"Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar
Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,
Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?
"Pelakor!" Air bening meluncur lancar dari mulut botol, mendarat tepat di atas kepala Nisa. Sementara perempuan itu hanya mampu memejamkan mata erat-erat, menahan air agar tak masuk matanya sekaligus rasa malu. Semua manusia yang ada di ruang itu tampak membisu, mereka adalah penonton setia drama yang sudah berlangsung selama 30 menit itu. Tak ada yang membela Nisa termasuk Ardan, lelaki yang membuatnya dibenci banyak orang di kantor. Nisa merutuk dalam hati, ia menyesal menceritakan kekagumannya terhadap Ardan kepada Naysila. "Saya nggak pernah merebut apapun dari siapapun!" Nisa membuka matanya lebar-lebar. Ia merasa penindasan ini harus dilawan. Ia harus bertahan di tempat itu jika ingin membantu orangtuanya menyelesaikan hutang piutang. Ridha berkacak pinggang. Ia adalah penyiram air mineral di atas kepala Nisa. Nisa tahu sejak awal Ridha kurang menyukainya, sebab Nisa mendapat murid les lebih banyak sedari pertama masuk kerja di Lembaga Bimbingan Belajar itu. Ridha dengan gala
Ardan menunduk dalam, begitu pula dengan Nisa yang duduk tepat di sampingnya. Ini tak adil! Batin Nisa. Mengapa hanya Ardan dan dirinya yang "disidang" oleh Bu Atnaya, pemilik LBB? Memangnya mereka sudah melakukan apa sampai diperlakukan begini?"Saya sudah dengar kronologi ceritanya dari anak-anak." Atnaya memulai obrolan. Nisa sudah menduga bahwa pada akhirnya cerita soal dirinya dan masalah kemarin sampai di telinga Atnaya. Perempuan setengah baya itu sangat kapitalis, tapi baik hati. Nisa berharap hatinya yang baik masih bersedia mengendalikan otaknya, agar Nisa tak sampai dipecat! Atnaya berdehem. Ia paham bahwa kedua pegawainya itu tak akan berani membenarkan pernyataannya barusan. Bu Atnaya kembali membuka mulutnya, "Pak Ardan, mengapa kemarin anda hanya diam saja melihat pembullyan terjadi di tempat pendidikan seperti ini?" Ardan hanya membisu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya dipenuhi kebimbangan, apabila dia membela Nisa mungkin kejadiaannya tak akan separah kemarin
Nisa berjalan di pekarangan luas. Lalu lalang anak-anak usia remaja tak membuat dirinya terdistraksi, tujuannya hanya satu: sebuah ruangan di belakang masjid. Nisa merapikan kerudungnya sebelum memasuki ruangan itu. Ia melangkah pelan sambil mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang lelaki bertubuh gempal keluar dari ruangan kecil di dalam ruang itu dengan senyum mengembang di bibirnya, membuat pipinya juga semakin membesar. "Waalaikumsalam. Monggo monggo." Ucap lelaki itu dengan ramah, mempersilahkan Nisa masuk ke ruangan yang memiliki banyak sekali kursi dan bangku, dengan buku dan catatan yang bertumpuk-tumpuk di meja. Nisa berjalan sembari sedikit membungkukkan badan sebagai sikap hormat. Si Lelaki mengawasi seluruh ruang, mencari tempat duduk yang paling nyaman. Ia sendiri kebingungan, akhirnya menawarkan kepada Nisa untuk duduk di ruang sebelah. Nisa mengiyakan saja penawaran si Lelaki. Nisa duduk di kursi kayu yang ditata membentuk huruf L, terlihat tua namun sepertinya te
Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada
"Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa