Share

Biro Jodoh Pangkalan Hati
Biro Jodoh Pangkalan Hati
Penulis: Eneng Susanti

Ketoprak The Nun

“Assalamualaikum,” sapa Nun bersama selengkung senyum di wajah mungilnya. Wajah khas mojang Pasundan itu dibingkai kerudung segi empat warna putih. Jilbab andalan tersebut ditampilkan dengan gaya hijab klasik ala 90-an. Itu membuatnya kerap disapa The Nun oleh sebagian orang.

Gadis bernama lengkap Ainun Mardiyya itu baru saja tiba di kantor tempatnya bekerja, yakni sebuah Biro Jodoh berbasis syariah yang dijalankan dengan teknologi digital.

Ketika Nun datang, para personel Biro Jodoh berlabel Pangkalan Hati itu sudah duduk manis di kubikelnya masing-masing. Itu artinya, Nun terlambat. Biasanya, dia datang paling pagi. Bahkan, lebih pagi daripada cleaning service.

“W*’alaikumsalam, Teh Nun,” Seorang gadis muda membals salamnya. Gadis itu merupakan pegawai baru di tempat Nun kerja. Namanya Listia. Orang kantor memanggilnya Dede. Kenapa begitu? Entahlah. Mungkin namanya mengingatkan kepada penyanyi terkenal di TV yang kerap disapa ‘Dede’. Atau, malah karena sosoknya yang menjulang sehingga mengingatkan kepada seorang pelawak. Ya, Dede yang satu ini walaupun baru lulus SMA, badannya sudah setinggi 170cm. Namun, berat badannya hanya seperempat dari angka tinggi badan tersebut. Sosoknya persis Dede Sunandar versi perempuan.

“W*’alaikumsalam, The Nun.” Satu orang lagi menjawab salam Nun. Orangnya cuek. Namun, soal penampilan dia yang paling mencolok di antara seluruh penghuni kantor itu. Namanya Fauziah, tetapi semua pegawai, termasuk bos, memanggilnya Kak Pawpaw. Itu karena hobinya makan bakpao. Hanya saja setelah mengenal Nun setahun lalu, hobi makannya itu makin mencengangkan.

Kak Pawpaw ini memang terbilang pemakan segala. Bahkan, jika sedang kesal dengan klien, kertas berkas juga bisa dia kunyah. Namun, tetap saja, semua staf kantor geleng-geleng kepala ketika wanita berbadan bongsor itu mengombinasikan bakpao kesukaannya dengan ketoprak yang Nun bawa.

“Enggak tambahin cuka sama kerupuk udang dan mi instant sekalian?” celoteh Devan, asisten bos yang bicaranya suka asal jeplak. “Plus 62 memang tiada tara. Ckckck ....”

“Kenapa memang? Lu mau coba? Jangan modus minta gue suapin, ya!” ancam Kak Pawpaw. Dia tidak pernah segan kepada siapapun, kecuali kepada Pak Kafka, bos Biro Jodoh Pangkalan Hati yang terkenal berwajah dingin.

Begitulah percekcokan yang kerap terjadi antara dua preman kantor tempat Nun bekerja. Dia sudah biasa dengan keributan pasangan musuh bebuyutan Devan-Pawpaw itu. Toh, kepada Nun, keduanya bersikap baik, bahkan sangat manis. Seperti hari ini.

“The Nun, ketoprak aku mana? Lapar nih ... buruan!” seru Kak Pawpaw setelah menjawab salam Nun.

“Siap, Kak!” Nun merogoh keresek berisi beberapa bungkus ketoprak pesanan staf kantor. Lantas, membagikannya ke meja masing-masing.

Di kantor ini, kerja seserius apa pun, bisa dikerjakan sambil makan dan ngopi. Bagaimana tidak, tugas sehari-hari mereka hanya mantengin monitor komputer atau mengecek handphone. Selebihnya, mengatur jadwal pertemuan untuk wawancara klien, ta’aruf, gathering, rapat bersama pimpinan, dan lain-lain.

Banyak sih yang mereka kerjakan, namun sebagai sebuah start up, Biro Jodoh Pangkalan Hati memberi kebebasan kepada staf-nya untuk bekerja senyaman mungkin. Tidak heran, ketoprak yang datang kesiangan pun masih bisa beredar secara leluasa di dalam kantor.

“Satu lagi buat siapa tuh?” tanya Dede yang sudah kegeeran saat Nun kembali dengan sebungkus ketoprak yang masih utuh tanpa pemilik setelah beredar ke semua kubikel.

“Buat ....” Belum sempat menjawab, sebuah panggilan menyela.

“Nun, tolong ke ruangan saya sekarang juga!”

Itu suara Kafka, pemilik perusahaan sekaligus bos di kantor tempat Nun kerja. Suaranya berasal dari daun pintu ruang khusus yang ditempatinya di bagian pojok kantor.

Wajah Dede berubah tegang. “Teh Nun dipanggil Pak Kafka. Mau diapain tuh kira-kira?”

Dia tahu Kafka itu sosok yang walaupun berwibawa, tetapi dingin seperti salju Kutub Selatan, irit bicara, jarang senyum, dan tipikal bos yang gila kerja. Hobinya mengintrogasi karyawan.

“Teh Nun, semoga selamat enggak diapa-apain Pak Kafka,” doa Dede.

“Dikira Pak Kafka tukang jagal apa? Dede ... Dede ...!” kata Kak Pawpaw kepada juniornya yang polos itu.

“Saya permisi dulu deh, ya ...!” Nun bergegas.

“Iya, buruan sana, kalau Pak Kafka sampai kenapa-napa, kita semua nanti yang bakal jadi kenapa-napa.”

“Kenapa-kenapa gimana maksudnya, Kak?” tanya Dede dengan polosnya.

“Kita lihat aja entar, kenapa-kenapanya!” Tanpa pikir panjang, Kak Pawpaw langsung menyikat ketoprak miliknya.

***

“Kamu terlambat, ya, barusan?” tanya Kafka to the point. Dia tidak bicara dengan nada tajam, tetapi bagi Nun itu bagai tusukan pisau. Sakit sekaligus malu banget dimarahin atasan karena ketahuan kesiangan.

Nun menganggukan kepala sambil berucap maaf.

“Duduk!” perintah Kafka.

Nun menyeret kursi dan menempatkan posisinya ke depan meja sang CEO.

“Ketoprak saya mana!”

Hampir Nun kena serangan jantung menghadapi tatapan tajam bosnya. Ternyata Cuma nanyain pesanan ketoprak.

“Ini, Pak.” Nun menyodorkan pesannanya.

“Berapa?” tanya dia. Selama Nun kerja, baru kali ini dia pesan ketoprak. Maklum, Kafka juga baru tahu kalau Nun nyambi jualan ketoprak di kantornya. Terlebih, dia tahu ketoprak itu adalah dagangan bapak Nun sendiri.

“Tidak usah, Pak. Gratis aja buat Pak Kafka mah.”

“Enggak bisa begitu, dong.” Dia beneran mengeluarkan dompet dari saku celananya dong.

“Jangan, Pak!” Nun memberi isyarat dengan telapak tangannya. Kafka tidak jadi merogoh koceknya. “Nanti Nun rekap sebagai bon saja. Bayar pas gajian. Jadi Bapak bisa pesan ketoprak terus sampai akhir bulan.”

Kafka memamerkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi, bikin Nun silau seperti melihat matahari bersinar terik. “Jadi begitu, ya, S3 marketing kamu? Pantes aja banyak karyawan saya yang sakit perut. Tiap hari sarapannya ketoprak The Nun.”

“Kalau itu sih, risiko ditanggung pembeli, Pak,” sahut Nun agak rileks setelah dihadiahi senyum seindah mentari tadi. Sepertinya salju di hati Kafka bisa dicairkan oleh sebungkus ketoprak.

“Nah, kalau yang sekarang mau saya kasih ... ini risiko kamu!”

Nun yang sudah lega kini sesak lagi. Bos-nya yang satu ini memang suka bikin paru-paru karyawannya kembang kempis. Semacam oksigen mungkin dia, atau karbon dioksida malah. Tidak tahu lah Nun pun.

“Ada apa, Pak?” gadis itu memberanikan diri bertanya.

“Mas Haris semalam kecelakaan. Dia enggak mungkin nanganin klien yang besok mau dita’arufkan.” Prolog Kafka sudah bisa Nun baca epilognya. “Kamu yang ambil alih kliennya Mas Haris, ya!”

Awalnya Nun mematung, tetapi sesaat sebelum diminta keluar ruangan, dia sempatkan diri bertanya, “Kenapa saya, Pak? Saya kan masih baru jadi Mak Comlang di sini.”

Nun mau bilang, dia belum tahu apa-apa, terutama tentang klien Mas Haris. Mak Comlang yang lebih senior dari Kak Pawpaw itu kan khusus menangani klien VIP. Sedangkan Nun sendiri hanya mengurus remahan rengginang. Bagaimana bisa dia berurusan dengan klien VIP?

“Kalau bukan kamu, siapa lagi? Pawpaw full. Dede masih magang. Devan harus gantiin saya pegang IT. Saya? Saya harus ke luar kota sore ini. Ada urusan penting.”

Kepala Nun mendadak pening. Rasanya seperti jatuh tertimpa tangga. Dia menyeret langkahnya keluar dari ruangan Kafka dengan setengah nyawa.

“Kenapa-kenapa?” serbu Kak Pawpaw dan Dede yang penasaran luar biasa.

“Mas Haris kecelakaan.”

Kompak Dede dan Kak Pawpaw membuka mulut lebar-lebar, “Hah?”

“Nun disuruh ambil alih kliennya Mas Haris.”

“Hah?” lagi-lagi pasangan senior-junior itu kompak.

“Bang Devan ambil alih IT.”

“Hah?”

“Pak Kafka mau keluar kota.”

“Hah, eh ... hore deh!” sorak mereka sambil melirik ruangan Pak Kafka yang berdinding kaca, tetapi tertutup tirai dengan sempurna. Khawatir si Bos mengintip dari sana.

Nun mendelik. Bagi mereka dan sebagian staf lain, kepergian Kafka adalah hal yang menggembirakan. Tidak bagi Nun. Dia lebih suka Bos-nya masuk kantor sepanjang hari supaya dia setidaknya bisa melihat matahari, eh ... wajahnya yang menyilaukan hati. Lantas, apa yang akan membuat bunga-bunga di hatinya bersemi jika sang mentari tidak bersinar lagi?

“Sabar ya, Teh Nun ....” Dede mengelus lengan Nun yang sudah dianggapnya kakak sendiri itu.

“Nanti sore kita tengok Mas Haris, yuk! Siang ini aku agendaku full soalnya. The Nun mohon tahan senewenmu sampai dapat petunjuk, ok!” nasihat Kak Pawpaw. “Kalau perlu Psikiater, hubungi aja Mami Dedeh.”

Mami Dedeh, nama lengkapnya Dedeh Dahlan. Dia adalah konsultan psikologi di Biro Jodoh Pangkalan Hati. Dia tidak datang setiap hari, hanya di waktu-waktu tertentu ketika dibutuhkan klien atau Pak Kafka sendiri yang memanggil. Namun, dialah satu-satunya orang yang paling sigap menampung curhatan dan keluh-kesah para staf.

“Iya, Kak. Makasih,” sahut Nun sambil berjalan menuju ke kubikelnya.

“Senyum dong, The Nun. Dapat job baru nih, ye!” kalimat asal jeplak Devan makin membuat Nun kesal. Namun, bagaimanapun dia asisten Pak Kafka, Nun tidak boleh marah kepada dia. Itu bisa merusak citranya di depan atasan. Apalagi Devan ini termasuk pelanggan setia ketoprak The Nun.

Nun mengalihkan pandang kepada berkas-berkas di meja. Klien-nya sendiri belum ditangani dengan benar. Siang ini dia ada janji bertemu klien yang batal khitbah. Alamat Nun gagal dapat bonus ini mah.

“Sabar, Teh Nun.” Dalam kondisi begitu, kalimat Dede lah yang kerap terngiang di telinga dan ingatan Nun langsung sampai kepada tulisan di gerobak ketoprak bapaknya, ‘Ketoprak Pak Sabar.’

Nama bapaknya memang Pak Sabar. Jadi kalau Dede bilang, “Sabar ya, Teh Nun,” gadis itu justru merasa sedang diolok-olok teman SD-nya dahulu.

“Iya, sabar. Bapak sabar, Nun juga harus sabar!” Batinnya bergumam, “Mas Haris, klien VIP, Pak Kafka ... Ya Allah, mimpi apa Nur semalam tadi sih?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status