Share

Part 2 | Sebuah Keputusan

"Lebih baik mengambil cuti satu semester terlebih dahulu, dari pada kamu seperti ini. Bukannya apa, tapi kamu sudah banyak ijin di matkul saya."

Aku duduk menatap gamang pada Bu Icha, salah satu dosen pengampu mata kuliah semester tiga sekaligus Dosen PA. Bu Icha tampak kesal, terlihat dari raut wajahnya yang malas ketika menatap ku.

Aku menyadari kesalahan ku yang beberapa kali ijin dan membolos ketika Bu Icha mengajar di kelas. Alasannya sama, aku harus bekerja di cafe ketika ada salah satu member lain yang libur atau ada masalah. Tuntutan kebutuhan kuliah ku membludak secara cepat seiring bertambahnya semester yang aku tempuh.

Sebenarnya, aku bisa saja mengambil cuti satu semester sembari mengumpulkan uang untuk biaya kuliah pada semester selanjutnya. Tapi, tentu saja aku akan telat lulus, dan menambah satu semester ke depan. Itu di luar rencana yang telah aku susun.

"Bagaimana Leuca?" Tanya Bu Icha tidak sabaran.

Aku masih duduk dengan raut bingung, rasanya aku ingin segera mendapat gelar sarjana dan angkat kaki dari kampus kesayangan. Tapi, tidak semudah itu. Banyak hal yang harus aku selesaikan, dan mandiri adalah pilihan yang aku ambil ketika meminta untuk berkuliah.

"Em... Sebentar ya Bu, saya akan rundingkan dengan orang tua saya."

Bu Icha mengangguk, sebelum aku bangkit dari kursi. Bu Icha menahan ku dengan kalimatnya, "Cuti satu semester adalah jalan terbaik, jangan terlalu memaksakan diri mu. Saya tau kamu salah satu dari mahasiswa dengan ekonomi yang sulit. Jadi, mengambil cuti satu semester tidak akan membuat mu rugi."

Aku terpaku sejenak, rasanya perkataan Bu Icha menyentil perasaan ku yang saat ini sensitif. Aku mengangguk saja tanpa bisa menjawab. Keluar dari ruang dosen dengan tertunduk lesu.

Melihat ada kursi kosong di depan ruang dosen, aku mendudukkan diriku disana. Memejamkan mata sambil menyender di sandaran kursi, aku tersentak kaget ketika ponsel ku berdering nyaring. Aku melihat ponsel ku yang jauh dari kata bagus itu menyala menampilkan si pemanggil di layar.

"Halo, Ibu. Assalamualaikum." Aku segera menerima panggilan dari orang tua ku.

"Halo, Lulu. Gimana kabar Lulu disana?"

"Alhamdulillah baik, Bu." Balas ku. "Ibu sama Bapak baik?"

"Alhamdulillah Nak, baik. Bapak, Ibu sama Wahyu semuanya dalam keadaan yang sehat." Kata Ibu membuat ku tersenyum lega.

"Lu,..." Kata Ibu terdengar ragu-ragu.

Aku yakin, ada suatu masalah yang akan disampaikan oleh Ibu padanya. Entah masalah apa itu, tapi aku berharap masalahnya cepat di atasi.

"Iya, Bu? Ada apa?" Balas ku beberapa saat kemudian.

"Begini Lu, Ibu mau tanya sama Lulu."

"Iya Bu, Ibu mau tanya sama anak sendiri masa harus ijin dulu. Memangnya Ibu mau tanya apa sama Lulu?" Aku penasaran, amat sangat penasaran. Tak biasanya Ibu meminta ijin untuk bertanya suatu hal padaku.

"Lulu masih punya uang tabungan?" Tanya Ibu pelan.

Aku masih ragu untuk menjawab, ku putuskan untuk diam beberapa saat. Dan suara Ibu kembali terdengar,

"Untuk biaya kuliah kamu semester depan, Ibu sama Bapak belum punya uang. Seharusnya sudah Ibu transfer ke kamu, tapi Wahyu merengek minta di belikan motor buat sekolah. Kemarin Ibu sama Bapak mu belikan Wahyu motor bekas, masih bagus."

"Maafin Bapak sama Ibu ya, Lu. Uang semester depan kamu, Ibu sama Bapak pake dulu. Nanti Bapak sama Ibu ganti, Ibu usahakan sebelum akhir semester sudah Ibu transfer ke kamu."

Aku tersenyum miris mendengar suara Ibu, rasanya aku masih menjadi manusia tidak berguna yang hanya meminta uang. Aku bahkan belum bisa memberi sesuatu kepada Ibu dan Bapak setelah aku mendapat pekerjaan. Semua gaji yang aku terima sudah habis untuk biaya hidup di kota dan kebutuhan kampus.

"Bu..." Panggil ku lembut, "Ibu sama Bapak tidak perlu pikirin Lulu. Disini, Lulu kuliah sambil kerja kok Bu. Jadi Lulu ada uang pegangan. Jangan khawatir sama Lulu."

"Harusnya Lulu fokus kuliah, tapi Lulu malah kerja karena Ibu dan Bapak yang kurang mampu biayain kuliah Lulu."

Setetes bening air mata meluncur bebas, aku tidak kuat mendengar Ibu yang menangis sedih karena ku. Aku menjauhkan sedikit ponsel milikku, ku usap air mata yang dengan lancang keluar tanpa aku minta. Aku menetralkan suara ku dengan air mineral yang selalu aku bawa di dalam tas.

Setelah merasa lebih baik, aku kembali menempelkan ponsel milikku ke telinga. Mendengar suara Ibu yang sudah menangis tersedu-sedu di seberang telepon.

"Bu, Ibu ngomong apasih?" Tanya ku pelan.

"Maafin Ibu sama Bapak Lulu..."

"Bu, kenapa harus minta maaf? Rejeki sudah ada yang mengatur Bu. Ibu sama Bapak tidak usah khawatir sama Lulu. Lulu baik-baik aja disini."

"Tapi tetap saja,--"

"Wahyu bagaimana Bu? Suka sama motornya?" Sela ku tak sopan. Aku tidak akan kuat mendengar suara Ibu yang menangis. Akan lebih baik, jika aku mengalihkan pembicaraan kami.

"Wahyu senang, bahkan Wahyu selalu mencuci motornya ketika terkena genangan lumpur. Apalagi ini musim penghujan, hampir setiap hari Wahyu cuci motornya." Kata Ibu sedikit tawa di akhir kalimat.

Aku mencoba tertawa meski tawa ku sedikit kaku, "Biasalah Bu, anak muda juga begitu. Sekolah Wahyu lancar kan Bu?"

"Alhamdulillah, lancar Lu. Kemarin, Wahyu peringkat dua umum. Ada hadiahnya Lu, pembebasan biaya SPP satu tahun."

"Alhamdulillah Bu, Lulu seneng banget dengernya." Tak ku pungkiri, aku senang mendengar prestasi Wahyu di sekolahnya.

"Lu, soal biaya kuliah kamu Ibu sama Bapak,--"

"Bu, teleponnya Lulu matiin sekarang ya, Bu. Maaf, Lulu ada kelas. Dosennya udah dateng, nanti Lulu hubungin Ibu lagi."

"Iya Lu, maafin Ibu yang telepon kamu di jam kuliah ya Nak. Ya sudah, Ibu matikan teleponnya. Assalamualaikum."

"Iya Bu, wassalamualaikum."

Aku menatap gamang ponselku yang sudah mati. Aku masih setia duduk di kursi, tidak ada kelas hari ini. Rasanya aku tidak akan sanggup mendengar suara Ibu yang terdengar sedih dan putus asa karena ku.

"Maafin Lulu, Ibu. Lulu selalu ngrepotin Ibu sama Bapak di rumah. Padahal seharusnya Lulu yang kerja dan membantu perekonomian keluarga kita. Lulu minta maaf..."

Aku terisak pelan, dadaku terasa sesak. Sangat sakit rasanya mendengar Ibu dan Bapak yang kesusahan karena biaya kuliah yang aku tempuh. Padahal biaya kebutuhanku di kost dan makan pun sudah sekuat mungkin aku tekan. Namun, semuanya selalu kurang dan membuat ku nyaris putus asa.

Melihat jam yang melingkar di tangan kiri ku, aku segera bangkit.

"Nanti malam kan jadwal ngajar les private Lily. Masih ada waktu untukku beristirahat di kost. Setidaknya untuk hari ini, aku ingin tidur tanpa banyak pikiran yang terasa mencekik."

***

"Kak Yuka, coba lihat! Matematika Lily sudah benar apa belum?" Lily menyodorkan buku tulis yang membuat ku tersentak kaget, dengan tergagap aku memeriksa pekerjaan Lily.

"Bagus kok. Sudah bagus! Lily hebat sekali!" Puji ku mengelus rambut halus Lily yang terkepang rapi.

Lily bersorak gembira, "Yey! Sekarang giliran menggambar! Lily suka sekali menggambar!"

Aku tersenyum mendengar nada antusias Lily. "Bagaimana jika menggambar gunung?"

Lily menggeleng, "Kemarin sudah menggambar gunung! Lily mau menggambar yang lain!"

"Em... Bagaimana dengan menggambar bunga?"

"Bunga?"

Aku mengangguk antusias, "Coba Lily menggambar bunga. Pasti bagus!"

"Tapi Lily belum pernah melihat gambar bunga, bagaimana bisa Lily menggambar bunga?" Tanya Lily terdengar lucu ditelinga ku.

"Baiklah, akan Kakak,--"

"Lily bisa menggambar gunung tanpa melihat gunung, pasti mudah saja menggambar bunga tanpa melihat bunga." Sela seseorang dari arah belakang ku, membuat ku membalikkan tubuh.

Lily berlari gembira melihat Papanya sudah pulang, "Papa!" Serunya.

Pak Bagas menangkap Lily dengan sigap, membawa bocah berusia enam tahun itu di gendongannya. Bibir mungilnya mencium pipi Pak Bagas, pertanda ucapan "selamat pulang ke rumah" dari Lily. Pak Bagas memang menanamkan kebiasaan mencium pipi untuk Lily. Membuat Lily merasa sangat di sayangi oleh Papanya.

"Bagaimana hari ini? Senang belajar dengn Kak Yuka?" Tanya Pak Bagas yang langsung di angguki oleh Lily. Gadis kecil itu menunjukkan buku matematikanya pada Pak Bagas. Memamerkan pada Papanya jika Lily sudah selesai mengerjakan PR.

Aku diam mematung, ini baru kali pertama aku melihat Pak Bagas setelah kejadian di cofe shop depan kampus beberapa hari lalu. Pak Bagas memang penyayang, terlihat jelas dari bagaimana perhatiannya pada Lily. Tak jarang, Pak Bagas akan meninggalkan pekerjaannya untuk bermain dengan Lily ketika bocah itu rewel.

"Lily, bisa Lily lanjutkan menggambarnya di kamar saja? Papa ingin bicara dengan Kak Yuka." Gadis kecil itu mengangguk dan turun dari gendongan Pak Bagas.

Mendengar nama ku di sebut, membuat ku spontan menoleh. Aku menatap bingung Pak Bagas, sedangkan Lily membereskan bukunya dan beranjak menuju kamar sesuai perintah Pak Bagas. Di hadapkan kembali hanya berdua dengan Pak Bagas tanpa Lily membuatku merasa canggung.

"Santai saja, Leuca." Kata Pak Bagas membuat ku mengambil napas. Bersama seorang pria dewasa membuat ku lupa caranya bernapas, aku terlalu gugup sekarang.

"Ah, iya Pak."

"Ingin menemani saya minum kopi sebentar?" Tawar Pak Bagas.

Aku menatap pria itu sejenak, kemudian mengangguk pelan. Pak Bagas tersenyum, lantas pria itu meninggalkan tas kerja serta jasnya di ruang tamu. Dan membawa buku PR milik Lily. Aku mengikuti Pak Bagas yang mengajakku di balkon samping rumah.

"Duduk dulu, saya akan buatkan kopi."Pak Bagas mempersilahkan ku untuk duduk. Lantas, pria itu kembali ke dalam rumah, meninggalkan buku PR Lily di atas meja.

Tak lama Pak Bagas kembali dengan membawa nampan seorang diri.

"Untuk mu." Ucap Pak Bagas mengambil satu cangkir, sebelum meminumnya Pak Bagas menghirup aroma kopi yang mengepul di atas cangkir. Aku mengamati apa yang Pak Bagas lakukan, terasa menarik mata meski itu adalah kegiatan sederhana.

"Terima kasih, Pak." Pak Bagas mengangguk tanpa melihat ku.

Aku menyeruput sedikit kopi di dalam cangkir, setelah menghirup aromanya yang menenangkan pikiran. Lalu ku letakkan kembali di atas nampan. Aku masih menunggu Pak Bagas membuka suara, jujur saja aku masih merasa bingung atas situasi ini.

Bukannya membuka suara, justru Pak Bagas memberikan ku buku PR milik Lily. Aku menerimanya dengan bertanya-tanya. Apakah ada PR Lily yang belum selesai?

"Kenapa ya, Pak?"

"Buka saja, teliti hasil pekerjaan Lily yang kalian kerjakan malam ini."

Sontak aku membuka buku PR Lily, yang kami kerjakan tadi. Apakah ada masalah? Dan ternyata benar, aku yang salah disini. Tanpa sengaja aku membenarkan perhitungan Lily yang salah. Seharusnya aku lebih teliti, tapi kenapa bisa aku seceroboh ini.

"Jika kamu merasa tidak sehat, kamu bisa meminta konfirmasi penggantian jadwal les privat untuk Lily. Saya tidak keberatan sama sekali." Ucap Pak Bagas bijak.

"Maafkan saya, Pak. Ini kesalahan saya, saya akan bertanggung jawab."

"Sudah seharusnya kamu bertanggung jawab atas kesalahan yang kamu lakukan. Meski tanpa sengaja."

Kalimat Pak Bagas terdengar menohok, meski pria itu berbicara dengan nada yang halus. Aku diam mematung tanpa bisa berkata apapun lagi.

"Leuca." Panggil Pak Bagas. Aku mendongak sebagai respon dari panggilan Pak Bagas untuk ku. Rasanya aku masih malu karena kesalahan ku.

"Maaf telah lancang." Aku menatap bingung pada kalimat Pak Bagas.

"Saya mendengar kamu kesulitan membayar biaya kuliah semester ini. Bu Icha, selaku dosen PA menyarankan agar kamu mengambil cuti satu semester. Tapi kamu keberatan."

Aku menatap Pak Bagas dengan pandangan syok, jadi pria itu tau?

"Saya--saya akan berusaha melunasi biaya kuliah saya semester ini kok Pak. Saya masih punya uang pegangan buat biaya kuliah, lagi pula Ibu sama Bapak kirim uang setiap bulan. Jadi bisa ngebantu pengeluaran saya di sini." Aku menjawab dengan mengalihkan pandangan, mataku terasa perih.

"Orang tua kamu sama kesulitannya dengan kamu, Leuca. Kamu memiliki satu adik yang baru masuk SMA, dan kebutuhannya pasti akan bertambah."

Kali ini aku benar-benar terkejut, "Ba--Bapak tau?"

"Maaf, saya tidak sengaja mendengar ketika kamu bertelepon dengan orang tua kamu di depan ruang dosen."

Tatapan Pak Bagas begitu dalam menatap ku, aku semakin tidak menyangka dibuatnya. Rasanya aku sudah begitu malu berada di hadapan Pak Bagas. Dengan gugup, aku bangkit dari kursi. Ku tinggalkan cangkir kopi ku yang masih tersisa banyak.

"Leuca." Panggil Pak Bagas ketika aku melewatinya.

Aku terdiam sejenak di depan pintu kaca, menunggu apa yang akan disampaikan Pak Bagas.

"Saya benar-benar menyukai kamu. Bukan sebagai mahasiswa saya, tapi sebagai perempuan yang memang pantas untuk saya perjuangkan. Apa yang saya sampaikan pada mu waktu lalu, masih berlaku."

Aku berbalik mendengar kalimat Pak Bagas, "Kenapa saya? Masih banyak perempuan lain yang pantas Bapak perjuangkan. Saya hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa."

"Saya menyukai kamu, karena itu adalah kamu. Bukan harta atau apapun itu." Aku terpaku mendengar kalimat Pak Bagas. Nadanya bersungguh-sungguh menyatakan perasaannya padaku, tatapan matanya yang dalam membuat ku semakin tenggelam dalam kebimbangan.

"Sudah malam," Pak Bagas melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, "Saya pesankan taksi untuk mengantar mu kembali ke kost."

"Saya bisa,--"

"Jika menolak, saya akan antar kamu pulang ke kost." Aku terdiam mendengar perintah Pak Bagas.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

Aku berbalik melangkah masuk, samar-samar aku masih mendengar suara Pak Bagas di tenangnya malam. Suara yang membuat ku ragu, dilema dan putus asa.

"Saya masih menunggu jawaban dari kamu, Leuca."

***

Kalimat terakhir Pak Bagas cukup mengusikku, hingga dini hari aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Mataku sulit terpejam, padahal aku sangat mengantuk. Pagi nanti, aku ada matkul dan kini sudah pukul dua dini hari. Pikiran ku berkelana, jawaban apa yang harus aku berikan untuk Pak Bagas ketika pria itu pantang menyerah dengan penolakan ku?

"Bagaimana ini? Apa aku terima saja lamaran dari Pak Bagas?"

"Tapi, apa semudah itu? Bagaimana dengan yang lain? Aku bahkan tidak bisa memasak. Nanti, Pak Bagas dan Lily mau makan apa?"

"Lebih parahnya lagi, siapa yang akan membayar biaya kuliah ku. Gaji menjadi pelayan cafe dan guru les private saja masih kurang."

"Apakah aku menerimanya saja?"

"Jika ingin jujur, aku belum mencintai Pak Bagas. Perasaan kagum tentu saja ada, tapi apakah itu cukup untuk membuat ku menerima Pak Bagas?" Banyak sekali pikiran yang membuat ku tertekan hingga tak bisa tidur.

"Rasanya pusing sekali!" Aku mengacak rambut hingga berantakan. Mengambil napas dalam, aku mencoba tenang sebelum mengambil keputusan

Memantapkan hati, aku mengambil ponsel butut ku di atas laci. Aku mencari nomor Pak Bagas dan mengiriminya pesan. Aku ragu, Pak Bagas masih terjaga. Namun, aku sudah memantapkan hati, dan akan segera menyelesaikan semuanya.

Assalamualaikum Pak Bagas

Maaf mengganggu waktu istirahat Pak Bagas. Saya memutuskan untuk menerima lamaran Pak Bagas.

Aku melihat checklist satu abu, mungkin Pak Bagas sudah tidur. Tapi tak lama, checklist satu berubah menjadi checklist dua berwarna biru.

Pak Bagas membaca pesan ku!

W*'alaikummussalam

Alhamdulillah, terima kasih Leuca. Besok setelah selesai matkul, tunggu saya. Kita bicarakan hal selanjutnya dan secepat mungkin saya akan melamar kamu secara resmi.

Aku memejamkan mataku, jantungku terasa berdetak begitu cepat. Semoga, ini jalan terbaik untuk hidup ku ke depan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status