“Dasar wanita mandul!”
Ucapan Renal dan ibunya masih saja terngiang di kepala Sera, meski beberapa hari sudah berlalu. Kata-kata itu menancap di hatinya dalam-dalam, entah kapan bisa dipulihkan.
“Aku wanita tegar, aku kuat,” ucap Sera menyemangati dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam.
Tapi, ya Allah, wanita itu kemudian membatin. Kenapa dia mandul? Apa yang telah Sera lakukan hingga diberi cobaan seperti ini?
Rasanya sesak. Sera berusaha menyeka air matanya. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Tidak, dia tidak boleh cengeng. Ini semua sudah kehendak Tuhan.
Sera pergi ke kamar mandi, membasuh wajah agar terlihat lebih baik. Setelah itu, dia pergi keluar kamar dan menemui Rani.
“Sera, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rani. Dia adalah ibu kandung Sera. Sera mengangguk, dia telah pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari yang lalu setelah perceraian terjadi.
Ada banyak yang masih bisa Sera lakukan dalam hidup meski kini telah menjadi seorang janda. Dia tetap menjalani hidup dengan senyuman manis.
Bohong, bohong kalau dirinya tidak sedih. Apapun bentuk perceraian tetap menyakitkan. Tapi, Sera tahu itu adalah jalan yang terbaik dari Tuhan pastinya. Sera harus tetap melangkah maju, mengikhlaskan tahun-tahun pernikahannya dengan sang mantan suami.
Sera tersenyum pada Rani yang tengah menatapnya. Ibunya sangat mengkhawatirkan keadaan sang putri.
“Aku baik-baik saja, Ma, sungguh. Mama tidak perlu khawatir,” ucap Sera untuk meyakinkan wanita itu.
Rani tersenyum, dia menyusap punggung Sera.
“Sera, jika kamu ingin menangis di depan Mama, menangis saja. Tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat tegar, ya,” tutur Rani dengan suara lembut.
Sera menggeleng. “Ma, Sera sungguh tidak apa-apa. Lagi pula Sera masih punya Mama dan Papa,” ucapnya. “Oh ya di mana Papa?”
Sejak Sera pulang ke rumah, dia tidak melihat keberadaan Sidik, ayahnya.
“Papamu masih di pondok, Sera. Apa kamu jarang menghubungi Papa?”
Sera terdiam. Kepulangannya memang belum diketahui oleh Sidik. Faktanya, baru Rani yang tahu kalau Sera sudah bercerai.
Kejadian tersebut membuat Rani merasa sedih. Wajar saja itu terjadi, ibu mana yang tidak pilu saat tahu pernikahan anaknya telah berakhir.
“Mama yang akan cerita semua jika Sera tidak sanggup.”
Sera kembali menggeleng. “Sera akan bicara langsung dengan Papa. Apa Sera harus menyusul ke pondok?”
"Jika kamu ingin ke pondok, Mama akan temani kamu." Rani tidak ingin Sera berangkat seorang diri.
***
Malam hari sebelum berangkat ke pesantren. Seorang wanita berjilbab duduk di tepian ranjang dengan wajah yang sendu. Ya, dia adalah Sera. Perasaan itu masih selalu datang. Siapa memangnya yang tidak sedih atas pernikahannya yang kandas? Sera merasa hidupnya begitu tengah sengsara.
Dia tidak benar-benar baik-baik saja. Sera rapuh, tapi harus tetap terlihat utuh. Hatinya teriris. Entah perlakuan kasar sang ibu mertua atau mantan suaminya yang bertindak ingin mempoligami, itu membuatnya terasa sakit. Apakah dia sangat tidak pantas bahagia?
Malam yang seharusnya ia pergunakan untuk istirahat, pikirannya justru semraut atas pernikahannya yang tidak bisa dipertahankan. Sera telah gagal menjaga pernikahannya sampai maut memisahkan. Air mata yang hampir terjatuh ia cegah dengan sekuat tenaga.
Sera adalah wanita yang kuat. Dia bisa melewati permasalahannya, alangkah baiknya dia istirahat karena esok dia akan berkunjung ke pesantren menemui ayah kandungnya. Ya, perlu digaris bawahi kalau kesedihan itu hanya sementara. Mengembuskan napas pelan, Sera membatin, ‘Sera perceraian itu sudah terjadi, kamu harus mampu melaluinya.’
***
Di sebuah ruang pribadi di pesantren tersebut, Sera mengutarakan pada sang papa mengenai perlakukan mantan suami dan ibu mertuanya. Jelas saja, sang Kiai merasa kecewa terhadap sang menantu dan juga ibu mertua Sera. Ada sedikit perasaan marah karena sudah berani melukai perasaan putrinya.
Namun, Sidik tetap berusaha tenang. Marah hanya akan membuat keadaan lebih buruk.
"Sera, kamu pasti mendapatkan jodoh yang lebih baik setelah ini,” tutur sang Papa dengan nada tegas, tapi menenangkan bagi Sera. “Papa harap kamu bahagia setelah musibah yang kamu alami."
Sera mengangguk. "Amin. Tolong doakan Sera."
"Itu sudah pasti Sera," ucap Sidik. "Papa percaya Sera mampu menghadapi ujian yang sedang Sera alami."
Sera tersenyum. "Terima kasih, Pa.”
Berkat mereka berdua Sera selalu merasa tenang. Setidaknya dia mampu melupakan masalahnya. 'Perceraian terjadi kepadaku tidak harus aku sesali. Tapi, aku harus belajar untuk lebih baik ke depannya. Aku percaya dengan jalan yang sudah Tuhan kasih,' batin Sera.
"Mas, bagaimana jika kita ajak Sera keliling pondok?" saran Rani. “Baiklah, mari kita keliling pondok bersama,” putus Pak Kiai. Ya, dari pada Sera terus gelisah, menahan kepedihan seorang diri. Lebih baik Sera menghabiskan waktu dengan hal yang positif.
Untuk kali ini, Sera tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Sera tenang berkunjung ke pesantren, rasanya apa yang menjadi kesedihannya itu bisa teratasi. Untuk sementara waktu, dia ingin melupakan segudang masalahnya.
Sera berjalan di antara ibu dan ayahnya. Mereka meninggalkan ruangan tersebut usai berbincang. Sera berharap ada hal baik yang bisa ia petik saat berkunjung ke pesantren. Ia baru memijakkan kakinya kembali setelah sekian lamanya.
Beberapa menit berlalu, saat tengah melihat lingkungan sekitar mereka bertiga berbincang-bincang. Salah seorang lantas memanggil ayah kandung Sera. Pada akhirnya Sidik pun pergi meninggalkan Sera dan Rani terlebih dahulu. Sepertinya urusan penting. Namun, Sera tidak tahu itu apa. Ah, tidak, lebih tepatnya meninggalkan Sera seorang diri karena Rani ikut menemani sang suami.
***
Sera selalu merasa kagum dengan tempat tersebut. Wanita itu akhirnya bisa tersenyum cerah lagi. Kesedihan yang ia rasakan semalam seolah lenyap begitu saja. Saat tengah duduk di taman seorang diri, Sera terkejut Rani menghampirinya dari arah belakang. Dan itu sedikit membuat jantungnya sedikit berdebar kencang.
“Maaf-maaf kamu pasti terkejut, ya.”
“Tidak apa-apa, kenapa Mama sendirian?” tutur Sera bangkit.
“Di mana pa-“
Belum selesai menjawab, Sera mengernyitkan dahinya melihat ayahnya berjalan dengan dua orang yang tidak ia kenal. Tetapi, seperti tidak asing juga bagi Sera. “Itu papamu,” ujar Rani.
“Siapa mereka?” tanya Sera. “Kamu lupa? Itu tante Karina dan itu anak semata wayangnya bernama Dika. Kamu dan Dika sudah kenal sejak kecil, Sera. Kamu mungkin lupa karena kalian pisah sejak SD,” terang Rani.
“Oh ya?”
“Iya,” ucap Rani singkat.
Ketiga orang tersebut lantas menghampiri Sera serta Rani. Di satu sisi, pikiran Sera mencoba mengingat sosok pria yang berada di samping seorang wanita berhijab bernama Karina itu. Di sisi lain, cowok itu tampak tidak suka dengan lingkungan sekitar pondok. Bahkan wajahnya saja terlihat datar. Sera merasakan aura yang berbeda pada pria itu. Ada rasa takut, tapi entah itu terjadi karena apa.
“Assalamualaikum, Sera, kamu masih ingat dengan Tante?” ucap Karina menyapa dengan lembut. Sera dengan senyuman manisnya turut menyahut, “waalaikumsalam, Tante. Iya, Sera tentu ingat Tante.”
Namun, sayang sekali, ingatan masa kecil Sera tidak sepenuhnya bisa ia ingat. Karena, dia tidak bisa mengingat pria bernama Dika itu.
“Duh, Tante sangat senang kalau Sera ingat dengan Tante, ini Dika, Sera, putra Tante. Kamu masih ingat juga kan?”
Sera terdiam. “Hm, sepertinya Sera sedikit lupa, maklum saja mereka sudah pisah sejak lama,” itu suara Rani.
“Sera, Tante Karina ke sini karena ingin berkunjung ke pesantren melihat keponakannya di sini. Kamu bisa kan antar Tante Karina?” ucap Sidik.
“Benar, kamu tidak keberatan kan, Sera? Kasihan loh, Tante Karina sudah datang jauh-jauh,” ucap Rani menyambung.
“Kalau kamu memang keberatan, Tante tidak masalah Sera,” ujar Karina. Sera lantas menggeleng, “tidak Tante, Sera akan temani,” jawab Sera.
Mendengar jawaban Sera, seorang pria yang usianya hanya terpaut 1 tahun lebih tua dari Sera memutar bola mata, tampak jengah melihat Sera. “Ma, kita harus cepat pulang,” ucap Dika dengan ekspresi datar.
“Dika, Mama tidak akan lama, kamu sabar sebentar dong, Nak,” jawab Karina.
Sera dan Dika sempat beradu kontak mata, namun buru-buru Sera mengalihkan pandangan, dalam hati dia berkata, ‘ketus sekali lelaki itu. Menyebalkan.’
Namun, siapa yang tahu jika pertemuan pertama kali itu membawa keduanya dalam lingkaran yang membuat mereka berada di satu lingkungan yang sama.
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.