Home / Romansa / Binti Raharjo / Bab 7-Minggat

Share

Bab 7-Minggat

Author: Wahyu Hakimah
last update Last Updated: 2021-05-15 16:25:04

Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi.

Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas.

Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat.

Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan orang tua.

"Selamat tinggal, Mi. Mimi sehat-sehat, ya. Nanti kalau, Zi sudah besar dan jadi orang sukses pasti akan datang mencari Mimi."

Tak urung air mata jatuh berlarian di pipi putih milik Maziyah. Gadis itu berusaha menahan tangis, tetapi tidak mampu. Hari ini ketika dia memutuskan pergi dari ibunya sesungguhnya adalah hari di mana ia berpisah untuk pertama kalinya.

Andaikan Maziyah tahu siapa nenek dan kakeknya tentu dia akan memohon perlindungan mereka. Meminta dirawat seperti anak pada umumnya. Padahal, saat bersama dengan Nyai, hidupnya lumayan baik. Namun, sejak pindah dia terlunta-lunta. Ibunya berpindah tempat bagaikan orang dikejar setan.

Lantas dimana ayahnya? Foto pria yang selalu dipeluk ibunya itu, mungkin pria itu. Entahlah. Dia tak seberapa ingat seperti apa wajahnya.

Bus malam melaju dengan kencang. Bis AKAP lintas Jawa itu memang terkenal ugal-ugalan. Untuk mengusir kegelisahan, Maziyah coba memejamkan matanya. Gadis itu meskipun beberapa kali terbangun karena kepalanya terbentur body bus tetapi tetap berupaya tidur. Dia ingin, sesampainya di Jogja dalam keadaan segar.

Dograk!

Sebuah kubangan besar di tengah jalan dilanggar begitu saja membuat seisi bus yang tak lebih dari 20 orang itu saling terlontar dari tempat duduknya.

"Hati-hati, ntar pecah ban. Njempalik, ntar, berabe!" Maziyah mengucapkan sambil menguap. Gadis itu mengucek kedua matanya lantas melanjutkan tidur dengan berbantal tas buluknya.

Seperti sebuah mantra jahat, apa yang dikatakan Maziyah menjadi kenyataan. Diawali dengan perebutan jalan untuk sampai di terminal Madiun, kedua bus berbeda kelas itu saling senggol. Bus yang ditumpangi Maziyah oleng, tapi masih dapat menguasai diri. Bus itu akhirnya memenangi perlombaan. Dari depan terminal bus mendapatkan tambahan penumpang dua orang. Bus melanjutkan perjalanannya.

Naas itu berawal saat Bus Emon yang ditumpangi Maziyah melaju cepat dari arah Madiun menuju Magetan. Warga setempat yang kebetulan ronda menceritakan kejadian sebelum bus itu terlibat 'adu moncong'.

"Diduga menghindari pejalan kaki yang menyeberang, orang mau ada hajatan," ujar pria itu. Beberapa warga setempat juga mengatakan. Bus jurusan Surabaya -Yogyakarta itu sempat banting setir.

Namun tepat dari arah berlawanan melaju Bus SR dengan kecepatan tinggi pula datang dari arah barat, hingga tabrakan tak terhindarkan.

Tabrakan keras itu membuat kedua bus terpelanting hingga bodinya rusak. Pengemudi SR bahkan sampai terlempar keluar dari bus dan meninggal.

Sementara pengemudi Bus Emon meninggal usai terjepit bodi depan bus yang ringsek. Sedangkan, seorang pejalan kaki yang menyeberang juga dilaporkan meninggal dunia akibat kejadian itu.

Melihat kejadian itu Maziyah bergidik ngeri. Apalagi saat semua penumpang dikumpulkan untuk ditanyai.

"Apakah keterangan orang ronda belum cukup?" nantinya kesal. Maziyah mengendapkan seperti beberapa orang yang tampak tidak suka dengan keinginan polisi yang menggiring mereka untuk dijadikan saksi.

"Orang tidur, bagaimana mungkin jadi saksi."

"Betul sekali. Kalau ada truk atau bus lain, kita ikut mereka."

"Eh, itu ada truk itu. Sepertinya nggak banyak muatan." Seorang laki-laki dengan istri dan anaknya berlari mengejar truk. Maziyah pun membuntuti dari belakang.

"Mas, nunut sampai sebelum Gendingan."

"Naik!"

Rombongan kecil itu ikut naik. Maziyah pun gegas naik. Mereka duduk di antara tumpukan karung. Seorang kernet dengan matanya yang berwarna merah karena masih mengantuk tampak bergerak ke tepi memberikan tempatnya kepada rombongan kecil itu.

"Ini, bawa apa, tho?"

"Biji randu," jawab kernet ogah-ogahan.

"Dibuat apa, Mas?"

"Dijual. Buat minyak randu."

Kernet itu bangun lantas menghitung orang yang menumpang truknya. Ada lima orang. Tiga diantaranya masih belia.

"Semua turun sebelum Gendingan?"

"Iya." Pria itu mewakili semua. Dia sepertinya seorang suami dan kepala keluarga.

"Itu yang cantik anakmu juga? Sulung?"

"Oh, nggak. Dia—turun mana tadi. Eh, Nduk?"

Maziyah masih menatap ke arah dua bangkai bus yang melintang di badan jalan jalur Madiun-ngawi yang belum berhasil dipindahkan ke pinggir jalan. Kedua kendaraan tersebut masih di sekitar lokasi karena untuk keperluan proses olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh petugas.

Adapun kondisi korban luka-luka yang dirawat di rumah sakit, sebagian korban membaik, tetapi ada korban yang dilaporkan mengalami luka serius. Polisi masih sibuk memintai keterangan sejumlah saksi dari para penumpang bus guna proses penyelidikan kasus kecelakaan lalu lintas tersebut.

Bukan keadaan walau itu yang menjadi fokusnya, tetapi bayangan seperti asap yang melayang-layang di sekitar bus yang menjadi perhatian Maziyah. Bayangan itu seperti puting beliung, tetapi berukuran sedikit lebih kecil. Bagian atas yang terlihat seperti kepala dengan telinga runcing hidung bengkok dan sepasang mata merah menatapnya dari kejauhan.

"Woi!" Si kernet menepuk pundak Maziyah.

"Astagfirullah, kaget!"

"Ngalamun kamu! Awakmu turun mana?"

"Jogja, Mas."

"Huh, Jogja? Kita nggak ke Jogja. Tapi, Grobogan. Piye?"

"Duh. Terus piye?" Maziyah balik bertanya.

"Nanti kamu turus sebelum kita belok. Daerah Sukowati. Kita belok di jembatan Ganefo." Kernet itu bersungut-sungut. "Kamu ke Jogja ngapain?"

"Anu, kuliah."

"Aturan, ya, kamu nunggu bus berikutnya. Dasar, goblok!"

Maziyah terkejut mendengar makian si kernet. Namun, dia diam saja. Dia ikut naik truk agar tidak ikut digiring jadi saksi. Dia takut didata polisi kemudian namanya abadi di buku saksi. Bagaimana jika peristiwa kecelakaan itu dimuat surat kabar atau televisi?

Ibunya akan tahu. Sukmawati akan tahu keberadaannya dan itu tak boleh terjadi.

Truk terus melaju. Beberapa saat yang sepertinya tengah malam, truk berhenti untuk menurunkan empat penumpang itu menyisakan Maziyah seorang diri. Sesaat sebelum kembali bergerak, kernet tampak maju menghadap si sopir.

"Ada penumpang." Kernet itu memberi kode. "Bocah minggat. Bawa banyak barang cemlorot."

Sopir truk menyeringai ketika mendapatkan bisikan dari kernetnya. Barang cemlorot itu setidaknya bisa dijadikan tambahan uang untuk dibawa pulang.

"Bocah e ayu. Oleh tak garap, ora?" tanya si kernet cengengesan.

"Sak karepmu." Sopir menyipitkan matanya. Matanya seperti mata hewan predator.

Kernet bersiul-siul kembali ke bak truk di belakang. Ketika tangannya menggebrak badan truk, kendaraan roda empat itu kembali bergerak perlahan menuju ke arah Alas Gendingan.

Truk tiba-tiba bergerak lebih laju ketika rimbun pepohonan ada di hadapannya mereka. Namun, tak lama truk mengerem mendadak hingga membuat Maziyah tersungkur. Gadis itu mendekap erat tasnya katika si kernet berusaha menghampirinya.

"Mau apa kamu?"

"Aku tahu kamu bawa kinclong-kinclong di dalam tasmu. Ayo, berikan!"

"Nggak!"

Maziyah waspada. Kernet itu berniat buruk. Matanya mendelik menatap tanpa rasa iba sedikitpun. Truk kembali melaju dengan pelan, dua tubuh itu bergoyang-goyang. Kernet berhasil menyambar kemeja Maziyah, gadis itu terpekik. Dia sontak berdiri, tetapi kembali terjerembab karena keseimbangan yang buruk.

"Mau lompat? Atau sini, sun pipiku." Si kernet mulai berkata cabul.

"Nggak Sudi!" Maziyah merayap ke arah bukaan bak. Tiba-tiba truk berhenti. Terdengar sopir berusaha menghidupkan mesin, tetapi gagal.

"Opo o?"

"Bajingan, ngadat!"

Mendengar itu dan melihat si kernet sedang berbicara dengan si sopir, Maziyah nekad turun. Gadis itu memijak penutup bak lantas melompat hingga kakinya sedikit terkilir.

"Woi! Mau kemana awakmu!"

Maziyah tidak tahu harus berlari ke mana. Suasana benar-benar gelap. Dia terus berlari, sedangkan kernet itu terus mengejarnya.

"Woi! Asu! Kalau ndak berhenti, tak pateni kamu. Aku bunuh! Aku perkosa kamu!"

Huh? Kalau dia dibunuh pasti mati. Mati, dan kernet setan masih berniat memperkosanya. Edyan.

"Woi!"

"Ada setan!" teriak Maziyah. "Di belakangmu ada setan!" Bersama dengan itu, kaki Maziyah tergelincir. Tubuhnya terguling lantas terjerembab di sebuah selokan yang cukup dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status