Enjoy reading ...
"Astaga, Risty! Kenapa telfon sama pesan gue dari tadi nggak lo balas?" geramku begitu ia mengangkat panggilanku. "Sorry, Rado! Gue ... lagi nongkrong sama Kaika." "Lo dimana sekarang? Urusan gue udah kelar." Sebagai bodyguardnya, aku wajib memastikan apakah majikanku ini baik-baik saja. Serta bagaimana dia kembali pulang karena tadi kami berangkat menggunakan motorku. Kecuali Risty memilih pulang menggunakan taksi atau diantar sahabatnya. "Nongkrong, Rado." "Gue jemput, kita pulang sekarang." "Dih, ini masih jam tiga siang, Rado. Pulang nanti aja." "Cewek nggak baik keluyuran." "Tumben lo khawatir sama keadaan gue? Jadi ge-er." Risty dan sepaket kekonyolannya kadang membuatku tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia begitu percaya diri. "Gue menjalankan tugas sebagai bodyguard lo. Lagian lo habis bertengkar sama Ziany, siapa tahu lo dimata-matai sama suruhannya. Ngerti lo sendirian, bisa-bisa besok lo tinggal nama doang." "Jelek doa lo, Rado!" "Share lokasi lo dimana. Gue j
Tanganku mencengkeram tangan kanan Risty lalu menariknya keluar dari kamarku dengan hati bersungut marah. "Aduh, Rado. Sakit!" Lalu tanganku bergerak membuka handle pintu kamarnya dan menyentaknya masuk. Mataku menatap tajam dirinya yang berdiri sambil mengusap pergelangan tangan kanan. "Jangan ikut campur masalah pribadi gue, Ris!" Lalu aku menutup pintu kamarnya keras dan menuju ke kamarku sendiri. Mengunci pintu lalu mengambil obat antidepresan di dalam tas dan meneguknya satu butir. Kemudian aku membaringkan tubuh di atas ranjang sambil menaruh tangan di atas mata dan bersiap merasakan efek obat yang bisa membuatku rileks hingga terlelap. *** Ini hari sabtu. Tidak ada perkuliahan dan aku bebas tidur hingga menjelang siang. Namun sepertinya itu hanya angan semata ketika ketukan di pintu kamarku menginterupsi. Risty pelakunya. "Ngapain?" tanyaku dengan wajah bantal dan membuka setengah pintu. "Anterin gue keliling apotek-apotek. Waktunya ngecek bisnis." "Sekarang?" "Pantes
"Minuman lo nggak sehat dan nggak bener,” ucapku dengan menatap lurus ke dalam manik matanya. Sedang tangannya yang berada di kaki gelas, masih berada dalam genggamanku. "Hei, Rado. Ini cuma delapan persen alkoholnya. Nggak bakal bikin gue mabuk." "Nggak usah aneh-aneh! Kalau lo sakit, gue juga yang ribet!" Aku segera menyingkirkan tangan Risty lalu mengambil gelas banquet crystal berisi sampanye itu. “Rado! Mau lo bawa kemana minuman gue?!” Tanpa mengindahkan pertanyaannya, aku segera membawa gelas itu menuju dapur bar and restaurant dan mengembalikan pada koki yang bertugas. "Are you kidding me, Rado?" tanya Risty begitu aku kembali lalu membawa sesuatu sebagai gantinya. “Ini lebih sehat. Nggak usah protes.” Aku meletakkan jus jeruk dihadapannya lalu menyantap makan malam dengan lahap. Karena perutku sudah sangat lapar karena menemani Risty berkeliling menyambangi bisnis apoteknya. “Tumben lo perhatian sama gue? Lo nggak lagi ada udang di balik penggorengan, kan?!” “Ma-k
“Minggir!” Akhirnya aku menyingkirkan tubuhnya dengan kasar hingga hampir membentur dinding lalu aku berlari keluar lounge. Emosi ini perlu dikeluarkan atau akan menjadi racun. Ditambah, aku tidak membawa obat anti depresan. Lengkap lah! Aku menjadikan helm full face-ku sebagai objek pelampiasan. Aku memukulkannya di paving halaman lounge hingga pecah lalu menendangnya sekuat tenaga hingga amarah ini mereda. Dengan nafas terengah-engah, aku mendudukkan diri di dekat motor sambil menunduk. Lega rasanya meluapkan emosi ini tanpa harus menyiakiti Risty. Sebenarnya, berada dalam raga yang seperti ini sungguh melelahkan. Tapi, andai Risty tidak memicunya maka aku tidak akan begini. Risty seperti hal yang menjadi sabab musabab terjadinya sebuah pergolakan. Entah itu dengan Ziany atau kini denganku. “Lebih baik?” Dua buah kaki seksi yang terbungkus skiny jeans warna hitam dengan sepatu hitam bertaburkan Swarovski nampak dihadapanku. Lalu aku mendongak untuk menatap wajahnya. Risty m
“Rado, ini udah jam sembilan malam. Risty dimana? Kok di kamar nggak ada?” Mas Kian bertanya ketika aku mengerjakan tugas kuliah. Aku menghentikan kegiatan lalu mengecek ponsel yang tidak menunjukkan pesan masuk dari Risty. “Apa dia bilang pergi kemana?” “Tadi … dia di kos Kaika, sahabatnya.” “Kalau gitu suruh pulang. Gimana pun Mas nggak enak kalau ada apa-apa sama Risty. Soalnya Alfonso udah nitipin dia di sini.” Aku menghubungi Risty berkali-kali namun tidak ada jawaban. Lalu aku memutuskan untuk menghubungi Kaika. “Kai, suruh Risty pulang.” “Lha? Dia udah cabut dari jam enam tadi, Do.” “Apa?” Aku terkejut dengan pengakuan Kaika. “Emang dia belum sampai rumah lo?” “Belum.” “Astaga, kemana nih anak.” Kelebat Risty ditangkap preman yang disewa Ziany lalu disekap tanpa ampun atau dia bertemu Richard bersama selingkuhannya kemudian terjadi pertengkaran, membuat pikiranku secara otomatis tidak tenang. Aku segera menutup laptop, mengambil hoodie, dan meraih kunci motor sportku
"Risty! Kamu dari mana?" Mbak Sasha langsung menghampiri Risty begitu kakinya menginjak lantai rumahku. "Tadi ... ketiduran di kosnya teman, Mbak," kilahnya. Aku berdiri sambil menatap interaksi keduanya, kemudian Mbak Sasha mengantarnya menuju kamar. Mas Kian meletakkan koran yang ia baca lalu berjalan menghampiriku. "Kalau ada masalah sama Risty, kamu selesaikan secepatnya, Do." Mas Kian menepuk pundakku lalu menuju kamarnya. Ini sudah pukul dua belas malam lebih sepuluh menit. Sedikit lama karena tadi aku harus membujuk Risty agar mau kembali pulang ke rumahku. Meski dengan sedikit paksaan. Bagaimana pun, Kak Alfonso telah menitipkannya padaku, Mas Kian, dan Mbak Sasha. Walau sebenarnya aku melakukan ini karena merasa memiliki tanggung jawab sebagai bodyguardnya. *** Hari ini ada jam kuliah pagi. Sekaligus mengumpulkan tugas yang semalam kukerjakan secepat mungkin setelah mejemput Risty dari apartemennya. "Pagi." Sapaku ketika tiba di dapur. Risty menatapku sejena
Aku berhasil melumpuhkan kedua preman bertubuh tegap itu dengan menggunakan alat pemadam kebakaran yang kuambil dari tempatnya. Setelah itu aku memukuli mereka berdua hingga babak belur dan tersungkur di lantai. Kuletakkan kakiku di atas pipi salah satu preman yang mengerang kesakitan dengan tubuh terlentang. “Siapa yang nyuruh kalian melukai Risty?” Keduanya hanya mengeluh kesakitan lalu aku menekan kakiku dengan keras ke pipinya. “Jawab!” “Kami … cuma disuruh bos.” “Sampah!” Aku menendang keduanya kemudian mengambil kunci mobil SUV dan melemparnya ke segala arah. Biar mereka kelabakan mencarinya. Lalu aku menghampiri Richard yang masih duduk ketakutan di balik setir kemudi. Dia pasti tidak menyangka jika aku bisa melemahkan dua preman sialan itu sekaligus. Tanganku membuka pintu mobil Richard lalu sedikit menundukkan tubuh agar bisa menatap wajahnya dengan sorot tajam yang dimiliki kedua mataku. “Gue udah bilang untuk jauhi Risty, kan?! Jangan dekati dia apapun alasannya. D
"Mas, bener-bener kecewa sama kelakuanmu, Rado! Apa yang kurang Mas berikan selama ini, heh?! Kenyamanan, uang, kasih sayang, perhatian, pendidikan, semuanya udah Mas kasih. Semuanya!" Aku hanya bisa menunduk malu dengan kesedihan yang tak terkira. Rahasia perasaanku pada istri Mas Kian akhirnya terungkap. Dan aku tidak bisa mengelak. Entah bagaimana Mas Kian bisa menemukan flashdisk berisi rekaman CCTV rumah yang menampakkan kelancanganku mencumbu istrinya. "Dan lebih hina saat kamu berani menyentuh, mencium, bahkan melakukan hal yang nggak pantas dilakukan seorang adik pada istri kakaknya! Kamu benar-benar gila, Rado! Kamu sakit jiwa!" Hardik Mas Kian. Tangannya kembali terulur menarik kerah bajuku dan memberi pukulan di wajahku yang sudah terlihat memar. Tanganku mengusap lelehan darah yang kembali mengucur dari sudut bibir. Suasana rumah menjadi begitu mencekam karena pertengkaran kami. Ini kali pertama Mas Kian begitu murka padaku. "Berapa kali kamu nidurin istri Mas?! Jawab