Tiba-tiba terdengar ponselku yang berdering di dalam tas kecil yang kuletakkan di atas meja, aku mengambil benda tersebut dan mendapati nama Haikal ada di dalamnya. Sebuah pesan masuk. Haikal : “Viv, bisa menemaniku sekarang? Lesta mogok makan, katanya mau makan kalau ada kakak bidadari.”Pupil mataku membulat, aku harus jawab apa? “Viv, ada apa?” tanya Rey yang sepetinya menyadari kebimbanganku.“Gak ada. Sorry!”Aku mengambil tisu yang terletak tak jauh dari tas, dan mengelap bibir lelaki yang terlihat memniru itu, hingga sesaat kemudian petugas kebersihan datang, membersihkan muntahan di kamar Rey. “Maaf ya, merepotkan, Bu!” ucapkan pada salah seorang cleaning service yang masuk. “Tidak apa-apa “Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja petugas tersebut menyelesaikan tugasnya, hingga kembali menyisakan aku dan Reynan dalam diam. “Viv!”“HM.”“Mikirin apa, Viv ? Dari tadi terlihat bengong.”“Iyakah? Maaf. Aku hanya kepikiran kantor. Aku lupa mengabari kepala cabang Bogor. Se
“Iya.”Kembali kulihat wajah Reynan yang tengah tertidur, mungkin sebentar lagi juga Indra akan datang. Dan aku bisa menjenguk Lesta meskipun sebentar, setidaknya sampai ia mau kembali makan.“Aku ke sana sekarang.”“Tidak usah, Viv. Nanti Lesta juga mau makan kembali.”“Tidak. Lesta gak akan mau makan. Lesta mogok makan sampai kakak bidadari datang. Kenapa kakak bidadari tidak mau kesini, Kak? Apa Lesta punya salah?.”Lagi-lagi aku tak kuasa mendengar pernyataan itu. “Aku ke sana sekarang.”“Tunggu. Aku jemput kamu!”“Baiklah.”Aku menyebutkan nama rumah sakit ini sebelum aku mematikan panggilan. Kembali kutatap wajah Rey yang masih terlelap, kututup tubuhnya mengenakan selimut hingga ke dadanya. Lagi-lagi aku kembali diperlihatkan dengan kenangan masa lalu. Reynan datang ke kamar menjengukku dengan wajah panik, ia terus mengompres kepalaku dan terus mengecek suhuku tiap 10 menit. Ibu yang saat itu datang dengan membawa nampan dengan 2 teh hangat dan cemilan tengah tersenyum menata
“Kakak nikahnya kapan? Lesta mau jadi bridesmaid nya? Satu Minggu lagi? Atau dua Minggu lagi?” tanyanya dengan mata yang berbinar. Deg. Kenapa aku tak pernah berpikir sejauh ini?“Eh, eh, kenapa wajahnya terlihat tegang semua ni? Lagi ngebahas apa?” tanya Haikal yang kini masuk ke kamar Lesta. “Gak apa-apa, Kak. Cuman tanya kapan kalian nikah.”Terlihat jakun Haikal yang bergerak ke atas dan ke bawah, menelan salivanya kasar. “Kok ngomongin itu, Dek?”“Iya, Kak. Kan Lesta pengen punya Kakak perempuan. Bosen sama kak Haikal terus yang gak pernah mandi.”“Kenapa lagi-lagi nurunin pasar kakak terus?” tanya lelaki itu sambil mencubit gemas hidung adiknya. “Kan kakak dah laku, ngapain mesti dipasarin lagi.” Lesta terkekeh, sedangkan aku dan Haikal hanya saling menatap, bingung dengan kedepannya akan sepeti apa. “Tadi kakak sudah hubungi dokter. Katanya kamu sudah boleh pulang, asal -,” “Asal apa, Kak?”“Kamu jangan sampai telat minum obat.”“Yeay, asyik! Lesta bisa kumpul dengan Kak
“Rey, dari mu? Eh, maaf, Pak Rey ini dari bapak?” tanyaku tergugu.Jika di rumah mungkin aku bisa memposisikan diri sebagai teman, sahabat. Tapi di lingkungan kantor. Aku dan Reynan adalah bos dan staf. Lelaki itu mengangguk. “Mungkin sekarang sudah tidak enak karena dingin.”Lelaki itu hendak mengambil wadah, hingga secepat kilat aku menahannya. “Aku lapar. Bolehkah aku memakannya?” “Kamu sudah makan, tidak perlu lakukan itu.”Aku kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, ya, Pak Reynan menghubungiku via pesan dan memintaku untuk makan bersama, aku tak mengindahkan dan lebih memilih pergi sebelum Reynan keluar dari ruangan. Mengingat pesan dari Lesta yang saat ini menjadi salah satu prioritasku. “Aku belum makan,” ucapku sambil menarik wadah itu. Membukanya dan menatap makanan yang disajikan. Sebuah nasi beserta orek tempe, begitupun dengan ayam goreng dan beberapa macam sayur menjadi fokusku. Makanan yang begitu Kusuka, apalagi buatan dari Reynan. Lelaki yang berhasil
“Aku tak akan melakukannya, sebelum hubungan kita memang sudah jelas, Viv!” Aku tersenyum bangga. Lebih tepatnya bangga beserta rasa malu. Ya, aku bangga Reynan adalah sosok yang mampu mengendalikan nafsunya, tapi malu sendiri ketika aku mendapati diriku yang justru berkebalikan dari sifat Reynan. “Aku hanya mengantuk. Jadi aku terpejam,” sanggahku, meskipun aku yakin jawaban ini sama sekali tak masuk ke dalam logika. Reynan tersenyum tipis, tak memperpanjang masalah , terus membahas hal ini akan menghadirkan rasa malu yang besar kepada diriku, hingga sepertinya Reynan tampak enggan, lebih memilih menatapku dengan sorot mata teduh nan dalam. Dari sorot mata itu, aku seperti masuk ke dalam hatinya, rasa cinta, rasa rindu, yang terasa tertahan dengan rasa minder tak percaya diri. Menunggu ungkapan cinta dari bibirku untuk memastikan, dan barulah sedikit melangkah ke depan. Sepeti itulah aku memahami mata indah itu. “Rey, eh maaf, pak Reynan.”“Ya.”“Sepertinya aku harus jujur sekar
Apakah benar ini alasan Indra terus memintaku membujuk Reynan istirahat dari kerjanya? Semua hanya akal-akalan Indra? Lalu tentang penyakit Reynan, apa ia juga berdusta?Aku mendekat, mengelus rambut hitam itu. “Semua sudah takdir, dan anda tak boleh menyerah, Pak! Bapak bisa, seorang Reynan adalah lelaki yang kuat.”Tak ada jawaban, hanya terdengar isak tangis di dalamnya, aku yakin sekali, kali ini Reynan benar-benar terluka. Lelaki seperti ia, jika sudah terlanjur mencintai seseorang, ia akan terus mencintai orang tersebut tanpa peduli perlakuannya. Begitupun kepercayaan, jika ia mempercayai seseorang, ia pasti tak akan tanggung-tanggung dan menyerahkan semua rasa percaya itu. “Semua yang berlalu, biarlah berlalu. Sekarang bangkit, dan kembali menata masa depan,” ucapku yang sok bijak. Andai aku di posisi lelaki ini, akupun tak yakin bisa setegar dengan kalimat yang baru saja aku ucap. Lelaki itu bangun, meraih tangan yang membelai rambutnya, digenggamnya tanganku itu dengan ked
“Ya, aku mau. Dan aku ingin kamu mengambil semua hak mu untuk membahagiakanku.”Lelaki itu mencubit gemas hidung mancungku. “Kamu itu matre sekali, apa kamu benar-benar akan meninggalkanku jika aku jatuh miskin?” ucapnya sambil terkekeh. “Jika aku ada di dekatmu. Tak akan kubiarkan kamu kembali miskin.”Lelaki itu tersenyum. “Bukankah kamu ingin membahagiakanku? Aku tak akan bisa bahagia jika tak ada materi di sekitarku,” ucapku. Kali ini aku berpikir untuk realitis, bukan karena aku matre atau terlalu mendewakan uang. Tapi bagaimanapun, uang memang dibutuhkan. Banyak pernikahan gagal karena uang, banyak hubungan ayah ibu rusak juga karena uang, dan aku tak ingin semua itu terjadi, ditambah lagi, aku tak ingin anak-anakku kelak akan mengalami kesedihan sepertiku, bahkan hampir rela menjual dirinya karena uang. Lelaki itu tersenyum dan kembali membenamkanku ke dalam pelukannya, dikecupnya ujung kepalaku dengan tangan yang terus membelai lembut rambut panjangku. “Aku akan mengambil
“Indra,” ucapku lirih.Lelaki itu membungkuk hormat . “Maaf, boleh saya masuk, Pak?’“Silahkan. Aku memang sudah menunggumu.”Lelaki itu berlalu melewatiku begitu saja, seakan tak pernah mengenalku sama sekali. Ia duduk di depan Reynan, dan aku berlalu meninggalkan.Kulirik jam yang melingkari lenganku, waktu telah menunjukkan jam istirahat, dan hari ini aku telah memiliki janji kepada Haikal. Mengajak Lesta jalan-jalan ke taman. Kuraih ponsel di sakuku, dan kudapati pesan masuk dari Haikal.“Aku sudah di parkiran, Viv.” Pesan yang masuk 15 menit lalu, seperti itulah ia, tak lagi mengabariku dan memilih menunggu.Aku mengambil tas kecil di atas meja, lalu berlalu turun menuruni anak tangga, di jam istirahat seperti ini, rasanya tak memungkinkan jika harus mengenakan lift, terlalu malas untuk menunggu, apalagi saat ini ada yang menantiku 15 menit yang lalu. Kupercepat langkahku sambil mengabari Haikal jika aku segera tiba.Mataku tertuju kepada mobiil sedan hitam milik Haikal, seoran