Share

2. Dua Neraka

Penulis: AeStar's Ruby
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 12:22:03

"Bangunlah, sudah hari pernikahanmu, Camila."

Suara dingin Damien Wibisana memecah keheningan kamar yang suram. Camila membuka matanya yang sembab dan melihat sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tanpa ekspresi, seperti patung marmer yang tak bernyawa.

Tubuh Camila terasa berat, seolah setiap helai kain yang menutupi dirinya berubah menjadi rantai yang mengikatnya di tempat tidur. Luka-luka yang tersembunyi di balik selimut birunya masih terasa perih, bekas dari malam yang tidak ingin diingatnya.

“Ayah ….” Suaranya lirih, nyaris tidak terdengar. Namun, Damien tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar atau peduli. Pria itu hanya melipat tangannya di dada, tatapannya tajam seperti pisau yang menusuk tanpa ampun.

“Jangan buat ini lebih sulit, Camila. Bangun sekarang,” ulangnya.

Camila duduk perlahan, kepalanya menunduk. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia tidak ingin menangis di depan Damien. Tidak lagi.

“Tadi malam … Victor masuk ke kamarku,” suaranya bergetar, hampir tak keluar dari tenggorokan yang tercekat oleh rasa sakit. “Dia—dia memukulku dan melakukan hal yang .…” Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Damien mendengus kecil, seolah cerita itu hanya lelucon belaka. “Itu hal kecil, Camila. Kamu seharusnya tahu betapa banyak wanita di luar sana yang ingin berada di posisimu.”

Camila mendongak, menatap ayahnya dengan mata memerah. “Hal kecil? Ayah tidak tahu apa yang dia lakukan! Dia memperlakukanku seperti .…”

“Seperti calon istrinya,” potong Damien dengan nada dingin yang membuat tubuh Camila merinding. “Camila, ini pernikahan yang sudah diatur untuk masa depan keluarga kita. Kau tidak perlu bersikap seperti anak kecil. Apa yang kau rasakan tidak penting.”

“Tapi dia menyakitiku, Ayah!” teriak Camila, suaranya pecah oleh tangis.

Damien menghela napas panjang, seolah lelah dengan drama ini. “Victor adalah pewaris tunggal keluarga Aryasena. Dengan menikahinya, kita akan menjadi bagian dari salah satu keluarga paling berpengaruh di negeri ini. Apa kau tahu apa artinya itu untuk kita? Untukmu? Berhentilah bersikap manja. Kau hanya perlu melakukan tugasmu.”

“Tugas?” Camila nyaris tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Jadi, Ayah menyerahkan aku pada seorang iblis hanya demi status?”

“Ini demi keluarga kita, Camila.”

“Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kebahagiaanku?”

Damien menatapnya dingin, kemudian berkata tanpa perasaan, “Kebahagiaanmu tidak sepenting keberlangsungan keluarga ini.”

Air mata Camila jatuh tanpa henti, tetapi Damien tak sedikit pun tergerak. Dia melangkah pergi meninggalkan kamar, menutup pintu dengan suara yang menghentak.

Camila terduduk di atas tempat tidurnya, tubuhnya gemetar hebat. Tangisannya menggema di ruangan yang kini terasa seperti penjara. Hatinya hancur, bukan hanya oleh perlakuan Victor, tetapi oleh sikap ayahnya sendiri yang tak menganggapnya lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan.

Dalam kesedihan yang mendalam, Camila sadar bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Tidak dari Victor, tidak dari ayahnya, bahkan tidak dari dirinya sendiri. Dan di situlah, di antara isak tangis yang memekakkan hati, ia tahu, ia sendirian.

***

Camila duduk di depan cermin besar dengan bingkai emas. Lampu-lampu di sekelilingnya menyinari wajah pucatnya, memperlihatkan setiap detail luka dan lebam di sudut bibirnya. Perias yang dipanggil khusus oleh keluarga Aryasena berdiri di sampingnya, memegang kuas bedak dengan hati-hati.

“Bisa tolong tutupi ini?” tanya Camila pelan sambil menunjuk luka di sudut bibirnya yang masih memerah. Suaranya hampir seperti bisikan, takut ada orang lain yang mendengar.

Perias itu terdiam sejenak, menatap luka itu dengan ragu. “Tentu, Nona. Saya akan melakukan yang terbaik.”

Camila mengangguk kecil, matanya kembali ke pantulan dirinya di cermin. Luka di wajahnya hanyalah sebagian kecil dari rasa sakit yang ia tanggung. Tubuhnya masih terasa nyeri akibat perlakuan Victor tadi malam, dan lebih dari itu, hatinya terasa seperti dirobek berkali-kali.

Ketika perias mulai bekerja, Camila menutup matanya, berusaha menahan air mata. Ia tidak ingin terlihat lemah. Hari itu adalah hari pernikahannya, tapi bukannya kebahagiaan, yang ia rasakan hanyalah kepedihan.

Setelah berjam-jam dirias dan mengenakan gaun putih yang mewah namun terasa seperti rantai yang mengekang, Camila akhirnya siap. Dia berdiri dengan kaku, gaun panjangnya berkilauan di bawah cahaya lampu, tetapi senyumnya hilang entah ke mana.

Damien masuk ke ruangan itu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Wajahnya tetap dingin tanpa emosi, seperti biasa. “Ayo, waktunya berjalan ke altar,” katanya tanpa basa-basi.

Camila mengikuti langkah ayahnya ke luar ruangan, tangannya digenggam erat oleh Damien seolah mengingatkan bahwa dia tidak punya pilihan lain. Di sepanjang lorong menuju altar, semua mata tertuju padanya. Para tamu tersenyum, mengagumi kecantikan dan kemewahan acara ini. Tidak ada yang tahu luka yang tersembunyi di balik riasan sempurnanya.

Ketika Camila tiba di altar, Victor sudah berdiri di sana, mengenakan jas hitam yang elegan. Tatapan matanya tajam, penuh kekuasaan dan ancaman. Begitu Damien menyerahkan tangan Camila pada Victor, pria itu menggenggamnya erat, hampir menyakitkan.

“Senyum,” bisik Victor dengan nada rendah yang hanya bisa didengar oleh Camila. “Kalau tidak, aku akan memastikan malam ini menjadi malam yang tidak akan pernah kau lupakan.”

Camila menelan ludah, berusaha menahan gemetar di tangannya. Dengan terpaksa, dia mengangkat sudut bibirnya, membentuk senyuman kecil yang tampak manis di mata orang lain tetapi terasa seperti pisau yang menusuk hatinya sendiri.

Victor tersenyum puas, lalu upacara pernikahan dimulai. Kata-kata pendeta yang berbicara tentang cinta dan komitmen terasa seperti ironi yang menyakitkan bagi Camila. Ketika tiba saatnya mengucapkan janji pernikahan, suaranya nyaris bergetar, tetapi dia berhasil mengucapkannya tanpa tersedu.

Setelah upacara selesai, Camila dan Victor berjalan keluar dari aula bersama. Tamu-tamu bersorak, melambai, dan mengucapkan selamat, tetapi Camila tidak merasakan apa-apa selain keinginan untuk kabur. Matanya melirik ke sekeliling aula, mencari celah untuk melarikan diri, tetapi penjaga-penjaga yang berjaga di setiap pintu membuatnya sadar bahwa usahanya akan sia-sia.

“Kau sedang berpikir untuk kabur?” tanya Victor tiba-tiba, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.

Camila terkejut, tetapi ia dengan cepat menggeleng. “Tidak,” jawabnya singkat.

Victor menyipitkan matanya, menatapnya dalam-dalam seolah mencoba membaca pikirannya. “Bagus,” katanya akhirnya. Lalu, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Camila, berbisik dengan suara yang membuat bulu kuduknya meremang.

“Nanti malam, langsung ke kediaman Aryasena. Jangan berani-berani membuatku menjemputmu, Camila.”

Kata-kata itu membuat darah Camila berdesir dingin. Ia tahu nanti malam akan menjadi neraka lain yang harus ia lalui, tetapi ia tidak punya pilihan. Senyum palsu masih terpampang di wajahnya ketika ia dan Victor melangkah keluar, meninggalkan aula pernikahan yang penuh dengan sorakan dan tepuk tangan.

***

Di kamar pengantin yang megah namun terasa seperti penjara, Camila berdiri di depan cermin. Gaun pengantin putih yang ia kenakan masih melekat erat di tubuhnya. Perhiasan berlian yang menghiasi leher, telinga, dan pergelangan tangannya satu per satu dilepas. Setiap kilauan batu permata itu terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.

Camila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ketukan pelan di pintu, diikuti suara langkah seseorang masuk tanpa permisi, membuat tubuhnya menegang.

“Selamat malam, Nona muda Aryasena.” Suara Leon, kakak laki-lakinya, terdengar mengejek. Ia masuk dengan santai, mengenakan setelan mahal yang masih rapi. Senyum sinis tergambar jelas di wajahnya.

Camila tidak menoleh. Tangannya tetap sibuk melepaskan perhiasan terakhir di pergelangan tangannya.

“Wah, luar biasa sekali. Adik kecilku sekarang sudah menjadi nyonya muda Aryasena. Kau tahu, banyak wanita di luar sana yang rela melakukan apa saja untuk berada di posisimu,” lanjut Leon, nada bicaranya penuh sarkasme.

Camila tetap diam, tidak menghiraukan ledekan Leon. Ia tahu, berbicara dengan kakaknya hanya akan menambah luka di hatinya. Leon sama seperti ayahnya—pria yang hanya peduli pada ambisi dan kekuasaan.

Melihat sikap dingin Camila, Leon mendekat, lalu menangkup wajah adiknya dengan tangan yang kuat. “Kenapa diam saja? Apa kau terlalu sombong sekarang? Jangan lupa, tanpa aku dan Ayah, kau tidak mungkin bisa berada di posisi setinggi ini.”

Camila mendongak, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang jarang ia tunjukkan. Ia menepis tangan Leon dengan kasar. “Posisi setinggi ini?” suaranya rendah, penuh emosi yang tertahan. “Ini bukan posisi tinggi, Kak. Ini neraka. Aku harus menikah dengan pria yang akan menyiksaku setiap hari. Apa itu yang kalian sebut kemewahan?”

Leon tersenyum miring, seolah tidak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan adiknya. “Kau harus sedikit berkorban, Camila. Aku dan Ayah sudah melakukan semuanya untuk memastikan kau diterima dalam keluarga Aryasena. Kau hanya perlu memainkan peranmu.”

“Sedikit berkorban?” Camila mendesis, suaranya mulai meninggi. “Kalian menyuruhku menyerahkan diriku pada pria seperti Victor, pria yang memukul dan mempermalukanku bahkan sebelum kami menikah. Bagaimana bisa kau bilang itu hanya sedikit pengorbanan?”

Leon mendekat, wajahnya berubah dingin. “Jaga nada bicaramu, Camila. Jangan lupa siapa yang sedang kau ajak bicara.”

Camila terdiam, tetapi matanya tetap menatap tajam pada Leon.

“Dengarkan aku,” Leon melanjutkan, suaranya sekarang lebih rendah, penuh ancaman. “Tugasmu adalah memastikan pernikahan ini berjalan dengan baik. Kau harus mencari tahu kelemahan keluarga Aryasena, sesuatu yang bisa kita gunakan untuk menguasai mereka. Ini bukan hanya tentang kau, tapi tentang keluarga kita.”

“Kelemahan?” Camila menyeringai pahit. “Mereka adalah keluarga mafia yang terkenal ambisius dan sadis. Kau pikir mereka punya kelemahan? Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, Kak.”

Leon mengetukkan jarinya di dagu Camila, memaksanya menatap matanya. “Jangan pernah bilang tidak. Semua orang punya kelemahan. Dan kau, Camila, akan menemukannya. Kalau tidak, jangan harap kau akan hidup tenang.”

Camila menepis tangannya lagi, rasa muaknya memuncak. “Hidup tenang? Aku sudah di neraka, Kak. Victor adalah iblis, dan kalian menyerahkan aku padanya tanpa sedikit pun peduli.”

Leon menyeringai dingin. “Kalau kau pikir hidupmu dengan Victor adalah neraka, tunggu sampai kau gagal memenuhi tugasmu. Aku akan memastikan nerakamu di sini jauh lebih kejam.”

Camila merasakan tubuhnya bergetar. Ancaman itu terdengar begitu nyata, tetapi ia tidak ingin memberikan kepuasan kepada Leon untuk melihatnya takut.

Leon melangkah mundur, ekspresinya kembali dingin seperti batu. “Ingat kata-kataku, Camila. Jangan kecewakan kami. Kalau tidak .…” Dia tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi tatapan matanya cukup untuk membuat Camila mengerti.

Setelah Leon pergi, Camila terduduk di lantai, tubuhnya lemas. Air mata yang selama tadi ia tahan akhirnya mengalir deras. Di antara dua neraka yang mengurungnya, ia merasa seperti boneka yang kehilangan nyawa, dipaksa bermain dalam permainan yang tidak pernah ia inginkan.

"Sampai kapan aku dijadikan boneka keluarga ini ...?" tanya Camila pada dirinya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   103. Berpaling

    Mentari sore mulai merunduk perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Victor. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan satu tangan mengusap pelipis, menyudahi rapat yang melelahkan. Di hadapannya, Raphael berdiri sambil merapikan berkas-berkas yang baru saja selesai dibahas.“Jadi … hanya itu yang aku bisa kerjakan hari ini?” tanya Victor santai, meski nada suaranya menggoda dan sedikit menantang.Raphael menatap Victor dengan alis terangkat. “Tuan sudah selesai. Berkas-berkas sudah ditandatangani, laporan sudah kuperiksa ulang. Tidak ada yang tersisa untuk hari ini, Tuan.”Victor tertawa pelan sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Bagus. Karena aku sudah tidak sabar ingin pulang.”Raphael mengangguk mengerti. “Nyonya Camila, ya?”Victor hanya tersenyum, tapi dari matanya, jelas terpancar kerinduan. “Kau tahu sendiri bagaimana Camila akhir-akhir ini. Masih sedikit terganggu sejak William datang bersama Elena. Aku harus c

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   102. Dicintai

    Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   101. Selir

    Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   100. Ambisi yang Menghancurkan

    Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   99. Tak Tergoyahkan

    Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   98. Bayangan Masa Lalu

    Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   97. Satu-satunya

    Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   96. Kejatuhan Sempurna

    Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   95. Tempat Pulang

    Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status