Bintang selalu menemani langit di malam hari, memberi gelapnya langit malam dengan taburan cahaya yang memancar begitu terang. Namun, bagaimana jika langit tiba-tiba tidak terlihat, hanya ada bintang yang berpijar, seolah langit sedang berkhianat kepada bintang yang selalu setia.
**
Suara pintu terbuka terdengar begitu pelan, ruangan yang awalnya gelap kini terkena sedikit cahaya dari luar. Sepasang kaki telanjang terlihat berpijak di lantai dengan sangat perlahan, takut jika siapa yang ada di dalam rumah itu terbangun kemudian menunjukkan murkanya.
Seorang gadis terlihat mengendap-endap masuk setelah menutup pintu dengan rapat. Hingga langkah terhenti ketika lampu ruangan itu tiba-tiba menyala dan memperlihatkan seluruh isi ruangan.
“Mami,” lirih gadis itu sambil memejamkan mata. Tubuhnya tiba-tiba berubah kaku dan tegap seperti patung tanpa gaya.
“Dari mana kamu? Bagus sekali jam segini baru pulang.”
Suara seorang wanita terdengar menusuk di telinga gadis tadi, meski tak begitu lantas ketika berucap.
“Bintang, Mami tanya. Kamu dari mana?” tanya Annetha mengulang pertanyaannya.
Wanita berumur empat puluhan tahun itu bersedekap dada, menatap punggung sang putri yang sejak tadi berdiri kaku tak bergerak sama sekali.
Ya, Bintang terpaksa masuk rumah dengan cara mengendap-endap karena pulang terlalu malam. Dia membuka mata, mencoba memasang senyum manis untuk meluluhkan hati sang mami, sebelum kemudian membalikkan badan dan memandang ke arah Annetha.
“Biasa Mami, main,” jawab Bintang lirih.
Annetha membuang napas melalui mulut, kemudian berjalan cepat ke arah Bintang berdiri. Bintang langsung waspada, tahu jika sang mami pasti akan menghukum atau memarahinya karena ketahuan main sampai malam.
“Biasa? Kamu bilang biasa? Astaga Bintang!” Annetha begitu geram dengan kelakuan putrinya, makin besar Bintang semakin susah diatur.
Annetha meraih telinga Bintang, kemudian menariknya sangat kencang.
“Mami, Ouch … Mi, sakit!” teriak Bintang seraya mengimbangi tarikan tangan Annetha agar telinganya tidak putus.
Suara rengekan dan teriakan Bintang membuat seisi penghuni rumah bangun. Arlan langsung bergegas keluar, begitu juga dengan Orion Wijaya—adik Bintang.
“Ketahuan pulang malam,” gumam bocah laki-laki berumur dua belas tahun yang kini memandang sang kakak sedang berhadapan dengan sang mami di lantai bawah.
Arlan yang memang tinggal di lantai bawah, langsung menghampiri sang istri dan putrinya.
“Ada apa ini?” tanya Arlan karena malam-malam ibu dan anak itu sudah membuat keributan.
“Papi,” rengek Bintang sambil menahan telinga yang terkena tarik ibunya.
“Lihat saja! Anak gadis jam segini baru pulang,” geram Annetha yang semakin menarik dengan kencang telinga putrinya.
“Mami! Sakit Mami!” teriak Bintang menahan tangan Annetha yang semakin menggila.
“Sayang, lepas dulu. Bagaimana kalau telinga putrimu putus.” Arlan merasa miris sendiri melihat istrinya yang tampak brutal.
Annetha melepas telinga putrinya yang kini berusia tujuh belas tahun, mencoba menahan amarah yang sejak tadi meluap-luap.
“Kamu tuh jangan belain dia, Mas! Dia ini sudah besar, seharusnya bisa membagi waktu serta tidak keluyuran di malam hari. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengannya? Bagaimana kalau ada yang jahat? Bagaimana kalau ada yang--” Annetha menangkup kedua sisi kepala, sunggung tidak bisa membayangkan jika ada orang yang menjahati putrinya di malam hari.
“Bintang pergi bersama Anta, Mi. Kalau Mami dan Papi nggak percaya, telepon saja dia,” ucap Bintang membela diri, satu tangan mengusap telinga yang panas dan merah karena terkena tarik Annetha.
“Tapi kamu juga seharusnya ingat waktu, Bin. Lihat ini sudah jam berapa?” Arlan memandang putrinya, tak heran jika sang istri marah karena Bintang pulang pukul sebelas malam.
Bintang merasa bersalah jika sang papi sudah bicara, sedangkan ucapan sang mami dianggapnya sebagai ucapan teman ke teman, sehingga Bintang terkadang jarang menganggapnya.
“Maaf Pi, Mi. Bintang beneran main sama teman sekelas, tidak aneh-aneh,” kata Bintang membelas diri dengan kepala menunduk.
Annetha mendekat hingga merapat ke Bintang, hidungnya mengendus aroma tubuh dan pakaian putrinya.
“Ih … Mami ngapain?” Bintang merasa aneh karena sang mami seperti itu.
“Bintang tidak minum alkohol, Mi. Kenapa dicium-cium?” tanya Bintang keheranan.
“Siapa tahu kamu minum? Kalau Mami tahu kamu minum, maka kamu akan Mami kurung tujuh hari tujuh malam,” ancam Annetha.
Bintang mengerucutkan bibir, dirinya tidak pernah menyentuh minuman seperti itu kenapa sang mami sudah main ancam.
“Sudah, sudah. Sekarang kamu naik dan istirahat, besok masih harus sekolah,” kata Arlan meminta putrinya untuk segera pergi ke kamar.
Annetha masih memegangi kening, entah kenapa sampai besar seperti ini Bintang malah susah diatur.
Bintang berpamitan ke Arlan, kemudian melirik sang mami. Dia mendekat dan berkata, “Bintang ke kamar ya, Mi. Mami jangan marah-marah terus, nanti darah tinggi. Lagian Mami tahu, kalau Bintang itu bersinar saat malam, jadi benarkan kalau Bintang muncul ketika malam.”
Bintang bicara seraya menggerakkan kedua tangan, seolah sedang menggambarkan gemerlap bintang yang terang.
Annetha langsung melotot mendengar ucapan Bintang, hingga mengangkat tangan dan bersiap memukul kepala putrinya yang dianggap sedang rusak.
Bintang sedikit menghindar dan tertawa, sebelum kemudian kabur karena tahu sang mami tak mungkin memukulnya.
“Night Mami, Papi. Love you!” teriak Bintang sambil berlari menaiki anak tangga.
Orion yang sejak tadi melihat tontonan di bawah sana, lantas memandang sang kakak yang baru saja naik.
“Pasti Kakak pergi dengan cowok itu lagi,” kata Orion saat sang kakak baru saja menginjakkan kaki di lantai dua.
“Sstttt ….” Bintang langsung menyentuhkan telunjuk ke bibir, mengisyaratkan agar adiknya diam, sebelum kemudian melirik ke bawah untuk mengecek apakah ayah dan ibunya mendengar.
“Jangan kepo,” ketus Bintang.
“Kasihan Kak Anta, selalu jadi bahan alasanmu,” ucap Orion lagi santai, sambil melangkah untuk kembali ke kamar.
Bintang menggelembungkan pipi mendengar ucapan Orion, hingga mengejar kemudian membekap mulut sang adik agar tidak bicara lagi.
“Kamu ini memang tidak bisa menjaga rahasia,” geram Bintang dengan sedikit menahan nada bicara agar tidak meledak.
Orion menggerakan kepala agar telapak tangan sang kakak terlepas dari mulutnya, karena tidak berhasil membuat remaja itu kemudian melepas paksa tangan Bintang.
“Uang tutup mulut dulu, kalau nggak aku bilangin ke Mami dan Papi kalau Kakak--” Belum juga selesai bicara, mulut remaja itu sudah kembali dibekap sang kakak.
“Kamu minta apalagi, sih?” tanya Bintang geram karena merasa terus diperas oleh adiknya sendiri.
Orion melepas tangan Bintang yang membekap mulutnya, kemudian menyeringai seraya menaikturunkan kedua alis.
Bintang meringis, merasa sang adik kali ini akan benar-benar memeras uang sakunya.
“Nanti kalau aku sudah kepikiran, baru aku akan minta. Tapi Kakak tidak boleh bohong. Kalau bohong ….” Orion mencondongkan tubuh ke arah kiri, seolah bersiap berteriak jika sang kakak tidak menepati janji.
“Bawel! Aku tidak akan ingkar!”
Joya melotot mendengar ucapan Langit, kenapa putranya tiba-tiba ingin kembali pindah sekolah. Sungguh hal ini membuat Joya begitu pusing. “El, jangan bercanda!” “Aku tidak bercanda, Mi. Aku mau pindah sekolah, aku mau keluar negeri,” ujar Langit meyakinkan. Joya memegangi kening sambil mendesis, kemudian menatap putranya dan kembali berkata, “Kamu sebentar lagi ujian, El. Jangan mengada-ada.” “Aku tidak mengada-ada. Aku mau pindah, segera, secepatnya! Jika Mimi tidak mengabulkannya, maka aku tidak akan pernah melanjutkan studiku, biar saja aku tidak memiliki pendidikan!” ancam Langit. Joya semakin syok, bahkan dadanya mendadak sesak karena tidak ada oksigen yang bisa masuk ke paru-parunya. Asisten Joya sampai menopang tubuh atasannya itu, karena Joya hampir limbung. “El, mimi mohon. Jangan bercanda,” ucap Joya sambil mengatur emosi dan juga napas yang terasa berat. “Aku tidak bercanda, Mi. Mimi pilih memindahkanku, atau aku tidak akan pernah mau sekolah.” Joya menatap Langit de
Bintang terduduk lemas di tanah begitu Langit pergi. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah dan menangis sejadinya. Bintang tahu bahwa keputusannya tidak hanya menyakiti Langit, tapi juga menyakiti diri sendiri. Namun, semua keputusan itu dilakukan karena dia takut dan tidak bisa melihat Langit sedih jika mengetahui dirinya sakit. Dia lebih rela dibenci, daripada melihat orang yang dicintainya menangis. “Bin.” Anta ternyata menyusul Bintang setelah melihat Langit pergi. Dia kini melihat adik sepupunya itu duduk di tanah sambil menangis. Bintang mengangkat wajah, kemudian menatap Anta yang memandangnya iba. Bintang tiba-tiba semakin menangis, membuat Anta terkejut dan langsung memeluk Bintang. Bintang pun akhirnya meluapkan rasa sesak di dada, perpisahan dengan Langit sebenarnya menghancurkan dirinya sendiri. “Lihat dirimu, Bin. Apa kamu yakin ingin putus dengan Langit? Kamu tahu jika tidak bisa, kenapa memaksa? Langit harus tahu alasanmu, Bin. Jangan menyakiti
Perubahan Bintang jelas membuat Langit merasa heran. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Bintang menjaga jarak darinya, bahkan Bintang tidak mau diantar pulang dan berkata jika sopir sudah menjemputnya.“El, gue mau ngomong sama loe sepulang sekolah,” ucap Bintang sebelum duduk di kursinya. Dia berdiri dan memandang Langit yang sudah duduk di kursinya.Anta menatap Bintang dan Langit secara bergantian, dia jelas tahu apa yang akan dibicarakan Bintang ke Langit. Namun, dia sudah janji untuk tidak memberitahu Langit, hingga dia pun diam dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa.Langit sendiri terkejut mendengar ucapan Bintang, sudah beberapa hari Bintang menghindarinya, tapi kini dia hendak membicarakan sesuatu dengannya, dan Bintang terlihat begitu serius.“Oke.” Langit pun setuju untuk bicara dengan Bintang sepulang sekolah, meski sedikit merasa aneh dengan sikap Bintang.Bintang tidak tersenyum seperti dulu saat berhadapan dengan Langit. Dia benar-benar bersikap seolah tidak menyukai
Setelah dua hari tidak berangkat sekolah, Bintang akhirnya kembali untuk belajar. Wajahnya pucat dan lesu tidak seperti biasanya. Dia berjalan dan melihat Laras yang sedang menuju gedung sekolah, Bintang pun berjalan dengan cepat untuk menyusul.“Laras!” Bintang memanggil temannya itu.Bintang tahu kalau Laras marah, tapi sebagai teman yang sudah bersama lama, tentunya Bintang ingin memperbaiki itu semua. Dia berusaha mengalah, karena tidak ingin hubungannya dengan Laras rusak.Laras menghentikan langkah mendengar Bintang memanggil, wajahnya terlihat malas seolah benar-benar membenci Bintang hanya masalah laki-laki.“Mau apa lagi loe?” Laras langsung bicara ketus ke Bintang.“Loe masih marah?” tanya Bintang sambil menatap Laras dengan wajah sendu.“Menurut loe?” Laras melipat kedua tangan di depan dada, menatap sinis ke Bintang yang berdiri di depannya.“Apa hanya karena Langit, loe jadi bersikap kek gini? Gue memang suka sama Langit, dia juga gitu. Ya apa salah kalau gue jadian sama
Bintang terdiam di kamarnya setelah makan malam. Dia melihat gelagat aneh dari ayahnya yang hanya diam sejak pulang kerja hingga makan malam. Sesekali Arlan tampak tersenyum ketika bicara, tapi Bintang sadar jika sang papi sedang merasa tertekan.Hingga Bintang mengingat ucapan yang didengarnya saat berada di rumah sakit, saat dia baru sadar setelah mendapatkan penanganan dari dokter.“Jadi, apa yang terjadi dengannya?”“Untuk saat ini, dilihat dari gejala-gejala yang dialami, saya mengindikasi kalau putri Anda mengidap penyakit lupus karena sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Tapi ini hanya indikasi saja, sebab itu kami akan melakukan tes darah dan yang lainnya lebih lanjut untuk memastikan.”Bintang terdiam sambil memeluk kedua kaki dengan tatapan kosong lurus ke depan. Dia mendengar samar-samar pembicaraan dokter dengan kedua orangtuanya saat di rumah sakit, sampai mendengar sang mami yang menangis karena terkejut dengan informasi yang diberikan dokter.Saa
“Bin.” Annetha masuk ke kamar Bintang. Melihat putrinya duduk di atas ranjang sambil menyembunyikan wajah.Bintang buru-buru menyeka buliran kristal bening yang luruh di wajah saat mendengar suara sang mami. Hingga mengangkat wajah dan mencoba tersenyum ke Annetha yang sedang berjalan menghampirinya.“Kamu nangis?” tanya Annetha saat melihat wajah Bintang yang sedikit basah. Belum lagi mata dan hidung Bintang juga merah.“Ga, kok Mi.” Bintang mencoba mengelak.Annetha tidak langsung percaya begitu saja. Namun, dia pun tidak ingin menekan putrinya untuk jujur, jika memang Bintang tidak mau bicara.“Kamu sudah meminum obatmu?” tanya Annetha sambil duduk di tepian ranjang.“Sudah, Mi.”Annetha meraih tangan Bintang, mengamati apakah ruam yang muncul sudah hilang dari kulit putrinya.Bintang memperhatikan sang mami yang tampak cemas, hingga kemudian memberanikan diri bertanya, “Mi, sebenarnya aku sakit apa?” tanya Bintang saat Annetha masih memperhatikan kulit tangannya.“Ya?” Annetha ter