Share

Bab 4-Dukun Pijat

Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. 

"Rumahnya, dukun Sarmi?"

"Ya," jawab pria itu.

"Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"

Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar.

"Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut.

"Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?"

"Ade bayi, ehmmm berenang."

"Zi! Masuk rumah!"

"Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.

Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menjadi generasi dukun beranak berikutnya. Ilmu yang hanya diturunkan lewat lisan dan melihat persalinan secara langsung. 

Saat ibunya tidak ada, adalah saatnya dia belajar. Ibunya yang hanya pulang sebulan sekali. 

Tak ada warga kampung yang tak mengenal pemilik rumah di ujung jalan kelurahan tersebut. Penduduk di kawasan yang berjarak hanya sekitar sepuluh kilometer dari pusat pemerintahan Kota Serang, Provinsi Banten, tersebut memanggilnya dengan sebutan dukun Sarmi.

Sore itu, istri Ahmad jadi salah satu 'pasien' yang dilayani dukun beranak. Ahmad menuturkan istrinya sedang berjuang untuk melahirkan anak kedua. 

"Anak pertama juga lahir di dukun Sarmi," katanya. "Soalnya, rumah saya tidak jauh dari sini. "Sayangnya, karena sedang repot, kami tak bisa berjumpa dukun Sarmi."

"Dukun Sarminya ke mana?"

"Ke Lebak. Tidak tahu kapan pulangnya. Istri sudah terasa mau lahiran."

"Siapa yang bantu lahiran?"

"Pembantunya. Dukun Lasmi."

Pemuda yang duduk di ujung balai-balai mengangguk. Dia tidak datang untuk mengantar persalinan. Dia ingin kakinya dipijat karena keseleo saat tanding sepak bola di pabrik.

"Dukun Lasmi apakah sakti seperti gurunya, ya? Saya, nggak tahan," ringisnya.

"Ada dukun satu lagi. Dukun Sarmi bukan satu-satunya juru bantu persalinan di tempat itu. Maksudnya, tukang pijat yang mumpuni. Hanya berjarak kurang dari satu kilometer, masnya bisa menemui dukun Siti Halimah. 

"Orang-orang di kampung itu lebih mengenalnya dengan sebutan dukun Siti. Bukan hanya di kampungnya, nama dukun Siti kondang sampai kampung sebelah." Ahmad menuturkan apa yang dia tahu.

"Saya nggak kuat. Di sini saja."

Pintu rumah terbuka. Dukun Lasmi keluar menyambut kedatangan tamunya dengan ramah. Tangan halusnya menggenggam kuat saat menjabat tangan.

"Jika berniat berobat di sini, harus yakin," tuturnya. "Saya baru delapan tahun membantu melahirkan. Kalau pijat sudah lebih dari dua puluh lima tahun."

Ia mencoba bercerita tentang pekerjaan yang dijalaninya dengan bahasa gado-gado, bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. 

"Saya belajar dari Nyai Sarmi," katanya. "Dulu kan tidak ada puskesmas. Jadi belajarnya ikut beliau bantu-bantu orang melahirkan. Bocah wadon tadi adalah bayi yang pertama kali saya bantu kelahirannya. Bayi sungsang juga."  

Ahmad menunduk. Dia bukan tidak yakin. Hanya khawatir keadaan istrinya. Bayi sungsang adalah momok bagi siapapun.

"Kamu mau saya pijat dahulu? Mari masuk kalau begitu."

"Bayi saya?" tanya Ahmad. 

"Sedang diputar. Bayinya biar mapan."

Ahmad mengangguk sekali lagi. Dia akhirnya melepas satu-satunya teman berbincangnya. 

"Pekerjaan dukun bayi itu pekerjaan turun-temurun. Saya pelajari dan diwariskan keluarga Nyai Sarmi karena beliau tidak ada anak, jadi diwariskan kepada saya. Ibunya, bernama Sarimah, juga kesohor sebagai salah seorang dukun bayi di kampung itu. Begitu juga dengan neneknya. Saya tidak pernah sekolah. Jadi, saya, Nyai Sarmi, Ibu, dan Nenek tidak punya pekerjaan lain," kata dukun Lasmi. 

Seorang gadis kecil dengan langkah tertatih membawa handuk kecil. Gadis itu saat ini tengah menjadi seorang asisten dukun beranak. 

"Kamu siapkan baskom dan air panasnya?"

"Sudah, Nyai."

"Air hangatnya?"

"Sudah, Nyai."

"Bagus. Sekarang kamu keluar. Tunggu sampai aku panggil."

"Kepala bayinya di atas, Nyai?"

"Aku tahu. Aku sedang mengusahakan agar kepalanya berada di pintu menuju jalan lahir."

"Sibyan mondar-mandir di sekitar rumah, Nyai."

"Biar saja. Itu pekerjaan."

Bagi Maziyah didatangi sosok perempuan yang ganas dengan wajah yang paling menakutkan di muka bumi ini sudah biasa. Perempuan itu mengincar rumah tempat dukun bayi.

Perempuan tua ini memiliki taring panjang dengan rambut menjuntai ke tanah dan berserakan. Sangat memamerkan kengerian dan keganasan sosok ini.

Dukun bayi itu tahu perempuan yang saat ini menjadi pasiennya mengandung bayi sungsang. Tentu saja Sibyan si jin perempuan yang memiliki hasrat merusak rahim perempuan hamil dengan sangat bersuka cita. 

Sebenarnya sebulan lalu saat perempuan itu memeriksakan diri keadaan bayinya masih baik-baik saja. Entah kenapa saat ini posisi bayi menjadi sungsang.

"Diam! Diam!" Maziyah menutup kedua telinganya. Apa yang dilakukannya membuat perempuan yang tengah mengerang kesakitan itu menggigil pun dengan pemuda yang kakinya keseleo. 

"Zi!

"Bayi itu ketakutan," kata si gadis kecil. "Dia berusaha berenang jauh."

"Zi!"

Lasmi sedikit mendelik. Meskipun dia tahu apa yang dikatakan oleh Maziyah pasti benar. Gadis kecil itu begitu sakti.

"Sudah kamu keluar sana!" herdik si dukun bayi melengking. "Aku mau pijat Mas yang kakinya sakit ini."

Maziyah memindai tubuh laki-laki berusia awal dua puluhan itu. 

"Kenapa, El?"

"Nggak apa-apa."

Gadis kecil itu cepat-cepat menutup pintu lantas duduk di beranda depan. Di sana dia melihat Ahmad masih dengan sebatang rokok yang dibiarkan menyala tanpa sedikitpun dihisap. Untung puntung rokok yang berwarna abu-abu itu jatuh lalu terbang dibawa angin di sore hari ini. 

"Bayinya cowok," ujarnya sambil meringis. "Apa aku bisa memberikan nama untuknya, Pak?"

"Ehmm, boleh. Saya juga belum punya nama. Memang benar bayinya cowok?"

Maziyah mengangguk. "Namanya Maldini."

"Pemain bola? Kasihan, masnya tadi sakit keseleo karena bermain bola."

"Masnya nggak keseleo. Ada jin di jempol kakinya."

"Huh?" Ahmad langsung mencampakkan rokoknya yang kini benar-benar telah habis. "Bagaimana kamu tahu, Nong?"

"Ya, tahu," jawab Maziyah cuek. "Nanti kalau sudah benar-benar gelap aku tunjukkan."

Tatapannya beralih pada kebun kosong di depan rumah bercat putih. lantas menuju sudut teras. Maziyah mengerucutkan bibirnya ketika melihat perempuan tua dengan rambut panjang itu di sana. 

"Aku menyebar sebelum matahari tenggelam dan mencari mangsa. Siapa saja manusia yang keluyuran, khususnya para wanita yang punya anak-anak kecil maka mereka akan saya ambil,” tutur perempuan tua itu dengan suara serak. Dia selalu berkidung setiap sore hari. Berkidung keliling kampung.

Maziyah memegang tangan Ahmad. Dia langsung menoleh kebingungan. Sayup-sayup telinganya mendengar sebuah kidung yang sungguh mengerikan. 

“Aku rusak rahimnya, aku makan anaknya, dan akan aku hancurkan keturunannya,” ujar Sibyan.

Ketika Ahmad mencoba melepaskan tangan Maziyah, kidung itu hilang seperti dibawa angin. 

"I—itu tadi?"

"Sibyan. Jin perempuan yang suka makan bayi," bisik Maziyah.

Ketika malam merangkak semakin gelap. Sekitar pukul delapan malam lelaki muda itu keluar dari pintu rumah. Dia masih berjalan tertatih menuju motornya. Tiba-tiba Maziyah meraih tangan Ahmad. 

"Lihat siapa yang mengikutinya."

Ahmad tersentak kaget. Apa yang dilihatnya sungguh nyata. Sosok itu berusaha ngelendot di kaki pasien yang mengeluh kakinya sakit. Setiap dia berusaha menabrak kaki itu, tubuhnya yang serupa tengkorak itu terpental. 

Maziyah tertawa terbahak-bahak. Si tengkorak langsung menoleh. Ternyata kepala itu ada biji matanya lengkap. Dia mendelik ke arah Ahmad dan Elok. 

"Gusti!" Ahmad langsung saja memejamkan matanya. Tak lupa bibirnya berkomat-kamit membaca doa dari surat-surat pendek. 

Bersamaan dengan perginya motor si pemuda yang kakinya sakit, tiba-tiba berhenti satu motor lainnya. Kali ini seorang tukang ojek yang membawa seorang perempuan cantik yang langsung menarik tangan Maziyah begitu kakinya menapaki teras rumah bercat putih itu.

"Zi, ayo pulang."

"Ada bayi sungsang, Ang!" 

"Ibu nggak peduli. Ayo pulang. Kita harus siap-siap."

"Siap-siap apa, Ang."

Wati berkacak pinggang. Kesal karena anaknya yang ikut-ikutan memanggilnya dengan nama Aang yang artinya kakak. 

Owek! Owek! Owek! 

Tepat pukul sembilan malam bayi laki-laki itu lahir. Demi mendengar suara bayi itu, Maziyah langsung menerobos pintu. 

"Wah, ganteng."

"Suruh bapaknya tadi masuk, Zi."

"Baik, Nyai."

Maziyah kembali ke arah pintu. "Bapaknya Maldini sudah bisa masuk."

Bukan hanya Ahmad yang ikut masuk, tetapi Wati juga. Perempuan itu langsung berbisik di telinga Lasmi.

Dia berencana pergi. Lari jauh sebelum Singgih menemukannya. Pria itu berkali-kali menanyakan keberadaan putrinya. 

Tiga hari yang lalu, telah terjadi hal bodoh yang akan disesali seumur hidupnya jika apa yang tumpah dalam rahimnya nanti menjadi kecambah.

Wati marah karena diperlakukan layaknya perempuan murahan. Namun, Singgih tidak peduli. Pria itu tetap menginginkan Wati malam itu. 

"Sebelum aku pergi, tolong pijat rahimku. Aku tidak mau hal buruk itu terulang."

"Kamu—"

Wati mengangguk sambil memandangi Maziyah yang asyik dengan bayi yang baru lahir itu. Gadis kecil itu begitu sumringah. Senyumnya gadis kecil itu begitu mirip dengan senyum, Maulana Singgih. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status