Share

Bab 8-Alas Gendingan

Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. 

Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. 

“Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. 

“Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menambah pilu seakan ia ikut jadi korban dalam kebengisan malam tanpa rembulan yang sunyi mencekam. “Sepertinya, korban perkosaan, Lik?!” 

“Stttt, dia mulai sadar!” 

“Di mana ini?” Gadis muda itu berupaya bangun, tetapi gagal. Ia memegangi kepalanya, matanya  mengerjap, memandang persekitaran yang gelap, “Di mana ini?” 

“Kamu aman, Nger! Sudah, ndak usah dipikir dulu, yang penting kamu selamet!” 

“Iya, kami orang baik, jangan takut!” Judir tersengih melihat gadis kecil itu sudah mampu menguasai diri, duduk sambil memijat keningnya. “Kamu diperkosa, ya?” 

“Husss! Njaluk ditempeleng kowe!” 

Pitoyo, pria setengah baya itu mendelik, memberikan ancaman pada Judir, karena kelepasan bicara. 

“Orang itu juga bilang, kalau dia orang baik, tapi dia mau memperkosa saya.” 

“Lha, kamu orang mana? Orang tuamu pasti sedih, bingung!” 

Gadis kecil itu menunduk. Dia memandang ke arah pahanya yang kini tertutup sarung. Jemarinya saling terkait. “Saya, yatim piatu.” 

Pitoyo sedikit mengernyit. Namun, rasa iba jelas tergambar di wajahnya. “Ya sudah. Nama kamu siapa? Terus, sekarang mau ke mana?” Pitoyo menengahi, mengalah melihat gadis kecil itu tampak masih diliputi kebingungan, terlihat murung. 

“Maziyah!” 

“Maziyah, kamu ndak bisa bahasa Jawa, ya?” 

Pitoyo memberi kode pada Judir untuk naik ke truk, di bak belakang. 

Gadis itu mengangguk lemah.”Bisa sedikit. Saya tinggal di Surabaya, empat bulan!” 

“Oh, kamu ikut, Lik, ya. Namaku Joko Pitoyo. Panggil saja, Lik Pitoyo. Itu yang mulutnya monyong terus, namanya Junaidi, tetapi lebih terkenal Judir, kernetku.” 

“Kita ... mau ke mana?” 

“Oh, ke rumah juraganku. Sukowati!” 

“Sukowati?” Gadis kecil itu memicingkan mata, ketika secara tak sengaja Judir menyuluhnya dengan senter. 

“Perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur! Mau ikut, apa mau di sini saja?” 

Gadis itu bingung. Menengok kanan dan kiri. Dia mungkin ada di pinggir hutan, terlalu banyak pohon, gelap. “Saya, ikut! Duit saya, hilang!” Ia kebingungan meraba saku celananya. 

“Sudah, Maziyah. Soal duit, bisa di cari, janji nyawamu masih selamat. Masih nempel di badan!” Pitoyo lantang berucap. “Kamu rapikan celanamu dulu, Nduk!” 

“Iya. Maziyah merapikan diri. Matanya tetap meliar. Ia mengedarkan pandangan lama pada sekitar semak di pinggir parit tempatnya tadi berkubang. “Tas ... tas saya?” 

“Itu, Judir yang bawa.” Pitoyo menunjuk ke arah bak belakang truk. “Ayo, nanti kita kesiangan!" 

Setelah naik ke atas truk, Pitoyo dengan gesit segera menggerakkan truk secara perlahan, memasukkan gigi setahap demi setahap, lalu mulai ke tengah jalan. Truk muatan kedelai itu terenjut-enjut menyusuri jalan  gelap memasuki alas, lalu mulai menambah kecepatannya. Pria itu tidak mau terlambat sampai tujuan, atau Sundusiyah akan mendiamkan beberapa hari. 

Sundusiyah, juragannya yang bawel, hanya kepadanya. Orang lain, para sopir dan kenek selalu dimanja, kecuali dirinya yang menjadi tempat menumpahkan keluh kesah, gerutuan, juga sumpah serapah. 

“Kalau mau tidur, tidur saja. Masih satu jam setengah lagi, baru sampai. 

“Lik, perut saya sakit!” 

“Lha, kenapa lagi? Kamu lapar? Ada roti bakar. Mau?” 

Gadis itu menggeleng pelan. “Kayak mau pipis, terus!” 

“Ya, tahan sebentar ya!” 

“Lik, kok amis, ya!” Maziyah mengulurkan jemarinya takut-takut. 

Pitoyo langsung mengerem mendadak. Untung tidak ada mobil atau motor di belakangnya. Jalanan sekitar Alas Gendingan yang  kondisi  tidak baik, banyak terdapat tikungan, tanpa penerangan yang memadai saat malam hari.  Berhati-hati saja banyak celaka, apalagi serampangan. Belum lagi terkadang ada yang usil. 

“Lho, darah ini!” Dia mencium tangan Maziyah. “Dapat dari mana? Apamu yang berdarah?” Pitoyo yang panik kembali menepikan truknya. 

“Tadi saya pipis nggak tahan, terus ya keluar, kebelet!” Maziyah kembali mengusap celana jeansnya. 

Lik Pitoyo melirik melirik spion. Satu tangannya menggenggam pergelangan tangan Maziyah, satu lagi gemetar di atas kemudi. Mesin truk tiba-tiba mati. Gelap menyerbu, kuduk keduanya meremang. 

Ada kabut di belakang truk, lalu cuping hidungnya bergerak, mengendus bau amis dan busuk yang memualkan. Seperti bau rendaman kain melebihi tiga hari. 

“Nger, kamu bisa ngaji. Doa sebisa kamu, ya!” bibir Pitoyo bergetar. Dia bahkan tak menatap Maziyah, karena pandangannya tersapu gelap. 

Truk yang mereka tumpangi bergoyang seakan diayun oleh bumi yang bergoncang. Kabut yang berputar seperti pusaran beliung, diiringi suara jeritan dan rintihan. Kilat menyambar-nyambar, membelah langit. Maziyah menggigil, tetapi yang membuatnya ketakutan adalah ada sosok dingin yang merayapi, lalu membelit tubuhnya, berbau langu, suara mendesis juga sebuah jilatan seakan es menombak nadi di lehernya. 

“Ya Qahhaar ... Ya Qahhaar ... Ya Qahhaar." Maziyah terus melafazkan zikir yang diajarkan Mbok Laksmi. Dia yakin sosok atau makhluk itu akan menjauh. Asma Allah yang keluar dari bibir gadis itu semakin lirih.  Tangannya memegangi lehernya yang sesak, hingga terbatuk. 

Bersamaan dengan suara Maziyah yang terbatuk, suara mesin truk kembali menyala diikuti lampu yang berada di langit-langit truk. 

“Kamu, ndak papa?” 

“Lik, nanti kalau ada masjid, kita mampir, ya.” 

Pitoyo mengangguk, dia gemetar ketika dari sudut bibir Maziyah ada kesan merah. 

“Kamu, ndak papa, Nger ... Ya Allah.” 

Pitoyo membaca ayat kursi lagi. Satu tangannya menepuk Maziyah. Gadis kecil itu, nyata. Bukan wewe atau bangsa lelembut penghuni alas. 

Perjalanan yang sempat tersendat karena kedatangan makhluk aneh  yang berselimut kabut tersebut akhirnya sampai juga di luar hutan. Ketika melihat masjid pertama, Pitoyo menghentikan truknya.

  

Maziyah berjalan dengan kikuk. Karena pangkal pahanya sudah basah. Seperti cairan panas yang keluar tak henti dari tempatnya biasa pipis. Dia meringis sambil menekan perutnya. 

Jam di masjid berdentang tiga kali, berarti waktu subuhan kurang dari satu jam. Masjid masih sepi tak berpenghuni. 

“Itu, masuk kamar mandi. Lihat apa yang terjadi!” Lik Pitoyo berpikir tidak mungkin darah hasil perkosaan sederas itu. Kecuali, Maziyah? “Kamu menstruasi mungkin, Nduk!” 

“Mens! Saya belum pernah, Lik!” Maziyah nampak bingung. 

“Sudah, masuk ke kamar mandi, sama ini bawa handuk kecilku, ini bersih, kalau darah itu keluar terus, pakai ini buat pembalut, ya! Kamu mungkin menstruasi, Nduk!” 

Maziah masuk tanpa di suruh lagi. 

“Akkkkkkk!” 

Darah, tapi begitu melihatnya keluar bukan berupa rembesan tapi berupa gumpalan sebesar kepalan tangan anak kecil membuat Maziyah menjerit. Pekat seperti agar-agar yang rusak kelebihan air. 

“Opo!?” Pitoyo terkejut. 

“Iya, Lik saya berdarah!” Ada suara tangis dari dalam kamar mandi. 

“Sudah… sudah! Aku ambil ganti celanamu, ya! Tadi di tasmu ada celana dan kemeja, itu kaosmu juga sudah kotor!” Pitoyo kembali ke arah truk. Mengambil pakaian, celana ganti untuk Maziyah. Hanya ada lima kaos, dan dua jins. Yang bagian bawah sudah basah kerena berada di tepi parit tadi. 

Sampai di kamar mandi masjid, Pitoyo memberikan pakaian dan celan ganti, setelah itu dia mencuci pakaian dan celana kotor gadis kecil itu. Di serambi masjid, dapat secara jelas mengamati perwujudan gadis kecil itu. Wajahnya bulat telur, dengan perawakan yang kurus, rambut sebahu. Matanya cekung, entah sudah berapa hari tidak tidur. Dia seperti familiar dengan wajah itu. Namun, setelah beberapa saat terus berusaha mengingat, Pitoyo menyerah. Ingatannya tak seberapa bagus. 

“Lik, terima kasih! Matur nuwun!” Sambil menunduk, menguis lantai serambi masjid dengan kaki telanjangnya. 

“Sudah, ndak apa-apa! Sepertinya kamu anak yang kuat ya, untung tidak pingsan, ada anak pingsan begitu melihat darah haid, berapa umurmu?” 

“Empat belas tahun,” ujar Maziyah yang kini mengusap betisnya dengan satu kaki, bergantian, sepertinya penat berdiri, lalu bersandar di pilar serambi masjid. “Nanti bulan September!” 

“Oh, berarti itu ngarap sari pertamamu, ya.” Lik Pitoyo tersenyum. “Itu, mens. Berarti kamu sudah akil baliq.” 

“Iya, Lik. Terima kasih.” 

“Sudahlah, sepertinya sudah manjing, sebentar lagi subuh, nanti orang-orang malah salah paham sama kita. Oh, ya pakai ini,” ujar Pitoyo menunduk menyodorkan sandal jepit. Sandal cepit itu nampak kebesaran. 

“Ayo kita pulang!” Pitoyo memasukkan kaos juga celana yang sudah di cuci ke dalam plastik. Maziyah mengikuti langkah tergesa menuju truk. 

Perjalanan kembali dimulai. Baik Pitoyo maupun Maziyah saling diam. Gadis kecil itu beberapa kali menoleh, ingin bertanya sesuatu, tetapi terpaksa menelan kembali pertanyaannya, takut mengganggu konsentrasi. Saat berada di terminal, beberapa kali terbaca sebuah stiker di kaca depan bis, ‘Dilarang keras  bicara dengan sopir’.  

Maziyah akur dengan itu. Lelah dan akhirnya matanya terkatup rapat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status