Share

Bismillah, Pernikahan Kedua dengan CEO
Bismillah, Pernikahan Kedua dengan CEO
Author: Pena_Ri

1. Diminta Cerai

"Mana Sera!? Mana istri mandul itu!?" 

Sera terkejut, tersentak kaget saat suara lantang nan keras sang ibu mertua di depan pintu kamarnya. Tidurnya terusik. Dia pun segera membuka mata dengan paksa dan terburu-buru memakai hijab. 

Sekarang sudah pukul 10 malam. Sudah waktunya bagi orang-orang untuk tidur, begitupun Sera. 

Namun, ibu mertuanya pasti tidak peduli. Sudah teramat sering Sera mendapatkan amukan dari mertua Sera yang dikenal pemarah itu. 

Gegas, Sera mengambil langkah dengan cepat untuk membuka pintu kamar.

Di hadapannya, sudah berdiri Reva, sang ibu mertua, dengan berkacak pinggang. Di sebelahnya, Renal, suami Sera tengah menenangkan ibu kandungnya tersebut.

"Mama, jangan bicara seperti itu, itu istri Renal," ujar Renal membela sang istri.

"Alah! Lebay! Mama muak dengarnya!” bentak sang ibu mertua. Lalu, wanita tua itu menunjuk Sera lurus-lurus. “Kamu!”

Sera terkesiap. Ia tidak mengatakan apa pun, menciut ketakutan.

"Kemasi barang-barang kamu sekarang!" perintah Reva membuat mata Sera membulat sempurna. "Cepat! Tunggu apa lagi, hah!?”

Pandangan wanita tua itu menajam.

"Mama!" sergah Renal. "Jangan usir Sera!”

Pria itu segera menghampiri Sera. Menggenggam tangan Sera erat.

"Ma, kenapa? A-ada apa?" tanya Sera gugup.

"Ada apa? Kamu masih bicara ada apa?!” Reva tersenyum sinis. “Percuma anak saya nikah dengan kamu, Sera! Kamu itu mandul! Kamu hanya bikin malu keluarga saya!” 

Sera menggigit bibir, tidak berdaya di hadapan amukan sang ibu mertua.

“Muka saya mau ditaruh di mana, hah? Coba kamu pikir!” lanjut si ibu mertua lagi. “Saya malu punya menantu, tapi sampai sekarang tidak bisa memberi cucu!"

"Kamu juga, Renal! Berhenti membela istri kamu. Sudah empat tahun sejak kalian menikah, mana janji kalian untuk memberi cucu? Hah?! Mama malu dihina teman-teman Mama, Renal!" Dengan nadanya yang masih meninggi Reva berkata.

Si ibu mertua hendak menarik tangan Sera, tetapi Renal lebih dahulu mencegahnya.

"Minggir, Renal!" bentak Reva lagi, tidak terima putranya membela perempuan mandul tersebut.

Ia tidak tahan terus diolok-olok teman-temannya saat berkumpul arisan. Rasa irinya terus meninggi, juga amarahnya menumpuk karena ucapan-ucapan yang menampar baginya. Dan Sera adalah penyebab utamanya. 

Dari semua anggota arisannya, hanya dirinya yang belum memiliki cucu. Semua teman-temannya berbangga diri memamerkan cucu kesayangan mereka masing-masing. Sementara dirinya tak bisa melakukan apa-apa.

Itu sebabnya, Reva muak dan memutuskan untuk mengusir Sera dari rumahnya. Dan mendesak Renal segera menceraikan wanita pembawa sial itu. Reva juga memutuskan untuk mencarikan Renal wanita yang lebih baik.

“Perempuan tidak berguna!” 

“Mama!” Renal membelalak menatap sang ibu.

"Mas Renal, tidak apa-apa," ucap Sera. Ia menggelengkan kepalanya dan melepaskan genggaman Renal. “Mama kamu benar. Aku tidak bisa memberikan anak sekaligus cucu.”

Wajah Sera berubah sendu. Dia menunduk dengan matanya yang merah menahan tangisan.

"Ceraikan dia sekarang juga!" titah Reva, kembali kesal dengan ekspresi kesedihan Sera yang membuatnya mual.

"Ma, Renal sayang Sera,” sahut Renal. “Mama tidak bisa menyuruh Renal menceraikan hanya karena masalah anak." 

"Kau berani membantah Mama?” ucap Reva tidak percaya. Meskipun ekspresinya masih tampak keras. “Mama sudah membesarkan kamu, Renal! Kamu berprestasi, sukses, hingga bisa hidup seperti ini … semuanya karena Mama! Bukan perempuan ini!”

Wanita itu mengungkit pengorbanannya untuk Renal.

“Sudah, Ma,” ucap Sera dengan suaranya yang lirih. Air mata sudah mengalir di pipinya sejak si ibu mertua meminta Renal menceraikan dirinya. “Aku akan pergi.”

“Sera!” Renal menggenggam tangan sang istri.

"Ceraikan aku, Mas. Ini yang terbaik untuk kita berdua," tutur Sera, kembali melepaskan tangan suaminya.

Mungkin memang ini saat yang tepat. Atau hal yang baik juga.

Selama ini, Sera juga tidak diam. Dia berjuang untuk memiliki anak. Memeriksakan dirinya dan bersedia mencoba segala jenis program kehamilan.

Namun, memang Tuhan masih belum memberikan dirinya dan Renal titipan anak.

Akan tetapi, toh semuanya sudah berakhir. Sera sudah harus selesai sampai di sini. Dengan berat hati, dia pun menyetujui apa yang mertuanya pinta.

"Sera, apa-apaan kamu bicara seperti itu?!" Bola mata Renal membesar. "Tega sekali kamu! Apakah memang kamu sengaja ingin pisah dariku?”

Sera menggeleng. “Mas harus ceraikan aku pokoknya,” ulang Sera.

"Dengar kata wanita itu, Renal! Kau harus menceraikannya sekarang atau Mama tidak akan menganggap kamu sebagai anak kandung Mama lagi!" ancam Reva dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

Mata wanita tua itu menatap sinis ke arah Sera, senyum penuh kemenangan. "Kamu hanya akan jadi pembawa sial saja untuk hidup Renal. Renal akan malu jika terus berdampingan dengan kamu," ucapnya. “Pahami itu!”

Hening.

“Apa yang kamu lakukan?” Si ibu mertua kembali membentak, kali ini pada putranya. “Kenapa diam saja? Kamu mau durhaka? Mau Mama pecat kamu dari posisi CEO karena wanita mandul ini!? Ceraikan dia, Renal!”

Mata si ibu mertua itu mendelik sempurna. Sementara Renal terdiam, tidak mengatakan apa pun.

Sera menatap ke arah suaminya yang selalu saja tidak berkutik di bawah ancaman sang ibu, apalagi ketika Reva membawa-bawa jabatan, harta, dan kata “durhaka” di hadapan putranya.

Ia tidak bisa bersama dengan seorang pria dengan ibu yang tidak menyukai Sera. Dengan ibu yang memiliki kontrol terhadap hidup berkeluarga mereka.

“Sudah, Mas. Kita memang harus berhenti sampai di sini.” Kali ini nada suara Sera terdengar tegas. “Kamu berhak bahagia dengan wanita lain."

Kalimat itu membuat Renal marah.

“Sera, kamu mau mundur dari pernikahan ini? Aku tidak mau!” ucap Renal. Lalu ia menatap sang ibu. “Ma, kalau Ibu mau cucu, aku akan usahakan dengan cara lain, tidak perlu mengusir Sera.”

Pria itu memohon. “Aku ingin Sera tetap di sini. Mungkin nanti aku bisa mencari wanita lain untuk memberi Mama cucu .…”

Permohonan tersebut membuat sepasang mata Sera terbelalak. Ia tidak menyangka kalau suaminya akan mengusulkan hal tersebut.

Meskipun kata cinta selalu terucap dan suaminya itu tidak mau melepaskannya, tapi Sera tidak ingin ada sosok lain dalam pernikahan mereka. Mereka sudah punya Reva yang mencampuri setiap aspek rumah tangga mereka. Sera tidak butuh sosok lain untuk membuatnya makin tidak berguna sebagai istri.

Itu akan menambah sakit hatinya.

“Mas, aku tidak mau–”

“Sebentar, Sera,” potong Renal. Pria itu melirik pada sang istri. "Aku sudah bertahan empat tahun demi wanita mandul seperti kamu. Dan kamu malah seperti ini?"

Sera terkesiap. Bagaimana bisa suaminya itu turut mengatainya begitu?

Inikah wajah asli suaminya?

"Benar, Mas, aku hanya wanita mandul, kan?" gumam wanita itu. Ia menghentikan tangisnya, berusaha tegar. “Tapi aku tidak mau dimadu. Jadi, lebih baik kita benar-benar bercerai sekarang.”

Si ibu mertua mendengus. “Tuh, kan, Renal. Dia sendiri mau pergi lantas apa lagi yang kamu tunggu?” katanya. “Sudah, kamu talak saja sekarang!”

Sera menatap ibu dan anak itu bergantian. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin tampak gentar. Mungkin benar, tempatnya bukan di sini.

"Baiklah, kamu yang meminta! Jangan menyesali apa pun yang terjadi nantinya!” Akhirnya Renal berucap. Matanya memandang Sera dengan tatapan marah dan tidak terima. “Cinta? Cih, kamu sendiri yang memilih mundur dari pernikahan kita, Sera. Dasar wanita mandul, sialan!"

Lelaki itu pergi begitu saja. Saat sebelum keluar kamar, dia menendang pintu begitu keras.

Melihatnya, si ibu mertua tampak puas.

"Saya kasih waktu sampai besok pagi. Habis itu, kamu harus pergi meninggalkan putra kesayangan saya! Dasar wanita mandul!"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status