"Mana Sera!? Mana istri mandul itu!?"
Sera terkejut, tersentak kaget saat suara lantang nan keras sang ibu mertua di depan pintu kamarnya. Tidurnya terusik. Dia pun segera membuka mata dengan paksa dan terburu-buru memakai hijab.
Sekarang sudah pukul 10 malam. Sudah waktunya bagi orang-orang untuk tidur, begitupun Sera.
Namun, ibu mertuanya pasti tidak peduli. Sudah teramat sering Sera mendapatkan amukan dari mertua Sera yang dikenal pemarah itu.
Gegas, Sera mengambil langkah dengan cepat untuk membuka pintu kamar.
Di hadapannya, sudah berdiri Reva, sang ibu mertua, dengan berkacak pinggang. Di sebelahnya, Renal, suami Sera tengah menenangkan ibu kandungnya tersebut.
"Mama, jangan bicara seperti itu, itu istri Renal," ujar Renal membela sang istri.
"Alah! Lebay! Mama muak dengarnya!” bentak sang ibu mertua. Lalu, wanita tua itu menunjuk Sera lurus-lurus. “Kamu!”
Sera terkesiap. Ia tidak mengatakan apa pun, menciut ketakutan.
"Kemasi barang-barang kamu sekarang!" perintah Reva membuat mata Sera membulat sempurna. "Cepat! Tunggu apa lagi, hah!?”
Pandangan wanita tua itu menajam.
"Mama!" sergah Renal. "Jangan usir Sera!”
Pria itu segera menghampiri Sera. Menggenggam tangan Sera erat.
"Ma, kenapa? A-ada apa?" tanya Sera gugup.
"Ada apa? Kamu masih bicara ada apa?!” Reva tersenyum sinis. “Percuma anak saya nikah dengan kamu, Sera! Kamu itu mandul! Kamu hanya bikin malu keluarga saya!”
Sera menggigit bibir, tidak berdaya di hadapan amukan sang ibu mertua.
“Muka saya mau ditaruh di mana, hah? Coba kamu pikir!” lanjut si ibu mertua lagi. “Saya malu punya menantu, tapi sampai sekarang tidak bisa memberi cucu!"
"Kamu juga, Renal! Berhenti membela istri kamu. Sudah empat tahun sejak kalian menikah, mana janji kalian untuk memberi cucu? Hah?! Mama malu dihina teman-teman Mama, Renal!" Dengan nadanya yang masih meninggi Reva berkata.
Si ibu mertua hendak menarik tangan Sera, tetapi Renal lebih dahulu mencegahnya.
"Minggir, Renal!" bentak Reva lagi, tidak terima putranya membela perempuan mandul tersebut.
Ia tidak tahan terus diolok-olok teman-temannya saat berkumpul arisan. Rasa irinya terus meninggi, juga amarahnya menumpuk karena ucapan-ucapan yang menampar baginya. Dan Sera adalah penyebab utamanya.
Dari semua anggota arisannya, hanya dirinya yang belum memiliki cucu. Semua teman-temannya berbangga diri memamerkan cucu kesayangan mereka masing-masing. Sementara dirinya tak bisa melakukan apa-apa.
Itu sebabnya, Reva muak dan memutuskan untuk mengusir Sera dari rumahnya. Dan mendesak Renal segera menceraikan wanita pembawa sial itu. Reva juga memutuskan untuk mencarikan Renal wanita yang lebih baik.
“Perempuan tidak berguna!”
“Mama!” Renal membelalak menatap sang ibu.
"Mas Renal, tidak apa-apa," ucap Sera. Ia menggelengkan kepalanya dan melepaskan genggaman Renal. “Mama kamu benar. Aku tidak bisa memberikan anak sekaligus cucu.”
Wajah Sera berubah sendu. Dia menunduk dengan matanya yang merah menahan tangisan.
"Ceraikan dia sekarang juga!" titah Reva, kembali kesal dengan ekspresi kesedihan Sera yang membuatnya mual.
"Ma, Renal sayang Sera,” sahut Renal. “Mama tidak bisa menyuruh Renal menceraikan hanya karena masalah anak."
"Kau berani membantah Mama?” ucap Reva tidak percaya. Meskipun ekspresinya masih tampak keras. “Mama sudah membesarkan kamu, Renal! Kamu berprestasi, sukses, hingga bisa hidup seperti ini … semuanya karena Mama! Bukan perempuan ini!”
Wanita itu mengungkit pengorbanannya untuk Renal.
“Sudah, Ma,” ucap Sera dengan suaranya yang lirih. Air mata sudah mengalir di pipinya sejak si ibu mertua meminta Renal menceraikan dirinya. “Aku akan pergi.”
“Sera!” Renal menggenggam tangan sang istri.
"Ceraikan aku, Mas. Ini yang terbaik untuk kita berdua," tutur Sera, kembali melepaskan tangan suaminya.
Mungkin memang ini saat yang tepat. Atau hal yang baik juga.
Selama ini, Sera juga tidak diam. Dia berjuang untuk memiliki anak. Memeriksakan dirinya dan bersedia mencoba segala jenis program kehamilan.
Namun, memang Tuhan masih belum memberikan dirinya dan Renal titipan anak.
Akan tetapi, toh semuanya sudah berakhir. Sera sudah harus selesai sampai di sini. Dengan berat hati, dia pun menyetujui apa yang mertuanya pinta.
"Sera, apa-apaan kamu bicara seperti itu?!" Bola mata Renal membesar. "Tega sekali kamu! Apakah memang kamu sengaja ingin pisah dariku?”
Sera menggeleng. “Mas harus ceraikan aku pokoknya,” ulang Sera.
"Dengar kata wanita itu, Renal! Kau harus menceraikannya sekarang atau Mama tidak akan menganggap kamu sebagai anak kandung Mama lagi!" ancam Reva dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
Mata wanita tua itu menatap sinis ke arah Sera, senyum penuh kemenangan. "Kamu hanya akan jadi pembawa sial saja untuk hidup Renal. Renal akan malu jika terus berdampingan dengan kamu," ucapnya. “Pahami itu!”
Hening.
“Apa yang kamu lakukan?” Si ibu mertua kembali membentak, kali ini pada putranya. “Kenapa diam saja? Kamu mau durhaka? Mau Mama pecat kamu dari posisi CEO karena wanita mandul ini!? Ceraikan dia, Renal!”
Mata si ibu mertua itu mendelik sempurna. Sementara Renal terdiam, tidak mengatakan apa pun.
Sera menatap ke arah suaminya yang selalu saja tidak berkutik di bawah ancaman sang ibu, apalagi ketika Reva membawa-bawa jabatan, harta, dan kata “durhaka” di hadapan putranya.
Ia tidak bisa bersama dengan seorang pria dengan ibu yang tidak menyukai Sera. Dengan ibu yang memiliki kontrol terhadap hidup berkeluarga mereka.
“Sudah, Mas. Kita memang harus berhenti sampai di sini.” Kali ini nada suara Sera terdengar tegas. “Kamu berhak bahagia dengan wanita lain."
Kalimat itu membuat Renal marah.
“Sera, kamu mau mundur dari pernikahan ini? Aku tidak mau!” ucap Renal. Lalu ia menatap sang ibu. “Ma, kalau Ibu mau cucu, aku akan usahakan dengan cara lain, tidak perlu mengusir Sera.”
Pria itu memohon. “Aku ingin Sera tetap di sini. Mungkin nanti aku bisa mencari wanita lain untuk memberi Mama cucu .…”
Permohonan tersebut membuat sepasang mata Sera terbelalak. Ia tidak menyangka kalau suaminya akan mengusulkan hal tersebut.
Meskipun kata cinta selalu terucap dan suaminya itu tidak mau melepaskannya, tapi Sera tidak ingin ada sosok lain dalam pernikahan mereka. Mereka sudah punya Reva yang mencampuri setiap aspek rumah tangga mereka. Sera tidak butuh sosok lain untuk membuatnya makin tidak berguna sebagai istri.
Itu akan menambah sakit hatinya.
“Mas, aku tidak mau–”
“Sebentar, Sera,” potong Renal. Pria itu melirik pada sang istri. "Aku sudah bertahan empat tahun demi wanita mandul seperti kamu. Dan kamu malah seperti ini?"
Sera terkesiap. Bagaimana bisa suaminya itu turut mengatainya begitu?
Inikah wajah asli suaminya?
"Benar, Mas, aku hanya wanita mandul, kan?" gumam wanita itu. Ia menghentikan tangisnya, berusaha tegar. “Tapi aku tidak mau dimadu. Jadi, lebih baik kita benar-benar bercerai sekarang.”
Si ibu mertua mendengus. “Tuh, kan, Renal. Dia sendiri mau pergi lantas apa lagi yang kamu tunggu?” katanya. “Sudah, kamu talak saja sekarang!”
Sera menatap ibu dan anak itu bergantian. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin tampak gentar. Mungkin benar, tempatnya bukan di sini.
"Baiklah, kamu yang meminta! Jangan menyesali apa pun yang terjadi nantinya!” Akhirnya Renal berucap. Matanya memandang Sera dengan tatapan marah dan tidak terima. “Cinta? Cih, kamu sendiri yang memilih mundur dari pernikahan kita, Sera. Dasar wanita mandul, sialan!"
Lelaki itu pergi begitu saja. Saat sebelum keluar kamar, dia menendang pintu begitu keras.
Melihatnya, si ibu mertua tampak puas.
"Saya kasih waktu sampai besok pagi. Habis itu, kamu harus pergi meninggalkan putra kesayangan saya! Dasar wanita mandul!"
“Dasar wanita mandul!”Ucapan Renal dan ibunya masih saja terngiang di kepala Sera, meski beberapa hari sudah berlalu. Kata-kata itu menancap di hatinya dalam-dalam, entah kapan bisa dipulihkan.“Aku wanita tegar, aku kuat,” ucap Sera menyemangati dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam.Tapi, ya Allah, wanita itu kemudian membatin. Kenapa dia mandul? Apa yang telah Sera lakukan hingga diberi cobaan seperti ini?Rasanya sesak. Sera berusaha menyeka air matanya. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Tidak, dia tidak boleh cengeng. Ini semua sudah kehendak Tuhan.Sera pergi ke kamar mandi, membasuh wajah agar terlihat lebih baik. Setelah itu, dia pergi keluar kamar dan menemui Rani.“Sera, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rani. Dia adalah ibu kandung Sera. Sera mengangguk, dia telah pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari yang lalu setelah perceraian terjadi.Ada banyak yang masih bisa Sera lakukan dalam hidup meski kini telah menjadi seorang janda. Dia tetap menj
"Ya Allah, aku akan dijodohkan oleh kedua orang tuaku? Bagaimana perihal kemandulanku?"Baru saja Sera mengatakan hal itu, ketukan pintu kamar terdengar. Sera yang tengah duduk di tepian ranjang lantas bangkit seraya membuka pintu tersebut."Sera kamu sungguh mau menerima perjodohan ini? Ini demi kebaikan kamu, pikirkan baik-baik," kata Sidik. Sera mengangguk. Dia sudah pikirkan matang-matang. Perihal kemandulannya, Sera pasrah dengan kehendak-Nya.Menerima perjodohan dan memulai pernikahan kedua adalah keputusannya. Sera harus bisa memilih jalan mana yang terbaik."Mas, kita tidak perlu memaksakan keinginan Sera," ujar Rani. "Mas tidak memaksakan. Mas hanya bertanya.""Sayang, apa kamu benar-benar menerima perjodohan ini? Mama ingin Sera menerima perjodohan ini dengan keinginan Sera sendiri. Bukan karena keinginan kami," ujar Rani."Sera siap, Ma. Sera mau," tegas Sera.Sedikit trauma dengan pernikahan, tapi Sera juga harus memikirkan kehidupan ke depannya. Bahwa pernikahan juga adal
4 bulan berlalu. "Hari ini pernikahan kamu dan Dika. Kamu harus bahagia setelah ini, Sera. Mama akan selalu dukung apapun yang menjadi pilihan Sera selagi itu membuat Sera bahagia," tulus Rani. “Semua baik-baik saja, Nak, kamu harus tenang,” ucap Rani memberikan kata-kata yang membuat hati Sera menjadi terisi. Sera membalas perkataan Rani dengan senyum lembut. Perempuan itu cantik sekali mengenakan gaun pernikahan dibalut hijab auranya semakin memesona. Pipi Sera bersemu merah. Dia malu di depan ibu kandungnya sendiri. "Kamu cantik dengan gaun ini, semoga pernikahanmu diberkahi Allah," doa Rani. "Amiin," sahut Sera. "Sera minta doa Mama," ucap Sera mencium punggung tangan Rani."Sejujurnya Sera sedikit takut, Ma," jujur Sera, karena perasaan trauma itu masih ada. "Kenapa? Dika anak yang baik, Nak," tutur Rani. "Itu hanya perasaan kamu saja." Sambung Rani. "Jangan berpikir aneh-aneh," kata Rani."Iya, Ma," ujar Sera. Mungkin yang dikatakan Mamanya ada benarnya kalau itu hanya pera
Sera terbangun seorang diri. Tidak ada sang suami di sampingnya. Atau bahkan sedari semalam Dika memang tak tidur satu ranjang dengannya. Sekarang sudah subuh, Sera bangkit dari kasur seraya menyibak dan merapikan selimut tebal itu. Sebelum mengambil wudhu, Sera mencari keberadaan Dika terlebih dahulu. Sera bermaksud meminta Dika juga untuk ikut sholat. Usai selesai merapikan selimut dan kasurnya itu, Sera segera bergegas meninggalkan kamar. Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dika di apartemen. Dika juga tidak meninggalkan surat atau pesan padanya. Dia sungguh tidak tahu ke mana Dika pergi. Kenapa Sera sama sekali tidak berguna sebagai istri? Untuk mengetahui keberadaan suaminya saja rasanya sulit. "Mas Dika pergi lagi tanpa sepengetahuanku...," ucap Sera. "Dia tega sekali bersikap kepadaku seperti ini," lirih Sera. "Di mana Mas Dika?" ucap Sera bingung. Menghela napas, Sera akan urus nanti setelah ia selesai sholat subuh. *** "Sayang, aku harus pulang, kita ketemu na
Seorang wanita membuka matanya perlahan-lahan lantaran mendengar bunyi alarm. Sudah pukul 6 pagi. Dia tidak menjalankan ibadah subuh karena tengah datang bulan, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sera meraih hijab yang tidak jauh dari posisinya. Ia segera memakai hijab tersebut. Sejak memutuskan menikah lagi dan di hari di mana ijab kabul itu berlangsung, Sera begitu menghargai pernikahannya, tidak menjadikan pernikahannya hanya sekedar pelampiasan karena kesepian atas gagalnya pernikahan yang dahulu. Keluarga Dika, khusus orang tuanya sudah sangat baik terhadapnya. Begitu mencintai kehadirannya. Lantas, Sera tetap harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, mengabaikan sikap kasar Dika yang setiap hari ia dapatkan. Berjalan keluar dari kamar, Sera sudah tak heran saat menemukan Dika tertidur di sofa tanpa selimut. Hanya dengan pakaian tidur, tangannya dalam keadaan posisi menyilang di atas dada. Langkah kaki Sera mendekat kepada pria itu. “Mas…” panggil Sera lembut.
Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar, perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk. Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar. Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan. “Uhuk! Uhuk!” “Sial, makanan apa ini?!” “MAS!” teriak Sera. “Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu. “Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebu
“Siapa itu?” gumam Dika. Dika mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Otot lehernya kentara menonjol. Pertanda dia benar-benar menahan amarah. “Urusan kita belum selesai!” ancam Dika sembari menunjuk wajah Sera. Sera segera menuju pintu. Sebelum itu dia melihat terlebih dahulu dari kamera pengawas siapa yang tamu yang datang. Hingga kemudian, bukan hanya Sera yang terkejut melainkan Dika juga sama terkejutnya. “Minggir,” suruh Dika. “Apa?” ucap Dika, dia lantas menutup mulutnya dengan satu tangan. “Cepat rapikan kamar!” instruksi Dika. “Tapi-“ kata Sera terpotong. “Kubilang cepat!” perintah Dika. Sera mengangguk-anggukan kepala. Inilah risiko yang mesti keduanya terima. Sungguh, jantung Dika berdebar tidak karuan. Dia merapikan pakaian dan mencoba mengatur emosi juga wajahnya. Tak lama dia membuka pintu tersebut agar kedua orang tuanya tidak curiga karena terlalu lama pintu tidak dibuka. “Assalamualaikum, Ma, Pa,” salam Dika. Rupanya dia tidak lupa mengucapkan salam. Dan berl
‘Aku sadar kenapa Mas Dika begitu syok, dia pasti malu jika membawaku ke hotel,’ Sera menunduk. Rasa sedih itu mencoba hinggap. “Kau tidak mungkin malu kan membawa Sera?” tebak Karina. “Dika?” tegur Deri. “Bukan begitu. Di sana banyak pegawai laki-laki. Dika malas jika mereka akan melihat Sera nantinya,” bohong Dika. Itu hanya alasannya saja. Untung saja dia cepat berpikir dan merespons agar kedua orang tuanya tidak curiga terhadap perkataannya yang hampir menjerumuskannya dalam kesalahan besar. Mendengar perkataan Dika barusan, Sera tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak senang tidak juga sedih. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangganya tidak benar-benar baik. Dan Dika hanya tengah berakting. Memang apa masalahnya jika ada para pegawai pria? “Hahaha, jadi kau cemburu, ya? Ya ampun, anak Mama…,” Karina tertawa, “Dika, Sera itu hanya sayang dengan kamu. Masa kamu tidak merasakan hal itu, iya kan Sera?” “Oh, i-iya,” jawab Sera sedikit gugup. ‘Ya Allah, mana m