Share

Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

"Karena saya seperti, orang Cina?"

“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak.

"Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.

“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?

“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”

Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”

Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain.

Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker.

Asap dupa hio mengepul pekat. Aroma wangi tercium menyengat. Angin yang berhembus mantra entah berantah terdengar sayup. Lembut jemari angin menggerayangi sesiapa yang datang mendekat. Para penjerat jiwa-jiwa menyeringai lapar. Ada jamuan lezat yang siap disantap. Nyawa namanya.

Memang sore itu sengaja Mbah Utomo tidak pergi ke sawah. Mumpung langit cerah, mentari benderang hangat, udara belum tercemar ocehan manusia, dimanfaatkannya untuk senam kesegaran rohani sejenak. Cukup di halaman depan gubuk reotnya, gerak badan hidup mampu menggetarkan langit dan bumi.

Getaran ini dirasakan Wati yang sedang melamunkan apa yang baru saja diutarakan oleh Mbah Utomo. Gunung Kawi juga tempat bermukim berbagai siluman dan makhluk gaib lainnya.

“Kamu ngapain kesini, Nak?”

“Cari Obat, Mbah?” Simbah e pikun atau pelupa, sih? Wati menekan dadanya untuk bersabar.

"Obat apa? Kamu tidak seperti orang yang sakit.”

Wati akhirnya secara ringkas menceritakan maksud hatinya. Dia berada di lereng Gunung Kawi untuk kesembuhan putrinya yang dirasuki makhluk gaib utusan dari sang suami.

“Maksudmu?”

“Soalnya, saya pernah melihat kalau makhluk itu adalah kera putih. Di sini, konon jadi tempat tinggal raja kera, Mbah.”

“Iya benar. Sebagai pusat jagat babad misteri memang banyak legenda maupun mitos hadir di sini.”

"Jadi, ceritanya anakmu itu ketempelan jin khodam, Nak." Mbah Utomo tiba-tiba terdiam. Angin berhembus kencang. Petir bersahutan. Wati celingukan sambil bergumam, "Apakah anakmu menggunakan kemampuannya untuk berbuat jahat?"

“Benar, Mbah. Sebenarnya, putri saya itu ibarat petir sebelum terjadinya hujan. Dia hanya membawa kabar bahwa akan terjadi sesuatu. Namun, satu pekan yang lalu dia—"

"Dia mencelakakan orang yang dibencinya?"

Wati mengangguk. Meskipun itu bisa saja takdir, tetapi anak gadisnya tahu persis kejadian naas dan menjijikkan yang menewaskan Pak Kosan.

“Balik lagi ke Gunung Kawi, Mbah, itulah yang menyebabkan saya ngalap berkah di sini,” desak Wati. Jangan tanya lagi, Gusti! Dukun kok pelupa.

“Ya. Gunung Kawi ini punya asal usul keramatnya. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang pada 1830 maka berakhir pula perang Jawa. Para pengikutnya mengungsi jauh ke pedalaman Jawa bagian timur dan selatan. Termasuk pula Eyang Jugo atau Kyai Zakaria yang adalah anak Pangeran Diponegoro. Jika para peziarah datang dan berdoa pasti terkabul hajatnya.”

"Semua pasti terkabul, Mbah?"

"Tergantung. Niatnya kuat apa nggak."

“Sebentar, Mbah …,” pekik Wati. Perempuan itu menatap jauh ke gelap hutan di atas sana. Angin yang berhembus sepoi-sepoi seperti lewat meliuk menggetarkan persekitaran warung itu. Angin yang membawa suara-suara memanggil namanya. Wati bersiap melompat mengejar asal suara itu, namun ditahan Mbah Utomo.

"Jangan kamu dengar suara-suara itu."

“Waktu terus berlalu. Gunung Kawi makin jadi keramat. Ritual urusan rezeki, usaha dan perdagangan dipanjatkan di sini. Ramai orang datang di Malam Jumat Legi. Hari yang dipercaya sebagai saat pintu rezeki terbuka lebar. Juga pada puncak ritual segala ritual yaitu Malam 12 Suro, tanggal wafatnya Eyang Jugo. Itulah kenapa warga keturunan Cina paling banyak datang mencari kaya.”

“Emang di sana menjanjikan untuk benar-benar sugih ya, Mbah?” Wati ingat hari ini bukan Jum'at Legi. Jadi, sia-sia saja dia datang.

“Iya, yang sugih ya para calo pesugihan itu.”

“Calo pesugihan?” tanya Wati.

“Iya. Banyak loh para pemburu kaya itu malah jadi kere! Mereka kehabisan bekal hingga keteteran cari duit pulang kampung.”

“Kok bisa, Mbah?”

“Salah sendiri percaya sama calo. Pokoknya, kalau sudah ditawari biaya ritual tidak masuk akal plus ubo rampe macam-macam ngalamat kena tipu!”

“Kok begitu, Mbah?”

“Contohnya begini, Nduk … pemburu pesugihan ini terjerat rayuan calo yang mengaku mampu menyampaikan langsung keinginan si pemburu pesugihan kepada arwah Eyang Jugo. Lalu diminta memenuhi syarat menyediakan tumbal. Nah, para calo ini memberi pilihan: mau tumbalnya manusia atau hewan.”

“Manusia?”

“Iya, tapi kan tentunya yang dipilih hewan dong …”

“Waduh!”

“Tenang saja, ketek tidak masuk hitungan tumbal kok. Anakmu dirasuki khodam ketek.”

"Iya, Mbah."

“Hewan yang biasanya diminta adalah ayam, bebek atau kambing. Tapi yang jenisnya aneh supaya nyarinya susah. Misalnya, kambing jantan yang berkacamata putih dan punggungnya ada salib hitam. Susah kan nyarinya?”

“Kambing biasa tapi dicat bulunya boleh, Mbah?”

“Nah! Dibalik itu, calo ini sebenarnya sudah menyediakan kambing yang dicat bulu sekitar mata dan punggungnya. Kambing cat-catan ini akan ditumbalkan hidup-hidup, dilepas ke hutan.”

“Dimakan siluman, Mbah?”

“Enggak! Namanya juga kambing ternakan. Balik lagi dong ke kandangnya.”

“Iya, Mbah, atau diambil lagi oleh pemiliknya ya.”

"Nanti aku ceritain tentang mistik dan mitos daun pohon Dewandaru, ritual Malam Jumat Legi dan Malam 12 Suro, dan banyak lagi," Mbah Utomo menutup celotehnya. "Koan percaya sama aku? Masalah anakmu, pasti tuntas."

"Aku harap juga seperti itu. Katanya harus nunggu dia mekar sempurna," ujar Wati

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status