Home / Romansa / Bos Arogan Itu Ayah Anakku / Bab 5. Situasi rumit

Share

Bab 5. Situasi rumit

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2024-12-08 09:59:35

Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. 

Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. 

Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. 

Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. 

“Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” 

Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” 

Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” 

Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen di tangannya. Namun, kata-kata Chintya tadi membuat dadanya terasa sesak. Matanya mencuri pandang ke arah mereka, dan hatinya semakin kacau. 

‘Jadi, dia sudah punya wanita lain,’ pikir Anya, sambil mencoba menekan rasa pahit yang muncul di dadanya. 

Ia berusaha keras untuk tidak terlihat terganggu, tetapi sulit rasanya mengabaikan semua itu.  

‘Pantas saja selama ini dia tidak pernah mencari keberadaanku.’ Anya tersenyum kecut mengingat fakta itu. 

Mungkin bagi Evan, malam lima tahun lalu itu tidak berarti apa-apa. Dia bahkan mungkin tidak tahu, buah kejadian malam itu adalah seorang anak lucu yang Anya cintai sepenuh hati.

‘Aku akan tanggung jawab kalau kamu sampai hamil, Anya.'

Omong kosong! Ucapan Evan itu akan selalu menjadi pengingat untuk Anya, tentang kebodohan dan keluguannya yang memberikan mahkotanya yang paling berharga kepada seorang pria brengsek.

“Sial, kenapa aku selalu mengingat itu sih?” gerutu Anya yang jadi kesal sendiri. “Seharusnya aku tidak bodoh dan tidak tidur dengannya, kalau ujung-ujungnya ….” Dada Anya jadi sesak, membuat ia memutuskan untuk melupakannya sejenak. “Aku harus fokus, karena tujuan utamaku kini mencari uang untuk Kenzo.”

Anya memutuskan mengabaikan apa yang ada di depan mata, ketika Chintya akhirnya keluar dari ruangan dengan langkah gemulai, Evan mengarahkan tatapannya pada Anya. 

“Kamu kenapa?” tanyanya tiba-tiba, suaranya tenang tetapi nadanya tajam. 

Anya mengangkat wajahnya, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Tidak ada apa-apa, Pak.” 

“Benarkah?” Evan berjalan mendekat, pandangannya menusuk. “Kamu terlihat... marah. Apa interaksi tadi mengganggumu?” 

Anya tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Evan akan begitu langsung menyinggung hal tersebut. 

Namun, ia segera menguasai dirinya dan menjawab dengan nada tegas, “Saya rasa itu bukan urusan saya, Pak. Saya di sini untuk bekerja, jadi sebaiknya kita fokus pada pekerjaan saja.” 

Evan mengangkat alisnya sedikit, seperti terkejut dengan jawaban Anya. Namun, alih-alih melanjutkan pembicaraan, ia hanya mengangguk sambil tersenyum miring. 

“Baik. Kalau begitu, kita kembali ke topik utama.” 

Suasana di antara mereka tetap tegang, seolah ada sesuatu yang ditahan oleh keduanya. Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut, pintu ruangan terbuka sedikit. 

Chintya berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya ke pintu dengan senyuman kecil. “Aku lupa mengambil dompetku,” ucapnya ringan. Namun, matanya dengan jelas memindai wajah Anya, penuh kecurigaan. 

Anya hanya menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. Wanita itu mengambil dompetnya dari meja Evan, lalu melirik Anya sekali lagi sebelum pergi. 

Evan tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia jelas merasakan suasana yang tidak nyaman. Setelah Chintya benar-benar pergi, ia kembali fokus pada pekerjaannya. 

___

Anya menghela napas panjang ketika ia akhirnya tiba di rumah. Kontrakan kecil itu terasa seperti pelarian dari segala ketegangan yang ia alami sepanjang hari. Ia melepaskan sepatunya dan berjalan ke ruang tamu, di mana ibunya sedang duduk bersama Kenzo. 

“Sudah pulang, Nak?” tanya Sarah sambil tersenyum. 

Anya mengangguk, lalu duduk di sebelah ibunya. “Iya, Bu. Maaf agak terlambat. Bagaimana hari ini?” 

“Baik. Kenzo sangat bersemangat bercerita tentang sekolahnya,” jawab Sarah. 

Anya menoleh ke arah anaknya, yang sedang asyik bermain dengan mainan kecil di lantai. “Kenzo, sini,” panggilnya lembut. 

Kenzo berlari kecil ke pelukan Anya. “Ma, sekolah tadi seru banget!” 

Anya tersenyum mendengar antusiasme anaknya. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika Kenzo tiba-tiba menatapnya dengan serius. 

“Ma, aku mau tanya sesuatu,” katanya pelan. 

“Apa, Nak?” 

“Di mana Ayahku?” 

Pertanyaan itu menghantam Anya seperti petir. Ia tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?” 

“Tadi di sekolah, teman-temanku bilang aku nggak punya Ayah. Mereka bilang aku aneh,” jawab Kenzo dengan polos, tetapi suaranya terdengar sedih. 

Anya merasakan matanya mulai panas. Ia menarik Kenzo lebih dekat dan memeluknya erat. “Jangan dengarkan mereka, Nak. Kamu anak yang hebat, dan Ibu selalu ada untukmu.” 

“Tapi aku ingin tahu, Ma,” desak Kenzo. “Kenapa aku tidak punya Ayah?”

Anya terdiam, tidak bisa memberikan jawaban. Di sudut ruangan, Sarah menatap mereka dengan tatapan penuh belas kasih, tetapi ia tidak ikut campur. 

Saat suasana semakin hening, ponsel Anya tiba-tiba berdering. Ia menghela napas dan mengambil ponselnya dari dalam tas. 

Nomor tak dikenal. 

Anya ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab. “Halo?” 

Suara di ujung telepon membuat tubuhnya menegang. “Ini aku.” 

Suara itu dingin, tetapi jelas. 

Itu Evan. 

Anya merasakan darahnya berdesir. Ia tidak tahu harus menjawab apa. 

“Besok pagi, datang ke ruanganku. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan,” lanjut Evan tanpa basa-basi. 

Anya menggenggam ponselnya erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya. “Baik, Pak.” 

Telepon terputus, tetapi pikiran Anya justru semakin berputar. Ada apa sebenarnya? Apa yang ingin Evan bicarakan dengannya? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 118

    Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 117

    Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 116. Ganguan dari istri sah mantan

    Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 115. Nenek sihir

    Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 114

    Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 113

    Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status