Home / Romansa / Boneka Tawanan Sang Penguasa / 3. Selamat Datang di Neraka

Share

3. Selamat Datang di Neraka

Author: AeStar's Ruby
last update Last Updated: 2025-02-12 12:22:50

Bunyi roda koper yang menyeret lantai marmer memenuhi ruang tamu megah itu, menggema di antara dinding-dinding besar yang dipenuhi lukisan keluarga. Camila menggenggam erat pegangan koper hitamnya, wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan ribuan perasaan yang sulit dijelaskan. Langkahnya mantap menuju pintu, namun suara berat yang sudah ia kenal sepanjang hidupnya menghentikan gerakannya.

"Camila!" Damien memanggil dengan nada keras, penuh wibawa, seperti seorang raja yang tak bisa dibantah. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau harus pergi malam ini? Bukankah ini malam pertama pernikahanmu dengan Victor?"

Camila berhenti, namun tidak menoleh. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi suaranya keluar dengan nada datar yang menantang. "Malam pertama itu sudah tidak ada artinya lagi, Ayah."

Kening Damien berkerut dalam. Ia berjalan mendekat, suaranya melemah namun penuh ketegasan. "Apa maksudmu? Kamar pengantin sudah dihias sedemikian rupa. Semuanya sempurna. Ini adalah awal baru untukmu, untuk keluarga kita."

Camila akhirnya berbalik, menatap ayahnya dengan mata penuh kebencian yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun. "Sempurna? Apa Ayah lupa? Malam pertama itu sudah tidak ada sejak Ayah membiarkan Victor masuk ke kamarku sesuka hatinya. Ayah yang menyerahkan aku kepadanya jauh sebelum ini."

Damien tersentak. Kata-kata Camila menghujam seperti belati yang memotong harga dirinya sebagai seorang ayah. Namun, ia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Sebaliknya, wajahnya mengeras, rahangnya mengatup. "Camila, sampai kapan kau akan terus mengungkit hal itu? Semuanya sudah terjadi. Dan kau tidak akan pernah menjadi nona muda Aryasena jika bukan karena aku."

Camila menelan ludah, merasa tubuhnya gemetar oleh emosi yang bergejolak. Kata-kata ayahnya itu, kata-kata penuh penegasan bahwa hidupnya adalah utang, membuatnya teringat pada kakaknya. Lelaki itu selalu mengatakan hal yang sama, bahwa ia harus bersyukur karena mereka telah memberinya kehidupan yang lebih dari cukup.

"Ayah selalu bilang aku harus berterima kasih, tapi apa Ayah pernah bertanya apa yang aku rasakan? Pernahkah Ayah peduli dengan kehormatanku? Tidak, Ayah hanya peduli pada nama Wibisana," balas Camila dengan suara yang semakin meninggi.

Damien menatap putrinya dengan penuh amarah. "Jaga bicaramu, Camila! Kau tidak tahu apa yang aku korbankan untuk memastikan kau mendapatkan tempat di keluarga Victor."

Camila mendengus, tawanya penuh sindiran. "Apa yang Ayah korbankan? Harga diriku? Hidupku? Itu bukan pengorbanan, Ayah, itu penjualan!"

Damien melangkah maju, meraih lengan Camila dengan keras. "Kau tidak ke mana-mana malam ini. Kau akan tetap di sini sampai Victor datang menjemputmu."

Camila menepis tangan ayahnya dengan kasar. "Victor tidak akan datang, Ayah. Dia tidak ingin menjemputku. Dia hanya menunggu aku menyerahkan diriku padanya di rumahnya. Seperti biasa, bukan? Itu yang Ayah katakan padanya, bahwa aku ini hanya barang yang bisa dia atur sesuka hati."

Damien terlihat semakin geram, namun ada sesuatu di matanya yang retak, seperti batu besar yang mulai retak di tengah tekanan. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, Camila sudah menarik kopernya dan melangkah menuju pintu.

"Camila! Aku bertanya sekali lagi, ke mana kau akan pergi?" suara Damien terdengar putus asa, hampir seperti permohonan.

Camila berhenti di ambang pintu, menoleh sebentar. "Ke tempat di mana Victor menginginkanku. Ke rumah Aryasena, untuk menyerahkan diri pada suamiku." Suaranya dingin, tanpa emosi, tapi setiap kata itu adalah tamparan keras bagi Damien.

Pintu besar itu tertutup dengan keras, meninggalkan Damien berdiri sendirian di ruang tamu yang tiba-tiba terasa begitu kosong. Ia menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk—antara marah, terluka, dan sedikit penyesalan yang tidak akan pernah ia akui.

***

Kediaman Aryasena yang megah berdiri dengan angkuh di tengah taman yang luas dan sepi, memancarkan aura kekuasaan yang tak tertandingi.

Di dalam ruang kerja yang besar dan penuh dengan rak-rak buku antik, Julian Aryasena duduk di kursinya yang tinggi, menghadap putranya, Victor.

Wajah Julian terlihat tenang, namun matanya menyimpan ketajaman seorang pria yang telah menghabiskan hidupnya memimpin keluarga dengan tangan besi.

Victor berdiri di dekat jendela besar, menatap keluar ke arah taman yang gelap. Dia menggenggam gelas anggur di tangannya, tapi tidak sedikit pun menyentuh isinya. Hawa di ruangan itu begitu tegang, seperti percakapan mereka adalah perang tanpa senjata.

"Kasus Selena masih menggantung." Julian membuka pembicaraan dengan nada dingin. "Tidak ada bukti lebih lanjut, Victor. Tidak ada jasad. Hanya potongan pakaian robek dan darah Selena yang ditemukan di tempat terakhir dia terlihat."

Victor mendengus pelan, menolehkan pandangannya ke arah ayahnya.

"Tentu saja tidak akan ada bukti lebih lanjut, Ayah. Keluarga Wibisana tidak meninggalkan jejak sama sekali. Mereka pintar dalam menyingkirkan semuanya, memastikan Camila bisa menjadi istriku tanpa ada penghalang."

Nada suara Victor penuh kebencian, seolah-olah setiap kata adalah tuduhan yang langsung menusuk keluarga Wibisana. Matanya memancarkan api dendam yang tak kunjung padam sejak hilangnya Selena.

Julian mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kayu di depannya, berusaha tetap tenang. "Victor, kau terlalu cepat menyimpulkan. Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Tidak ada keuntungan bagi kita jika kau bertindak terlalu kejam pada Camila. Ingat, dia sekarang adalah bagian dari keluarga kita. Kau harus bisa menahan diri sampai bukti nyata ditemukan."

Victor mendekati meja, menaruh gelas anggur itu dengan keras. "Ayah tidak mengerti. Aku tidak perlu bukti untuk tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini. Hanya ada satu keluarga yang memiliki motif, kekuatan, dan kecerdikan untuk menghilangkan Selena seperti ini. Keluarga Wibisana."

Julian menghela napas berat, mencoba meredam emosi putranya. "Kau bisa yakin sesuka hatimu, Victor. Tapi dunia tidak bekerja hanya berdasarkan keyakinan. Kita harus berhati-hati. Tuduhan tanpa dasar hanya akan merusak posisi dan reputasi kita."

Sebelum Victor sempat membalas, pintu ruang kerja terbuka perlahan, membuat keduanya menoleh. Sesosok wanita tua masuk ke dalam ruangan, memegang boneka lusuh di tangannya. Penampilannya acak-acakan, dengan rambut kusut yang menjuntai hingga ke bahunya. Bajunya terlihat kusam dan sedikit terlalu besar untuk tubuh kurusnya.

Wanita itu menatap Victor dengan mata yang kosong namun penuh tuntutan. "Victor," suaranya serak, nyaris seperti bisikan. "Di mana boneka yang kau janjikan akan sampai?"

Victor berdiri diam, wajahnya berubah sedikit lebih lembut. Ia tidak menunjukkan amarah atau kejengkelan seperti sebelumnya. "Sebentar lagi," jawabnya dengan nada rendah. "Boneka itu akan segera sampai dalam beberapa menit."

Julian berdiri dari kursinya, berjalan mendekati wanita itu. "Sophia, kembali ke kamarmu. Akan ada tamu sebentar lagi. Kau tidak boleh ada di sini," katanya dengan nada tegas, namun tidak terlalu kasar.

Wanita itu tidak merespons Julian. Matanya tetap terpaku pada Victor, seolah dia satu-satunya orang yang bisa ia percayai. Setelah beberapa detik, Sophia akhirnya mengangguk pelan dan berbalik menuju pintu, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata lagi.

Setelah pintu tertutup, Julian menatap Victor dengan tatapan penuh makna. "Kau terlalu memanjakannya, Victor. Sophia seharusnya tidak ada di sini, apalagi dengan keadaannya yang seperti itu."

Victor hanya mengangkat bahu. "Dia tidak menyusahkan siapa pun. Lagipula, kita tidak bisa begitu saja mengabaikannya."

Julian mendesah, mengusap wajahnya. "Kita sudah cukup banyak masalah, Victor. Jangan tambahkan lagi dengan hal-hal yang tidak perlu."

Victor kembali menatap ke luar jendela, ekspresinya berubah menjadi dingin. "Ayah, masalah sebenarnya bukan Ibu. Tidak masalah aku menjadikan Camila sebagai boneka untuk Ibu."

***

Langit malam di atas kediaman Aryasena tampak gelap pekat, hanya diterangi cahaya bulan yang samar-samar terhalang awan. Camila berdiri di depan gerbang besar yang terbuat dari besi hitam berornamen rumit.

Di balik gerbang itu, terlihat bangunan megah dan mencekam. Setiap jengkal dari tempat itu membuat bulu kuduknya merinding.

Tangannya yang menggenggam pegangan koper sedikit bergetar, tapi ia memaksakan dirinya untuk melangkah lebih dekat. Namun, sebelum kakinya mencapai gerbang, suara keras dan dingin menghentikannya.

"Berhenti di sana!"

Camila tersentak ketika seorang penjaga muncul dari bayangan, mengenakan seragam hitam dengan senjata yang terangkat, langsung diarahkan padanya. Laras pistol itu mengarah tepat ke dadanya, membuat tubuhnya membeku.

"Siapa kau? Apa tujuanmu di sini?" suara penjaga itu dingin, tanpa emosi.

Camila menelan ludah, mencoba meredakan rasa paniknya. Ia mengangkat tangan sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak memiliki niat buruk. "Aku … aku Camila Wibisana. Aku istri Victor Aryasena," jawabnya dengan suara yang hampir bergetar.

Penjaga itu menyipitkan mata, tampaknya tidak percaya begitu saja. "Buktikan. Berikan alasan kenapa aku harus percaya padamu."

Camila dengan cepat melepas cincin pernikahannya. Ia mengangkat cincin itu, memperlihatkan ukiran lambang keluarga Aryasena di bagian dalamnya. "Ini cincin pernikahan kami. Lambang keluarga Aryasena ada di sini. Aku tidak berbohong."

Penjaga itu memperhatikan cincin itu dengan seksama, lalu akhirnya menurunkan senjatanya. "Baiklah. Kau bisa masuk. Tapi ingat, kami akan selalu mengawasi."

Camila mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, kemudian menyeret kopernya melewati gerbang yang terbuka perlahan. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada ribuan mata yang mengawasinya dari kegelapan.

Ketika ia akhirnya sampai di pintu utama yang besar dan menjulang, tangannya ragu-ragu memegang gagang pintu. Baru saja ia ingin membukanya, pintu itu tiba-tiba terbuka dari dalam, memperlihatkan Victor yang berdiri di sana.

Pria itu mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dihiasi seringai dingin yang membuat darah Camila hampir membeku. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara kesenangan dan ancaman.

"Selamat datang," kata Victor, suaranya rendah namun tajam. "Masuklah, Camila. Aku sudah menunggumu."

Camila tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menundukkan kepalanya sedikit dan melangkah masuk. Victor berjalan di depannya tanpa menoleh, memintanya untuk mengikutinya dengan isyarat tangan. Camila menyeret kopernya, mencoba mengimbangi langkah cepat Victor di lorong panjang yang terasa seperti labirin.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah pintu besar yang terukir indah. Victor berhenti, memutar tubuhnya, dan menatap Camila. Kemudian, tanpa peringatan, ia menarik tangan Camila dengan kasar, membuat tubuh wanita itu terhuyung ke depan.

Victor membuka pintu itu, memperlihatkan kamar yang luar biasa mewah. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilauan.

Tempat tidur raksasa dengan kain sutra putih bersih berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh furnitur berukir yang mahal. Segalanya terlihat sempurna, namun hawa dingin dan keheningan yang mencekam membuat keindahan itu terasa seperti jebakan.

Victor mendorong tubuh Camila hingga ia berada di posisi depan, membuat wanita itu menatap langsung ke dalam kamar. Ia kemudian meletakkan kedua tangannya di bahu Camila, memegangnya dengan erat. Camila bisa merasakan napas Victor yang hangat namun penuh ancaman di telinganya.

"Selamat datang," bisik Victor, suaranya rendah namun menembus hingga tulang. "Selamat datang di neraka yang akan kau hadapi, Camila."

Camila terdiam, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya dipenuhi dengan ketakutan dan pertanyaan. Apa yang sebenarnya menunggunya di tempat ini?

Victor melepaskan tangannya dari bahu Camila, melangkah menjauh sambil tetap menyeringai. "Istirahatlah, Camila. Besok, semuanya akan dimulai."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   103. Berpaling

    Mentari sore mulai merunduk perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Victor. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan satu tangan mengusap pelipis, menyudahi rapat yang melelahkan. Di hadapannya, Raphael berdiri sambil merapikan berkas-berkas yang baru saja selesai dibahas.“Jadi … hanya itu yang aku bisa kerjakan hari ini?” tanya Victor santai, meski nada suaranya menggoda dan sedikit menantang.Raphael menatap Victor dengan alis terangkat. “Tuan sudah selesai. Berkas-berkas sudah ditandatangani, laporan sudah kuperiksa ulang. Tidak ada yang tersisa untuk hari ini, Tuan.”Victor tertawa pelan sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Bagus. Karena aku sudah tidak sabar ingin pulang.”Raphael mengangguk mengerti. “Nyonya Camila, ya?”Victor hanya tersenyum, tapi dari matanya, jelas terpancar kerinduan. “Kau tahu sendiri bagaimana Camila akhir-akhir ini. Masih sedikit terganggu sejak William datang bersama Elena. Aku harus c

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   102. Dicintai

    Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   101. Selir

    Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   100. Ambisi yang Menghancurkan

    Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   99. Tak Tergoyahkan

    Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   98. Bayangan Masa Lalu

    Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   97. Satu-satunya

    Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   96. Kejatuhan Sempurna

    Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   95. Tempat Pulang

    Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status