Share

Pertemuan

‘Ingin kumenatap tapi apalah daya kini hanya ada hal semu yang tak nyata. Kutak bisa menggapainya, bahkan menemukannya pun tak bisa.’

**

Suara alarm terdengar memekakkan telinga. Bintang semalam tidur terlalu malam hingga ketika benda berbentuk bulat dengan dua jarum yang berputar terus berdering, tak mampu membuatnya terbangun.

“Bintang! Sayang! Bangun! Kamu harus ke sekolah!”

Suara teriakan sang mami mampu membuat Bintang terbangun. Dengan malas Bintang meraba nakas dan mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Dia mencoba membuka kelopak mata yang terasa lengket, hingga tatapan tertuju ke jendela di mana gorden sudah melambai karena tertiup angin.

Sebuah benda tergantung di dekat jendela, origami berbentuk bintang diikat rapi pada sebuah tali dan menjuntai ke bawah hingga setengah kusen jendela.

Bintang membuka kelopak mata lebar, melihat origami bintang dan memandangnya begitu lama.

“Meski langit ada, tapi aku tak pernah bisa menatap Langit.”

Gadis itu memilih bangun, kemudian bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena sudah kesiangan.

**

“Pagi Mi, Pi.” Bintang langsung menyapa kedua orangtuanya, tak lupa sebuah kecupan di pipi diberikan sebagai tanda kasih sayangnya.

“Pagi sayang,” balas Annetha yang sibuk mengambilkan sarapan untuk sang suami dan Orion.

“Pagi Orion!” Bintang mengusap kasar rambut adiknya, kemudian duduk di kursi yang terdapat di samping sang adik.

“Kakak! Kamu mengacaukan tatanan rambut kerenku!” keluh Orion sambil merapikan rambutnya.

Bukannya meminta maaf, Bintang malah semakin mengacak-acak rambut sang adik.

“Sudah keren, sudah keren, nggak perlu dibenerin,” goda gadis itu.

Orion kesal karena sang kakak malah menggodanya, lantas menepis tangan Bintang dan memberikan isyarat ke sang kakak jika akan membocorkan rahasia Bintang jika tak bersikap baik kepadanya.

“Berani, aku beri pelajaran kamu.” Bintang bicara tanpa suara dan hanya terlihat bibirnya yang bergerak.

“Kalau berani, akan aku beberkan semua ke Mami dan Papi,” balas Orion tanpa suara juga.

Annetha memandang kedua anaknya yang saling tatap tak bersuara, hingga berdeham dan membuat keduanya langsung duduk dengan benar.

“Cepat sarapan, nanti terlambat,” kata Annetha mengingatkan.

Bintang bergegas mengambil sendok dan mulai sarapan, begitu juga dengan Orion dan keduanya pun makan bersama.

“Mulai hari ini, Mami akan minta Pak Ujang jemput kamu tepat waktu, tidak ada alasan kerja kelompok atau apa, pokoknya jam empat Mami ingin kamu sudah berada di rumah,” perintah Annetha.

Bintang langsung melotot mendengar ucapan ibunya, sampai makanan yang sudah ada di mulut pun hampir keluar lagi karena bibir tak tertutup rapat.

“Mami, kalau ada tugas dadakan gimana?” tanya Bintang yang sebenarnya sedang membuat alasan.

“Ya kamu kerjakan di rumah,” jawab Annetha santai sambil duduk di kursi samping sang suami.

Arlan pun hanya melirik sekilas Bintang yang terlihat tak setuju dengan keputusan Annetha.

“Mami, terus kalau kerja kelompok?” Bintang masih mencoba membuat keputusan sang mami berubah. Dia tak mau waktunya dibatasi hanya karena kesalahan malam tadi.

“Tidak ada alasan, jika memang mau kerja kelompok, suruh saja teman-temanmu datang ke rumah. No debat!”

Annetha memilih tak menanggapi komplain Bintang lagi.

Bintang menggelembungkan kedua pipi, menatap sang ayah dan berharap mau menolong dirinya tapi ternyata sang ayah pun mematuhi keputusan yang dibuat Annetha.

**

Bintang dan Orion diantar Pak Ujang—sopir kepercayaan Annetha dan Arlan, untuk mengantar keduanya selamat sampai ke sekolah.

Bintang terlihat menyedot susu kotak rasa strawbery, memandang jalanan yang ramai saat di pagi hari karena orang-orang mulai berlalu lalang.

Bibir ranum gadis berumur tujuh belas tahun itu tak berhenti bergerak, hingga isi di dalam kotak susu habis hingga tandas.

“Habis,” gumam Bintang sambil memandang kotak susu itu.

Mobil yang dikemudikan Pak Ujang berhenti di lampu merah, Bintang pun membuka kaca jendela untuk melempar bekas kotak susu keluar.

“Kak jangan buang sembarangan,” kata Orion mengingatkan.

“Ih … apaan sih, kotak susu bekas doang.” Tanpa mendengarkan larangan sang adik, Bintang langsung melempar kotak susu itu keluar.

Tepat di saat kotak itu dilempar, sebuah motor sport yang dikendarai seorang pemuda, berhenti di samping kiri mobil Bintang, sehingga kotak susu yang dilempar tadi, akhirnya mengenai lengan pemuda tadi.

“Mampus.” Bintang langsung menunduk dan menaikkan kaca jendela.

“Kapok, mengenai orang! Buruan minta maaf!” perintah Orion saat melihat kakaknya bersembunyi.

“Hish … berisik. Diam kamu!” Bintang menekan intonasi nada suaranya, masih membungkuk agar pemuda yang terkena lemparan kotak susunya tak melihat.

Orion menghela napas kasar, terkadang mengeluh karena memiliki kakak yang tak bertanggung jawab sama sekali.

Pemotor tadi mengenakan helm tertutup, satu tangan mengusap jaket kulit yang terkena percikan sisa susu dari dalam kotak yang dibuang Bintang. Mungkin jika melihat wajahnya, pasti pemuda itu menggerutu karena ulah Bintang yang buang sampah sembarangan.

Orion menurunkan kaca mobil, hingga meletakkan dagu di tepian jendela.

“Kakak, maafkan kakakku, ya. Dia itu emang rada ….” Orion menjeda ucapannya, kemudian menggerakkan telunjuk di samping pelipis, sebagai isyarat jika sang kakak kurang genap pikirannya.

Bintang melotot dalam persembunyiannya mendengar ucapan sang adik, bagaimana bisa Orion mengatainya tidak waras.

“Mohon maaf ya, Kak,” ucap Orion lagi memelas.

Pemuda berhelm itu mengangguk tanda memaafkan tanpa bersuara, hingga pandangan pemuda itu beralih ke lampu lalu lintas yang sudah menunjukkan warna hijau. Pemuda itu memacu motor dan melesat begitu cepat.

“Wah, di balik helmnya, aku yakin dia sangat tampan dan keren,” gumam Orion memuji pemuda yang entah seperti apa wajahnya.

Bintang langsung duduk dengan benar setelah mobil berjalan, kemudian memukul sandaran kursi Orion karena kesal dibilang tidak waras.

“Enak saja mengataiku tidak waras!” gerutu Bintang.

“Siapa yang bilang tidak waras? Aku hanya bilang kalau kakak rada-rada,” balas Orion membela diri.

Bintang sebal mendengar pembelaaan Orion, lagi pula kenapa adiknya tadi harus membuka jendela.

“Kenapa kamu harus meminta maaf?” tanya Bintang. Dia sebenarnya takut jika pemuda tadi marah kepadanya.

“Namanya salah harus minta maaf, Kakak! Ish … ini kalau Mami tahu, dia bisa mengomel tujuh hari tujuh malam,” jawab Orion sambil mengingatkan betapa garangnya sang mami.

“Jangan bilang Mami!” Bintang mengingatkan karena Orion sering mengadu jika dirinya melakukan kesalahan.

“Uang tutup mulut dulu!” Orion menengadahkan tangan ke arah sang kakak untuk memeras.

Bintang sangat geram dengan sang adik yang sedikit-sedikit meminta uang, hingga memukul telapak tangan Orion sampai mengaduh. Pak Ujang hanya tertawa mendengar pertengkaran kedua kakak adik itu, sudah biasa jika mereka tak akur, tapi meski begitu tahu kalau Bintang dan Orion saling menyayangi.

**

Mobil yang dikemudikan Pak Ujang sampai di depan sekolah Bintang. Pria berumur empat puluh tahunan itu memarkirkan mobil di dekat gerbang sekolah.

“Non, nanti sore setengah empat saya sudah jemput,” kata Pak Ujang mengingatkan jika jam empat harus sudah sampai rumah, jadi Bintang tidak boleh telat pulang.

“Iya Pak Ujang.” Bintang menutup pintu mobil, kemudian melambaikan tangan ke Orion yang akan diantar ke sekolahnya.

Bintang melangkahkan kaki dengan ringan dan riang, kedua tangan memegang tali tas ransel yang melingkar di kedua pundak. Hingga langkah kaki terhenti saat pandangan melihat sesuatu yang tak asing untuknya, Bintang menelan ludah susah payah, wajahnya tiba-tiba berubah pucat.

“Mati aku!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
vieta_novie
Orion menang banyak nih...bakal dpt tambahan uang saku dari bintang buat tutup mulut hihihihi...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status