Home / Romansa / Bisu Karena Cinta / Bab 2: Belajar Menjadi Manusia

Share

Bab 2: Belajar Menjadi Manusia

Author: Aluna Seren
last update Last Updated: 2024-11-21 16:59:12

Selene dibawa oleh Elliot ke sebuah rumah di desa terdekat dari pantai, di dalam rumah tersebut muncul seorang wanita paruh baya yang mungkin dia lah yang disebut "bibi" oleh Elliot itu.

"Bi, aku menemukan seorang gadis di pantai, sepertinya dia bisu dan sedikit kebingungan", ucap Elliot.

Bibi menatap Selene dari ujung kaki hingga ujung rambut, "Apakah kamu yakin dia bisu? Gadis secantik ini?"

Selene hanya bisa terdiam dan menunjukkan senyuman kecil. Ia juga bingung bagaimana menjelaskannya. Selene baru saja tiba di daratan, bingung dan terkejut dengan kehidupan yang sangat berbeda dari dunia laut yang dia kenal. Ia memiliki penampilan manusia yang sempurna, tetapi tanpa suara dan pengetahuan tentang dunia manusia.

Bibi yang baik itu pun membawa Selene ke rumahnya, ia memperkenalkan dirinya, Elina, itulah namanya. Bibi Elina adalah orang yang merawat Elliot sedari kecil setelah Elliot kehilangan kedua orang tuanya ketika melaut. Tentu dari luar saja Selene langsung bisa menilai bahwa Bibi Elina adalah orang yang sangat baik.

Beberapa hari kemudian, Selene tinggal bersama Bibi Elina, yang memberinya tempat tinggal sederhana di rumahnya. Bibi itu mengajarkan Selene tentang dunia manusia, termasuk cara berkomunikasi dengan bahasa mereka.

Bibi mengambil selembar kertas dan menggambar sesuatu di permukaannya menggunakan pena dan menunjukkannya kepada Selene, "Apakah kau bisa membacanya?"

Selene menggelengkan kepalanya, tentu ia tidak bisa membaca dan menulis.

Selama beberapa hari, Bibi Elina pun mengajarkan membaca, menulis, dan mengajarkan tentang jual beli kepada Selene. Terkadang Selene merasa lelah, namun lelahnya berubah menjadi semangat ketika Elliot sesekali berkunjung ke rumah Bibi. Elliot menjadi salah satu motivasi kuat bagi Selene agar bisa menjadi manusia.

Seminggu telah berlalu, Selene duduk di meja kayu kecil di dapur Bibi Elina. Di hadapannya, selembar kertas berisi daftar belanjaan yang ditulis dengan huruf-huruf rapi. Ia mengernyitkan dahi, mencoba memahami setiap kata yang tertulis. Membaca adalah tantangan besar baginya, tetapi lebih sulit lagi ketika ia tak dapat bertanya dengan suara.

Bibi Elina tersenyum lembut di sudut ruangan, mengaduk panci sup. "Selene, membaca adalah kunci untuk memahami dunia manusia. Kalau kau ingin jadi bagian dari mereka, kau harus belajar ini."

Selene mengangguk. Ia menunjuk kata pertama, "tepung", sambil melafalkannya dalam hati. Lalu, ia menelusuri tulisan lainnya: "gula", "telur", "garam". Setiap kata terasa seperti teka-teki, tetapi ia tekun memecahkannya.

"Baiklah," kata Bibi Elina, mendekati Selene. "Hari ini kau akan pergi ke pasar sendiri. Kau harus membeli semua barang di daftar ini. Gunakan tulisan ini sebagai panduanmu."

Mata Selene membelalak. Ia menunjuk dirinya sendiri, seolah bertanya, Aku? Sendiri?

Bibi Elina mengangguk dengan tegas. "Ya, kau. Dunia ini tidak selalu mudah, tapi aku percaya kau bisa. Jangan lupa, di pasar, orang-orang tidak hanya menjual barang; mereka juga menjual kata-kata. Dengarkan baik-baik dan gunakan gerak tubuhmu untuk berkomunikasi."

Selene mengambil daftar belanjaan dan beberapa koin dari Bibi Elina. Dengan langkah ragu, ia menuju pasar.

Di pasar, suasana hiruk-pikuk langsung menyambutnya. Suara tawar-menawar memenuhi udara. Selene merasa sedikit pusing oleh kebisingan itu, tetapi ia tetap melangkah.

Pertama, ia mendatangi kios tepung. Penjualnya, seorang pria tua dengan senyum hangat, memandang Selene penuh rasa ingin tahu. Selene mengeluarkan daftar belanjaannya dan menunjuk kata tepung.

"Ah, tepung!" seru pria itu. Ia menakar satu kantong kecil dan memberikannya kepada Selene. Ia menyebutkan harga, tetapi Selene hanya menatap koin-koin di tangannya, bingung.

Melihat kebingungannya, pria itu tersenyum dan mengambil jumlah yang tepat. "Ini sudah cukup," katanya lembut.

Selene tersenyum lega, lalu melanjutkan perjalanannya ke kios berikutnya.

Namun, ujian sesungguhnya datang saat ia tiba di kios telur. Penjualnya adalah seorang wanita muda yang tampak tergesa-gesa. Selene menunjukkan daftar belanjaan, tetapi wanita itu hanya mendengus.

"Telur? Mau berapa banyak?" tanya wanita itu dengan nada tidak sabar.

Selene mengerutkan kening. Ia tidak tahu bagaimana menjawab tanpa suara. Dengan gugup, ia mengangkat dua jari.

"Dua? Baiklah," kata wanita itu, mengulurkan dua butir telur ke tangannya. Namun, saat Selene mencoba memasukkan telur ke keranjang, salah satu telur tergelincir dan pecah.

Selene membeku, wajahnya memerah karena malu. Wanita itu menghela napas panjang, tetapi pria dari kios tepung datang mendekat. "Jangan keras pada gadis ini," katanya. "Dia sedang belajar."

Setelah insiden telur, Selene melanjutkan belanja dengan hati-hati. Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria bertubuh besar dengan pakaian lusuh berdiri di hadapannya. Wajahnya dihiasi senyuman sinis.

"Hei, cantik. Baru pertama kali ke sini, ya? Bawa apa saja di keranjang itu?" tanyanya sambil mendekat.

Selene mundur selangkah. Tangannya erat memegang keranjang belanja, tetapi ia tetap diam. Tidak ada suara untuk membalas, tidak ada kata untuk melawan.

Preman itu tertawa kecil. "Oh, diam saja? Apa kau bisu? Hahaha, lucu sekali! Mungkin kau butuh bantuan membawa barang-barangmu, ya?"

Selene menggeleng cepat, tetapi pria itu tak peduli. Ia meraih keranjang belanjanya dengan kasar. Selene mencoba menariknya kembali, tetapi kekuatannya tak sebanding. Orang-orang di sekitar mereka hanya memandang tanpa bertindak, takut pada preman itu.

Namun, sebelum pria itu sempat melangkah lebih jauh, suara tegas terdengar dari belakangnya.

"Hei, lepaskan itu."

Selene menoleh dan melihat Elliot, pria yang menjadi alasan ia meninggalkan lautan. Ia berdiri dengan tatapan tajam, postur tubuhnya tegas namun tenang. Elliot mengenakan kemeja putih sederhana yang sedikit kusut, namun senyumnya—saat mengarah pada Selene—tetap menenangkan.

Preman itu menoleh dengan ekspresi kesal. "Apa urusanmu, bocah? Pergilah sebelum kau kena masalah."

Elliot tetap tenang, tetapi langkahnya mantap mendekati preman itu. "Masalah? Kau salah pilih orang, kawan." Dengan gerakan cepat, Elliot meraih keranjang dari tangan preman dan mengembalikannya pada Selene. "Sekarang pergi sebelum aku buat keributan di sini."

Preman itu mendengus, tampak ragu sejenak. Kerumunan mulai berbisik, membuat pria itu akhirnya mundur. "Dasar bocah sok pahlawan," gumamnya sebelum pergi.

Setelah pria itu pergi, Elliot berbalik menghadap Selene. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya lembut, matanya memeriksa wajah Selene untuk memastikan ia baik-baik saja.

Selene mengangguk pelan, tetapi ia tahu air matanya mulai menggenang. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi rasa takutnya, tetapi bibirnya gemetar.

Elliot menarik napas panjang, lalu dengan hati-hati meraih keranjang dari tangan Selene. "Ayo, aku akan menemanimu menyelesaikan belanja. Tidak ada lagi yang berani mengganggumu kalau aku di sini."

Selene menatapnya dengan rasa syukur yang mendalam. Dia mencoba memberikan isyarat dengan tangan—terima kasih—tetapi merasa tidak cukup. Namun, Elliot tampaknya mengerti.

Sambil berjalan di pasar, Elliot membantu Selene memilih barang-barang yang tersisa. Ia bercanda tentang beberapa penjual yang terlalu bersemangat menawarkan dagangan mereka, membuat Selene terkikik kecil.

"Aku ingat saat pertama kali menemukanmu di pantai," kata Elliot tiba-tiba. "Kau begitu tenang, seperti berasal dari dunia lain. Aku tidak tahu apa yang membuatmu berakhir di sana, tapi aku senang aku menemukannya."

Selene menunduk, ingatan tentang malam ketika ia meninggalkan laut demi mengejar cinta membuat matanya berkaca-kaca. Ia tidak bisa mengungkapkan kebenarannya, tetapi ia berharap suatu hari nanti Elliot akan memahami segalanya.

Elliot menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. "Kau mungkin belum bisa bicara, tapi aku merasa bisa mendengar semuanya lewat matamu."

etelah menyelesaikan semua belanjaan, Selene dan Elliot berjalan beriringan menuju rumah Bibi Elina. Langit senja memancarkan warna keemasan yang indah, tetapi hati Selene terasa hangat bukan karena matahari, melainkan kehadiran Elliot di sisinya.

Mereka berbicara melalui gestur dan tatapan. Elliot, dengan sabar, menjelaskan nama-nama barang yang mereka beli, sesekali tersenyum ketika Selene mencoba melafalkannya tanpa suara. Suasana di antara mereka terasa nyaman, hingga sebuah suara perempuan memecahkan keheningan.

"Elliot!"

Selene menoleh dan melihat seorang wanita muda mendekat. Rambutnya panjang dan berkilau seperti sutra, tersisir rapi di bawah topi kecil yang elegan. Gaunnya yang indah memancarkan aura anggun, jauh berbeda dari pakaian sederhana Selene.

"Isabella!" Elliot menyapa dengan senyum ramah, meski Selene menangkap sedikit ketegangan di matanya.

Isabella berhenti di depan mereka, mengabaikan Selene sepenuhnya. Matanya hanya tertuju pada Elliot. "Apa yang kau lakukan di sini? Aku mencarimu di rumah, tapi kau tidak ada."

Elliot menggaruk tengkuknya, tampak sedikit tidak nyaman. "Aku membantu Selene berbelanja di pasar. Dia tinggal dengan Bibi Elina."

Baru saat itu Isabella melirik Selene. Matanya menilai Selene dari atas ke bawah, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang sulit diterjemahkan. "Oh, dia gadis dari pantai itu, ya? Gadis bisu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bisu Karena Cinta   Bab 27: Bahagia

    Posisi Elina kini terduduk di atas pasir dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar. Walaupun ia belum pernah melahirkan, namun instingnya mengatakan ia harus mengatur nafas dan mengejan untuk melahirkan bayinya. Hingga akhirnya sebuah kepala disusul dengan badan yang lengkap menyembul keluar dari bawah sana. Dengan cepat Elina meraih dan memeluk bayi kecilnya yang masih berlumuran darah. Rasa lelah setelahnya membuat kesadaran gadis itu mulai menurun, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. - Elina yang tak sadarkan diri kini tengah berbaring di sebuah ranjang di suatu ruangan kecil. Suara burung berkicau di pagi hari mulai mengusik gadis itu. Perlahan ia tersadar dan teringat akan kejadian malam itu, malam dimana ia melahirkan bayinya. Lantas ia langsung terbangun dan mencari-cari keberadaan bayinya. Matanya melirik ke sana ke mari, namun sosok yang ia cari tak nampak keberadaannya. Bahkan ia sempat berpikir apakah tadi malam ia sedang bermimpi? Namun karena rasa sakit di

  • Bisu Karena Cinta   Bab 26: Pengorbanan

    Elina yang mendengar suara pelan Aegon, bukannya pergi tapi langsung berlari ke arah duyung itu. Sambil menangis ia menyentuh pipi Aegon yang dingin dan sudah dipenuhi luka."Aegon... Maafkan aku...", isaknya sambil menunduk."Sepertinya sekarang aku tahu cara agar memuatnya menangis dan mengeluarkan mutiara", ucap pria di belakang Elina."Iya benar, dari tadi kita sudah menyiksanya hingga membuat dia berteriak kesakitan tapi tak satu tetes pun air mata dia keluarkan", timpal temannya yang membawa pisau.Mendengar hal itu, Elina langsung membalikkan badannya. Menatap marah akan perbuatan kedua orang itu terhadap Aegon, namun ada secercah ketakutan juga dari matanya karena kedua pria itu kini perlahan melangkah mendekatinya.Sembari melangkah dan memainkan pisau di tangannya, pria itu berkata, "Tak ada salahnya mengorbankan satu nyawa demi kesejahteraan banyak orang bukan?"Pria satu lagi menarik Elina dan mengarahkan pisau yang ia keluarkan dari balik celananya ke arah leher gadis itu

  • Bisu Karena Cinta   Bab 25: Terpisah Oleh Takdir

    Suara teriakan disertai ketukan keras terdengar dari suatu ruangan di kediaman keluarga Baker.lina, gadis yang sengaja dikurung oleh ayahnya di kamarnya itu, sesekali memohon kepada ayahnya agar tak menyakiti pria yang ia cintai. "Ayah, kumohon buka pintunya... jangan sakiti Aegon"Suaranya yang parau menandakan ia sudah menangis begitu lama, bahkan tenaganya pun mulai terkuras habis. Ketukannya semakin melemah dan ia pun terduduk di balik pintu.Sang ibu terdengar ikut menangis dari luar, tak tega melihat kondisi anaknya. "Ayah, apa harus seperti ini? Aku takut Elina melakukan sesuatu yang buruk"Sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan menggebrak meja dengan keras, "Tak ada yang lebih buruk dari mencintai kaum duyung terkutuk!"Sementara itu di tempat lain, di suatu ruangan gelap, dimana hanya cahaya dari rembulan yang bisa masuk melalui celah-celah jendela, sesosok duyung tengah tergantung di tembok. Tangan kanan dan kirinya di ikat di tembok, dan ekornya dibiarkan menjun

  • Bisu Karena Cinta   Bab 24: Darah dan Air Mata

    "Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak

  • Bisu Karena Cinta   Bab 23: Aegon dan Elina

    Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging

  • Bisu Karena Cinta   Bab 22: Duyung Spesial

    Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status