Lima belas tahun kemudian.
~~~~~~~~
Jakarta.
Akhirnya, Anggun kembali menginjakkan kaki di tempat dia dilahirkan, setelah 15 tahun berada di Surabaya. Hidup tertatih, dengan semua kekurangan dan harus mengganti identitas menjadi Indah Kurnia, seperti yang disarankan oleh Sita.
Anggun Kalingga, sudah tiada. Ia dititipkan Bahar ke seseorang di Surabaya dan rutin mengirimkan uang sampai Anggun lulus SMA.
Namun, setelahnya Bahar tidak lagi mengirimkan uang dan hilang begitu saja. Sementara Sita, Anggun sudah tidak tahu menahu tentang wanita itu sejak mereka berpisah di bus kala itu.
“Belum selesai, In?” tanya Sabda, eksekutif produser yang menangani program debat politik – Retorika – di Warta. Salah satu perusahaan media ternama, di ibukota yang terkenal dengan liputan mendalam dan kontroversinya.
Indah terkesiap, ketika seseorang menepuk pundak dan sudah berdiri di sampingnya. Tidak bisa mengganti layar komputer, karena Sabda pasti sudah melihat apa yang Indah lakukan.
“Kalingga?” tanya Sabda lalu menunduk. Mensejajarkan kepalanya dengan Indah yang masih duduk di kursinya. “Nggak ada berita politik di sana.”
Indah tersenyum formal. Menggeser kursi berodanya sedikit menjauh, untuk menjaga jarak mereka. “Saya dengar, anaknya yang punya Kalingga Grup mau nikah sama pengacara ... siapa, Mas, namanya?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Mau apa tanya-tanya?” Sabda menarik napas dalam dan kembali berdiri tegak. Ia bersedekap, menatap tajam ke arah Indah yang hanya memberikan senyum kecil, senyum yang terlihat begitu formal dan berjarak.
"Kamu asli Surabaya atau cuma kuliah dan kebetulan kerja di sana?” Sabda masih saja dalam mode selidik dan tetap menjaga wibawanya. “Padahal asli sini?”
“Asli Suroboyo!” seru Indah sambil mengeluarkan logat Jawanya yang dipelajarinya selama tinggal di daerah tersebut. “Saya dengar dari anak-anak aja, sih, Mas. Katanya acaranya tertutup. Nggak boleh diliput.”
Sabda menghela panjang dan mengangguk. “Mereka butuh privacy.”
Indah tersenyum samar dan kembali ke posisinya. Menutup browser di layar, lalu mematikan perangkat komputernya. “Oia, Mas Sabda ada perlu sama saya?”
“Sudah mau pulang? Atau masih ada yang mau dikerjain?”
“Pulang.” Indah mengambil ranselnya yang tergeletak di lantai lalu memakainya. “Tapi mau makan bentar di kantin bawah.”
“Ayo!” Sabda sudah berbalik pergi meninggalkan Indah lebih dulu. “Aku traktir makan di atas, bukan di bawah.”
~~~~~~~~~~~~
“Sadhana.” Sabda membuka obrolan ketika lift sudah melesat ke atas.
“Sadhana?” Indah mengulang ucapan Sabda dengan pelan, karena tidak asing dengan dengan nama tersebut. Masih bertanya-tanya, mengapa Sabda mendadak mengajaknya makan di rooftop kantor? “Kenapa dengan Sadhana?”
“Keluarga Sadhana punya 10 persen saham di perusahaan ini,” terang Sabda tanpa menoleh dan hanya menatap lurus ke arah pintu. “Jadi, kita nggak bisa sembarangan memberitakan mereka.”
“Oke.” Empat tahun menjadi reporter, Indah sudah paham akan politik yang tersembunyi di balik pemberitaan yang tersebar di masyarakat. “Dan kenapa kita mendadak bicarain mereka?”
Sabda keluar lebih dulu ketika pintu lift terbuka, tanpa memberi jawaban pada Indah. Ia berhenti sejenak untuk melihat meja kosong, tetapi, tatapannya terhenti pada satu meja yang berada di area indoor yang sepi. Hanya ada dua orang yang berada di dalamnya dan mereka berada tepat di tengah ruang.
“Karena kamu sedang melihat website Kalingga Grup.” Sabda kembali membuka suara, ketika Indah sudah berada di sampingnya. Kemudian, telunjuknya mengarah pada area indoor restoran. “Lihat di sana.”
Indah memicing sambil menurunkan sedikit kacamatanya. Melihat dua orang pria yang sedang duduk berseberangan, tetapi anehnya tidak ada siapa pun di dalam sana kecuali mereka.
“Mereka—”
“Wahyu Sadhana. Kemeja hitam,” putus Sabda. “Dia pengacara yang akan menikah dengan Aprilia Kalingga dua minggu lagi.
Kedua tangan Indah mengepal erat saat mendengar nama sepupunya. “Terus, siapa yang ada di depan pak Wahyu?”
“Direktur Warta yang selalu datang nggak dijemput, pulang nggak diantar.” Sabda kembali meninggalkan Indah menuju meja kosong yang berada tidak jauh dari area indoor.
“Ha?” Indah segera mengejar pria itu. “Kok, kayak jelangkung?”
“Pak Budiman memang begitu,” ujar Sabda menarik kursi lalu mendudukinya. “Dia itu seperti jelangkung. Nggak tahu kapan datang dan kapan pulangnya. Suka-suka dia. Duduk.”
Indah menggeleng. Menatap area indoor yang sepi dari pengunjung. “Saya mau duduk di dalam.”
“Nggak ada satu orang pun yang boleh ke dalam, kalau ada mereka di sana,” larang Sabda.
“Kenapa?” Semakin dilarang, Indah semakin penasaran. Terlebih, ketika melihat kedua pria itu hanya terdiam dan berkonsentrasi dengan bidak-bidak catur di hadapan.
“Karena memang begitu peraturannya.”
“Saya nggak tahu ada peraturan seperti itu.”
Gambling.
Indah tersenyum samar dan berjalan cepat meninggalkan Sabda. Kesempatan yang ada di depan mata, tidak boleh terbuang sia-sia. Dengan wajah polosnya, ia memasuki area indoor dan memesan minuman terlebih dahulu.
“Mas, saya pesan—”
“Silakan pesan di luar, Kak,” ujar seorang pria yang berada di belakang meja bar. “Di sini—”
“Tapi saya mau di—”
“Ruangan ini sudah di reservasi sama pak Budiman.”
Indah berbalik. Kembali memasang wajah polos dan melihat ke arah yang dimaksud. Tatapannya langsung bersirobok dengan pria yang memakai kemeja hitam. Wahyu Sadhana.
“Kamu! Anak baru di sini?” tanya Wahyu datar.
Indah mengangguk. Membenarkan kacamatanya, lalu memegang kedua tali ranselnya dengan erat. Sejurus itu, ia berpaling dari Wahyu karena suara decakan pria yang baru saja membuka pintu.
“Maaf,” ucap Sabda hanya memberi lirikan pada Wahyu yang menatapnya. “Dia anak baru, nggak tahu apa-apa.” Ketika sudah berada di samping Indah, Sabda segera meraih siku gadis itu lalu menariknya keluar.
“Sabda,” panggil pria yang duduk berseberangan dengan Wahyu. “Duduk di sini.”
“Aku lapar, mau makan di luar,” jawab Sabda.
Indah bertahan di tempat. Kembali bertanya-tanya tentang Sabda, yang berani menjawab sang direktur tanpa formalitas sama sekali. Sepertinya, ada hal yang terlewat oleh Indah.
“Duduk di sini.” Wahyu menarik kursi yang berada di antara dirinya dan Budiman. Kemudian, mengangkat satu tangan guna memanggil seorang pelayan. “Skakmat. Gantikan pak Budiman.”
Sabda menarik napas panjang dan melepas lengan Indah. “Aku traktir lain kali. Pulang sana.”
Bukannya melangkah keluar resto, Indah justru melangkah pelan menghampiri meja Wahyu dan Budiman. “Boleh saya yang gantiin pak Budiman?”
Wahyu dan Budiman menatap Indah bersamaan. Dengan kompaknya, mereka menelisik penampilan Indah dari ujung rambut hingga kaki.
“Kami main, bukan untuk sekadar main-main.” Wahyu beralih pada bidak-bidak di papan catur dan menyusunnya kembali. “Ada yang dipertaruhkan di sini. Jadi, keluar.”
“In, pulanglah,” titah Sabda agak khawatir dengan nasib Indah karena sudah lancang mengganggu Budiman dan Wahyu. “Sampai ketemu besok.”
“Apa ... yang jadi taruhan?” tanya Indah tetap memasang wajah polosnya. “Uang?”
“In—”
“Pekerjaanmu,” Wahyu menyela Sabda untuk mengancam gadis yang menurutnya hanya mencari perhatian. “Kamu boleh gantikan pak Budiman, asal taruhannya pekerjaanmu. Kalah 10 langkah, pergi dari Warta dan jangan kembali lagi.”
“Indah, pulang sekarang!” titah Sabda masih mencoba sabar. “Jangan—”
“Oke!” Indah duduk di kursi yang seharusnya untuk Sabda. “Tapi kalau saya masih bertahan dalam 10 langkah, apa yang saya dapat?”
Wahyu tersenyum miring. Beranjak dari kursinya lalu duduk berhadapan dengan Indah. Wahyu ingin lihat, sampai di mana gadis tersebut bisa menyombongkan diri. “Apa pun ... yang kamu mau.”
“Oke.” Indah mengangguk pelan dan tetap berusaha terlihat canggung, juga bodoh di depan Wahyu maupun Budiman. “Ayo kita mulai!”
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W