di kursi rodanya, membiarkan Titan memegang wajahnya dengan lembut. "Bulu-bulu ini sudah seperti ilalang, Gallen. Kamu bukan serigala, kan?" canda Titan, sembari mengusap dagu Gallen yang mulai bersemak. Gallen tersenyum kecil. "Kalau serigala sepertiku, kamu mau tetap pelihara?" "Kalau serigalanya hanya melolong padaku, mungkin." Titan mulai mengoleskan krim cukur, lalu perlahan membersihkan wajah Gallen. Setelah itu, Titan menyisir rambut Gallen dan mulai memotongnya dengan hati-hati. "Kenapa kamu tidak mengurus diri sendiri?" tanyanya pelan. "Gallen yang aku kenal selalu tampil bersih dan rapi." Gallen menunduk. "Karena tidak ada kamu." Keheningan menyelip masuk sejenak. "Bagaimana dengan fisioterapi?" tanya Titan kemudian. Gallen terdiam. Ia tahu jawabannya tak akan membuat Ti
Orion berdiri di tengah ballroom megah yang sudah disulap menjadi panggung pertunangan impian. Lampu kristal menggantung, bunga mawar putih dan merah tertata indah di sepanjang jalan masuk. Para tamu berdatangan dengan senyuman, tak menyadari bahwa semua ini hanya sandiwara… dengan penonton utama yang belum tiba. Titan berdiri di belakang panggung bersama Rigel dan Orion. Gaun putih berpotongan elegan melekat indah di tubuhnya, senyumnya tenang… tapi matanya penuh waspada. "Dia akan datang," ucap Titan lirih. Rigel menoleh, memastikan tak ada yang mendengar. "Kamu yakin?" Titan hanya mengangguk. Sementara itu… Sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari venue. Hamal keluar terlebih dahulu, lalu membuka pintu belakang. Dari sana, Gallen muncul—berpakaian serba hitam. Setelan rapi, tanpa dasi. Sepasang sarung tangan kulit membungkus tangannya. Wajahnya tajam dan penuh tekad, tapi sorot matanya menyimpan luka yang dalam. Di tangannya, sebuah kotak kecil berwarna biru tu
Lorong apartemen Titan lengang. Hanya suara langkah kaki Hamal yang terdengar, cepat namun tetap terjaga. Di tikungan menuju unit Titan, ia berpapasan dengan seseorang. "Eh? Mas Hamal?" suara familiar terdengar. Giselle. "Oh… Giselle," Hamal menyunggingkan senyum kecil. "Dewi Titan ada di dalam?" "Ada," jawabnya. Ada yang penting?" "Sedikit. Terima kasih, Giselle." Setelah Giselle berlalu, Hamal mengatur napasnya. Ia mengepalkan tangan lalu menekan bel apartemen. Tak lama, Titan membukakan pintu. Matanya terkejut, namun tak menunjukkan emosi berlebihan. "Hamal?" "Boleh aku masuk, Dewi Titan?" Titan mempersilakan. Di ruang tamu yang tenang, mereka duduk saling berhadapan. Titan menatap lurus ke arah Hamal. "Ada apa? Tumben kamu datang ke sini?" tanya Titan penuh selidik. Hamal menggeleng perlahan. "Ada hal penting. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu padamu." Wajah Hamal tampak serius. Titan diam. Hamal pun melanjutkan. "Aku tahu kamu mengikuti mobil itu... saat
Di ruang belakang kantor produksi Orion, Titan duduk di sofa coklat tua dengan tangan bersedekap. Di depannya, Orion berdiri menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. Kalimat terakhir Titan membuatnya tercekat. "Kamu bilang... Gallen masih hidup?" Orion hampir menjatuhkan mug kopinya. Titan mengangguk pelan. "Dan dia sekarang… lumpuh?" suaranya nyaris berbisik. Titan mengangguk lagi, kali ini dengan sorot mata penuh luka. "Aku melihatnya sendiri. Kursi roda, tubuhnya lebih kurus, dan dia bersembunyi di rumah Kakek Pratama." Sebelum Orion bisa berkata apa-apa, suara pintu terbuka tiba-tiba. Galaksi masuk tanpa rasa bersalah, seperti biasa. "Aku dengar Kak Gallen masih hidup dan lumpuh??!!" serunya pura-pura kaget. Tatapan Titan dan Orion langsung tertuju padanya. "Kamu nguping!" tuduh Titan. "Eh, bukan salahku, ruangannya kedap suara tapi pintunya kebuka," kilah Galaksi cepat sambil nyengir. Titan memicingkan mata. "Kamu pintar banget menyembunyikan ini dariku,