Seorang pangeran tampan menyodorkan sebuah sepatu yang terbuat dari kaca.
“Pakailah sepatu ini, wahai Tuan Putri!” kata sang Pangeran.
Bak Cinderella, Nun menjulurkan kaki berbalut mojah dan legging dari balik gamis. Dipakainya sepatu kaca itu kemudian mematut diri. Ukurannya pas sekali. Namun, hak yang terlalu tinggi membuat tubuh gadis mungil berusia 24 tahun itu goyah. Dia terjatuh, kakinya terkilir dan sepatunya pecah bersama bunyi ‘prang’ di dapur.
Ya, di dapur. Bukan di kamar mandi. Dalam mimpi pun dia yakin, suara prang itu berasal dari dapur rumahnya. Nun menajamkan telinga meski matanya masih terpejam. Tidak peduli sepatu kaca atau pangeran tampan, instingnya membuat dia mengerjap seketika, menyingkap selimut, menyabet jilbab, dan melompat dari tempat tidur.
Setengah berlari dia menuju dapur. Masalahnya bunyi prang itu muncul bersamaan dengan bunyi gedebuk orang terjatuh. Nun yakin benar, rumahnya yang berukuran 6x6 meter itu tidak mungkin dimasuki maling. Mau apa maling ‘bertamu’ ke rumahnya di jam 4 pagi? Tidak mungkin membangunkan sahur atau tahajud call, kan?
Dalam hati Nun sudah senewen. Satu-satunya tersangka yang bisa masuk dapur di subuh buta begini, ya cuma bapaknya.
Benar dugaan dia. Seseorang terjerembab di lantai dapur yang tidak luas itu. Di dekatnya pecahan piring bertebaran. Nun langsung menghampiri sosok bertubuh lemah yang bahkan kesulitan untuk bangkit berdiri itu.
“Bapak, Nun kan udah bilang ... istirahat aja. Kaki Bapak masih sakit kan?” ucap Nun seraya memapah bapaknya untuk duduk di kursi kayu dekat rak piring.
“Minum dulu, Pak!” Nun menyodorkan air putih yang dia kucurkan dari teko ke dalam sebuah gelas plastik. Perabotan di dapur itu kebanyakan memang terbuat dari plastik. Piring kramik dan gelas kaca hanya digunakan untuk keprluan Bapak Nun berjualan ketoprak saja.
Nun dan bapaknya hidup sederhana di sebuah rumah kontrakan. Sudah tiga hari bapaknya terbaring sakit setelah terserempet mobil. Dia sebenarnya belum kuat berdiri, namun memikirkan tagihan listrik dan sewa kontrakan bulan ini, membuatnya tidak bisa tinggal diam.
“Nanti Nun juga bakal gajian, Pak,” kata Nun sambil memunguti pecahan piring di lantai dapur. “Bapak enggak usah khawatir soal bayar listrik dan sewa kontrakan lagi. Nun kan sudah kerja.”
“Iya ....” Bapaknya mengatur napas setelah menandaskan air dalam gelas. “... Bapak minta maaf, ya, Nun. Kamu malah harus kerja, padahal harusnya kamu tuh sudah ada yang tanggung jawab menafkahi, bukannya terus ngurusin dan mikirin Bapak kayak gini.”
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting Bapak sehat dan ceria.” Nun menampilkan segurat senyum di wajahnya demi mengusir rasa bersalah di hati sang Ayah.
“Bapak enggak apa-apa. Tuh lihat ... Bapak yang jatuh, malah piringnya yang pecah. Bapak mah sehat wal afiat,” elak sang Ayah.
“Iya, tetapi kaki Bapak juga kan pecah-pecah.”
“Itu mah rorobeheun (tumit pecah-pecah) atuh, Nun,” celoteh bapaknya. “Biarpun kaki pecah-pecah, hati dan jiwa raga Bapak kan tetap utuh buat kamu dan almarhum ibu kamu.”
“Acie ....” Nun jadi geli kalau bapaknya yang sudah keriput itu ngegombal. Dikira Nun sama dengan para pembeli ketoprak yang dia jajakan kali, ya ... bisa dirayu dan digombalin.
“Bukan cie ... cie ... kamu tuh kalau dibilangin. Harusnya kamu mulai mikirin masa depan coba. Biar bisa cie ... cie ... juga. Buruan bawa calon kamu ke sini! Bapak enggak mau nyusulin ibu kamu sebelum jadi wali nikah kamu.”
Ekspresi wajah gadis ceria itu berubah kelabu. “Sabar ya, Pak. Kim Seon Ho, masih betah tinggal di Gongjin. Nun cari jodoh buat orang-orang aja dulu,” jelas dia, “kalau Bapak mau, Nun bisa bantu cari pengganti almarhum Ibu. Biro Jodoh tempat Nun kerja kan kliennya banyak, Pak. Janda imut kayak opahnya Upin Ipin pun ada.”
“Hush ....” Bapaknya melempar serbet ke arah anak gadis semata wayangnya itu. “Ibu kamu mah tiada duanya atuh, Nun. Tidak akan ada yang bisa menggantikan. Eh, tapi ... kalau Amanda Manopo mau jadi ibu tiri kamu sih, Bapak enggak nolak. Di Biro Jodoh kamu ada enggak yang sebening si Andin itu?” timpal lelaki berbadan kurus macam Tok Dalang itu sambil melepas tawa. Sepertinya dia lupa dengan kaki dan pingganya yang sakit akibat terjatuh barusan.
“Malu sama Aldebaran kali, Pak,” gerutu Nun.
“Aldebarannya buat kamu ajalah, Nun!” Dia malah terkekeh.
“Bapak ... Bapak ... sinetron terus yang dipikirin. Ini piring ketoprak pecah satu mau digimanain?”
“Ya buanglah, Nun. Masa mau dipelihara? Kalau berubah jadi emas permata sih boleh aja disimpen juga. Kali bisa buat modalin kamu nikah sama siapa tuh tadi ... Kim Jong Un, ya?”
“Kim Seon Ho, Bapak ... bukan Kim Jong Un. Jauh amat nyasarnya ke Korea Utara.”
“Iya, deh ... Seon Ho apa seon kanan belok kiri kayak emak-emak bawa motor pun bolehlah ... yang penting kamu dapat jodoh. Impian Bapak yang belum terkabul tuh cuma itu aja,” kata bapak Nun seraya menambahkan, “... sama naik haji, punya rumah sendiri, kios buat jualan ketoprak, perabotan, sama calon istri baru yang minimal beningnya kayak Amanda Manopo lah, ya.”
Nun sampai spechless kalau bapaknya sudah pidato. Lelaki paruh baya itu kalau sudah bicara memang susah dilawan. Pada akhirnya Nun iyakan saja, biar durasi dan jumlah kata tidak berlebihan.
***
Setelah subuh, Bapaknya Nun bersikeras mendorong gerobak ketoprak miliknya menuju depan gang. Biasanya tukang ojek dan ibu-ibu kompleks sebelah sudah berseliweran mencari menu untuk sarapan. Ketoprak bapaknya Nun selalu jadi target incaran. Apalagi sudah dua hari dia libur mangkal, pasti ibu-ibu kompleks dan mamah-mamah muda muda kangen berat kepadanya, eh ... kepada ketopraknya.
Namun, baru sampai belokan, dia sudah dicegat anaknya.
“Nun, jangan cegah Bapak! Biarkan Bapak pergi berjualan! Mamah-mamah muda yang suaminya butuh sarapan ketoprak pasti sudah sangat merindukan Bapak, Nak,” kata dia.
“Dasar Bapak lebay! Siapa juga yang mau cegah Bapak!” sungut Nun sambil mengerucutkan mulut.
“Lah itu, kamu lari-lari ngejar Bapak, kenapa coba?”
“Bapak ... Bapak tuh baru selesai salat subuh ....” Nun menahan-nahan intonasi suaranya supaya tetap terkesan lembut di telinga Bapaknya. “Itu sarung masih dipake. Bapak mau jualan apa mau ikut sunatan masal?”
Bapaknya langsung menunduk. “Wadoooh ....” Dia langsung putar balik gerobaknya kembali ke rumah. Bisa berabe urusannya kalau tuh sarung melorot di tengah jalan atau di tengah transaksi jual beli ketoprak di depan gang.
Itulah peristiwa yang membuat Nun kesiangan berangkat kerja karena harus bolak balik ngejar bapaknya dahulu sampai ke depan pengkolan gang, lalu balik lagi ke rumah. Kesiangan yang membawa kesialan.
Nun beristighfar.
***
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk