Share

Cuci Mata

Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi W******p, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa.

Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun g****e Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori G****e Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaannya. Nisa ingin segera menghambur ke arah Ardan, apalagi sudah lewat tujuh hari mereka tak bertemu.

Namun perkiraan Nisa meleset, saat langkah Ardan makin mendekat. Beberapa orang yang menyingkir, menyingkap keberadaan seorang perempuan yang berjalan di samping Ardan. Perempuan itu sangat cantik, Nisa ingat wajahnya sangat mirip dengan foto perempuan yang dijadikan wallpaper di gawai Ardan. Nisa menelan ludah, rasanya pahit, matanya sangat panas. Perempuan itu terlihat mendorong kereta bayi dengan tangan Ardan berada di genggamannya, mereka terlihat bahagia. Nisa terpaku sejenak sebelum ia mendengar namanya dipanggil berulangkali oleh Santi.

"Woi! Jangan ngelamun aja!" Santi mengagetkan Nisa. Nisa berusaha mengalihkan pandangannya, kemudian tersenyum tipis.

"Lihat apa sih kamu?" Pandangan Santi menyapu ke arah tatapan Nisa sebelumnya, ia merasa tak ada satupun hal yang menarik di depan sana. Santi akan mengalihkan kembali pandangannya ke arah Nisa, sebelum ia menyadari ada seseorang yang sangat ia kenal melangkah mendekat ke arahnya. Santi menyipitkan mata, berusaha memastikan kebenaran indra penglihatannya. Perempuan cantik itu semakin mendekat ke arah Santi dengan langkah terburu.

"Aaaa Santiii!" Perempuan itu memekik dengan riang, ia berlari kecil ke arah Santi bahkan sampai kereta bayinya diserahkan kepada sang Suami. Santi menyambut pelukan perempuan itu. Nisa kaku di tempatnya berdiri.

"Reta! Ya ampun makin cantik saja!" Mata Santi terlihat berbinar. Tatapan Nisa terpaku pada lelaki yang sedang mendorong kereta bayi, pelan namun pasti langkahnya mendekat ke arah mereka. Sinta dan perempuan yang dipanggil Reta itu terlihat asyik bernostalgia, sementara Nisa sibuk menahan rasa sakit hatinya, dan Ardan? Ia terlihat baik-baik saja, mengamati istrinya yang sedang berceloteh riang, sesekali menampakkan senyum lembut.

"Lagi ngapain kamu?" Tanya Santi sambil tertawa kecil menatap Reta dan Ardan bergantian.

"Ya lagi jalan-jalan lah! Masih tanya lagi!" Reta manyun menjawab pertanyaan Santi yang tidak berbobot.

"Kirain lagi honeymoon." Goda Santi.

"Honeymoon honeymoon mbahmu! Ini nggak lihat anakku masih bayi." Reta menanggapi candaan Santi dengan jawaban lucu. Ardan tersenyum melihat tingkah istrinya. Reta balik bertanya, "Kamu ke sini sama siapa suamimu?" Reta bukannya tak menyadari keberadaan Nisa yang sedang berdiri di samping Santi, ia hanya ingin menggoda Santi saja.

"Suamiku matamu! Nih aku bareng temenku." Santi mengalihkan pandangan ke arah Nisa yang ada di sampingnya, pun Reta dan Ardan.

"Aduh Mbak, jangan mau deh ditempeli manusia satu ini!" Reta melemparkan candaan kepada Nisa. Nisa hanya mampu tersenyum canggung. Ia baru tahu ternyata istri Ardan adalah perempuan yang sangat riang dan ramah, parahnya lagi ia adalah sahabat Santi. Jadi selama ini nama Reta yang sering disebut Santi dalam tiap ceritanya adalah istri Ardan? Mengapa rasanya dunia begitu sempit ya? Dari sekian banyak teman Santi, mengapa mereka harus bersua dengan istri Ardan?

Santi tidak merasa heran ketika Nisa tak menanggapi guyonan Reta, sebab Santi sangat tahu bahwa Nisa memang tipikal manusia pendiam yang tak mudah akrab dengan orang baru.

"Dia mah nggak kayak kamu yang ninggalin aku nikah duluan ya!" Tawa Santi meledak. Reta pura-pura cemberut kemudian memukul lengan Santi pelan.

"Namanya siapa Mbak?" Reta beralih pada Nisa. Hati Nisa mencolos.

"Namanya Faranisa." Sahut Santi dengan cepat sebab Nisa terdiam agak lama.

"Oh. Aku Reta, salam kenal ya Mbak Nisa. Tolong jagain bestie aku yang bawel ini ya!" Reta terkekeh sembari memeluk lengan Santi.

*

Nisa ingin sekali mengumpat! Ia mengira penderitaannya akan berakhir ketika Santi dan Reta menyudahi obrolan di toko baju tadi. Sayangnya, perkiraan Nisa meleset. Mereka berempat sedang duduk di salah satu restoran makanan Korea di pusat perbelanjaan itu. Berbagai macam makanan yang terlihat menggoda dengan warna merah menyala sudah tersaji di hadapan Nisa.

Ia hanya membisu mendengar percakapan Reta dan Santi yang sesekali melibatkan Ardan. Nisa memutuskan mencicipi Jajangmyeon yang tersaji di hadapannya, ia ingin cepat menghabiskan semua makanan ini agar bisa cepat pulang!

"Kamu sekarang kerja di mana San?" Reta menatap Santi penasaran.

"Sibuk ngurusin kedai." Santi menjawab dengan cepat, kemudian melanjutkan, "Sekali-kali mampir lah bareng suamimu, mas siapa namanya? Aduh lupa!"

"Keterlaluan ya masa bisa lupa nama suamiku sih!" Reta mencubit lengan Santi yang bebas tak memegang sendok.

"Heh! Kan suamimu bukan suamiku jadi wajar dong aku lupa namanya." Santi berkelakar. Tuturan Santi seolah seperti tamparan untuk Nisa. Ia berhenti makan sebentar kemudian menyeruput minuman di hadapannya.

"Iya iya San. Mas Ardana, panggil aja Mas Dana nggak apa-apa." Reta tersenyum tulus sembari melirik Ardan.

"Okay jadi Mas Dana ini sebenarnya memang panggilan aslinya atau panggilan sayang nih?" Santi menggoda Reta lagi.

"Ya panggilan sehari-hari lah! Ngapain juga aku berbagi panggilan sayang ke kamu." Reta tertawa kecil.

"Oh iya iya. Mas Dana sekarang kerja di mana? Masih jadi kepala sekolah?" Santi berusaha melibatkan Ardan dalam obrolan mereka karena semenjak tadi ia hanya diam seperti arca.

"Lah! Nama lupa, kerjaan inget." Reta tertawa lepas mendengar pertanyaan Santi.

"Sudah nggak Mbak. Saya sekarang ngajar di LBB sambil ngurusin usaha kecil-kecilan." Suara berat Ardan terdengar. Nisa terharu, berapa ia merindukan suara itu selama ini.

"Merendah untuk meroket nih Mas Dana ya. Padahal usahanya sudah berkembang pesat. Saya lihat di story Reta, sudah makin banyak cabang ya sekarang?" Santi bertanya serius, ia juga ingin mengembangkan kedainya jadi sebisa mungkin bertanya kiat-kiat sukses usaha perkulineran.

"Cabang apa nih? Cabang hati atau restoran?" Reta masuk dalam obrolan mereka.

"Gila! Ya cabang resto lah!" Santi berseru kesal.

"Ya Alhamdulillah sih sejak Yudha lahir, bisa buka beberapa cabang baru." Reta akhirnya menjawab dengan sungguh-sungguh, tanpa candaan lagi.

Sedangkan Nisa? Nisa merasa sangat tersisihkan, ia seperti manusia transparan, tak dianggap dan seperti tak ada. Ia merasa lebih terluka saat menyadari bahwa tiada yang diketahuinya mengenai Ardan. Nisa bahkan tak tahu Ardan pernah menjadi kepala sekolah dan ia juga tak tahu bahwa Ardan sedang menjalankan wirausaha di bidang kuliner.

"Oh ya omong-omong Mas Dana ngajar di LBB mana? Ini Nisa juga jadi tentor di LBB." Santi berusaha melibatkan Nisa dalam obrolan mereka.

"Di LBB Mentari," Reta menjawab lebih dulu sambil mengunyah makanannya. Santi terdiam sebentar, seharusnya Dana dan Nisa saling kenal kan? Mereka satu tempat kerja, lantas mengapa semenjak tadi berpura-pura menjadi orang asing. Tunggu sebentar! Ardana? Dana? Ardan? Lelaki yang disukai Nisa di tempat kerjanya, kalau tidak keliru bernama Ardan. Ia sudah menikah dan pernah mengajar di SD 1. Dana juga menjadi kepala sekolah di SD 1 kan dulu? Mengapa semua terasa masuk akal jika Dana dan Ardan adalah orang yang sama?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status