Share

Bab 5-Mencari Obat

Gunung Kawi, Tahun 1995

Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. 

Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. 

"Apakah masih lama?" tanyanya kepada May.

"Kon meneng. Jangan banyak tanya."

"Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. 

"Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!"

"Yo!"

"Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?"

"Maaf."

"Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untuk kirim teluh, santet!" May ngedumel. 

"Kamu persis pemain lenong. Ngomong terus," ujar Wati ingin menyudahi perdebatan itu. 

Wati terus berjalan meskipun kakinya mulai membengkak. Setiap kakinya membengkak, ingatan akan Singgih kembali menyerbu. Sialan sekali, kenapa harus ingat bedebah tampan itu lagi. 

Perkenalkan Singgih dengan Wati terjadi sekitar enam bulan setelah perempuan itu merantau ke Jakarta. Saat itu pria itu sudah frustasi untuk mencari perawan yang bisa dia gaet untuk misi mulia ini. 

Wati bukan satu-satunya terget. Bagaimana dia bisa tahu, tentu saja pengakuan Singgih sendiri saat bercakap-cakap dengan orang pintar. Saat itu Wati sudah berhasil dihamili. 

Awalnya Singgih berkenalan dengan seorang penjaga karcis bioskop. Sudah lumayan lengket perempuan itu dengannya karena diberi hadiah dan uang yang lumayan. Namun, ternyata perempuan itu nakal juga. Terakhir minta sepeda motor. Wah, ngajak bubrah, pikir Singgih karena sudah masuk uang cukup banyak. 

Singgih berusaha menjanjikan motor itu nanti setelah mereka kawin. Usut punya usut saat dia wakuncar alias waktu kunjung pacar ke kosan perempuan semok bernama Susi itu, dia sedang kelonan dengan pacarnya yang kerja jadi juru ketik di sebuah gedung megah Jakarta. Dari usaha mengintipnya, Singgih tahu motor itu untuk sang pacar. 

Asyem! 

Dia langsung ngibrit seperti melihat sundel bolong. Selamet, batinnya. 

Perempuan kedua yang didekati adalah seorang bocah magang di tempatnya bekerja. Namanya Ratna. Manis orangnya. Namun, si Ratna lebih menjijikkan lagi kelakuannya. Bukan soal moroti duit Singgih, tetapi—dia bukan penyuka batangan. Apesnya melebihi bersama Susi. Patutlah setiap Singgih mencoba mengelus tangannya, gadis itu mendelik. Seperti ular kobra yang hendak mematuk mangsanya. 

Target ketiga adalah Wati. Pelayan restoran yang terlihat imut dan punya wajah tak berdosa ini. Mula-mula Singgih berkenalan saat melihat gadis itu memijat betisnya karena kelelahan berdiri. Singgih sok peduli dengan memberikan tip berupa uang untuk beli GPU dan koyo.

"Eh, ini beneran, Pak?" Senyumnya terbit dan menenggelamkan matanya yang sedikit sipit. Warna pipinya merah seperti semburat merah apel. 

Di antara ketiga sasaran, Wati memang paling polos. Semua memanggil Singgih "Mas". Hanya Wati yang memanggil dirinya dengan "Pak". 

Panggilan manja tanpa dibuat-buat. Seperti bocah sekolah memanggil pak gurunya.

Sini, bapak ajari bagaimana hidup di Jakarta, batin Singgih saat itu begitu kegirangan karena berjumpa target yang sesuai.

"Wati, lihat tanganmu?"

"Eh, Pak Singgih." Gadis itu berusaha menyembunyikan tangannya yang memerah karena tersiram kuah gurami asam pedas. 

"Mana?" desak Singgih . Harus sedikit keras supaya terlihat berwibawa dan gentelmen. 

"I—ini."

Dengan sedikit ragu-ragu, Wati mengulurkan tangannya. Meskipun tidak terlalu parah, tetapi luka berwarna merah itu akan berangsur menjadi coklat lalu meninggalkan bekas putih bintik-bintik merah seperti kulit babi di lengan Wati. 

Tidak boleh!

"Kita ke dokter. Mau, ya?"

"Buat apa, Pak? Nggak usah! Ini mau saya kasih odol ntar juga sembuh, kok."

"Odol? Jangan, bahaya itu."

Tadinya Singgih duduk jongkok di hadapan Wati. Kini Singgih langsung berdiri dan menyambar tangan kiri gadis itu. Mau tidak mau, akhirnya Wati mengikuti kemauan salah satu tamu restoran yang cukup sering datang saat makan siang itu. 

"Saya harus minta izin sama Mbak Lenny."

"Saya yang minta izin," tegas Singgih . Dia harus menggunakan cara ini agar meninggalkan kesan baik kepada Wati. Gadis ini toh tidak jelek-jelek amat. Meskipun tidak cantik jelita, Wati termasuk gadis yang menarik apalagi dengan kulitnya yang putih. 

"Naik mobil?"

"Lha, iya. Masak naik bemo."

"Andaikan ada bemo lewat di sini," celetuk Wati penuh khayalan. Dia sudah kembali berpijak pada dunia nyata. Perjalanan terjal mencari obat untuk Maziyah. 

Namun, tiada yang menyambut celetukannya. Tidak Mbah Trunojoyo maupun May. Atau yang lainnya.  Perempuan itu masih berjalan dengan berpegang pada tongkat kayu. Dia menghentikan langkahnya ketika tiada derak daun kering yang berisik di sepak kaki seperti tadi. Wati ingin menoleh, tetapi tadi pesan dari orang pintar dirinya tidak boleh menoleh jika ada hal aneh. 

"Harusnya ada suara ranting kering dilanggar kaki. Krusek-krusek," bisiknya. "Bagaimana ini?"

Wati maju lagi. Meskipun langkanya mulai pelan. Dia ingin menunggu yang lainnya. Benar apa yang dikatakan May, jika dia melamun ingatan akan Singgih menjelma, lantas setan masuk dan membuatnya bingung. Bingung ….

"Bingung dan salah arah? Nggak mungkin …." Wati kebingungan. Dia khawatir tersesat. "May! Kamu di mana?"

"Di belakangmu, Geblek! Disuruh fokus malah jalan belak belok Persia bebek." Suara May terdengar kesal. Namun, suara itu justru membuat Wati gembira. Dia tidak tersesat sendiri di hutan ini. 

Kedua perempuan itu akhirnya sampai ke gerbang menuju pendakian gunung Kawi sesuai petunjuk Trunojoyo, orang pintar yang mereka jumpai di batas kota. Suasana tampak sunyi, mungkin karena bukan hari yang baik untuk ngalap berkah kekayaan. Tujuan Wati jelas, dia ingin mencari obat. 

"Kalau kita mendaki terus tiba-tiba gunungnya meletus bagaimana?"

"Ya, kita mati, Wat. Kok, koen mikir yang ngenes gitu."

"Aku cuma bilang seandainya," ujar Wati mengelus tangannya yang mendadak merinding. Angin mendadak bertiup lebih kencang dari saat pertama mereka datang. Hujan rintik-rintik jatuh bersama datangnya angin. 

"Sampai di sini, koen harus naik ke atas sendirian, lho. Saat jumpa warung kamu bisa tanya-tanya tempat bertapa di mana. Beda tujuan beda tempatnya tapa."

"Iya. Doakan aku, May.

 Sebenarnya bukan dia saja orang yang akan naik gunung untuk ngalap berkah. Ada beberapa orang lagi, harusnya mereka bisa naik beriringan agar bisa saling menjaga. namun, benar apa yang dikatakan May, tujuan mereka berbeda. 

Wati menghela napas panjang. Sempat juga dia mengucapkan basmalah. Sungguh aneh ketika dia hendak mendatangi orang pintar justru ingat kepada Tuhan. 

Gunung Kawi benar-benar terlihat pulas. Tiada aktivitas vulkanik maupun tektonik. Bagai Kumbakarna, bertahun-tahun Gunung Kawi tidur, tidak menorehkan catatan letusan. Banyak yang percaya, sekalinya Gunung Kawi meletus maka akan memicu sangkakala kiamat berdengung menghapus kehidupan bumi.

"Ambyar jagat iki!" teriak satu suara yang membuat Wati hampir jatuh terjerembab karena terkejut. Suara itu berasal dari warung. Sebuah warung. 

Apakah warung yang dikatakan May?

"Permisi, Mbah. Saya ingin sowan, Mbah."

Mbah Utomo, pertapa di gunung itu serius menatap perempuan berwajah oriental di hadapannya. Dia saat ini sedang turun gunung dan duduk bercengkrama dengan pemilik warung. 

"Apa yang kamu cari, Nduk?"

"Berkah. Obat."

"Obat? Berkah? Bukan emas picis raja brono?"

"Obat. Beneran, Mbah."

"Kamu tahu sekarang ada di mana?" tanya orang tua itu dengan raut menyeramkan. Bahkan tajam mata itu membuat kaki Wati menapak ke belakang dua langkah. 

"Gunung Kawi, Mbah."

Petapa itu tertawa terbahak-bahak lantas mengelus jenggotnya yang hanya beberapa lembar saja, tetapi semua berwarna putih. Termasuk rambutnya yang tipis seperti rambut jagung. 

"Biasanya orang ke sini mau kaya. Apalagi yang tampangnya seperti kamu."

"Seperti apa, ya, Mbah?"

Pria tua itu menarik ujung matanya. Membuat mata tua itu terlihat menyipit. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status