Dengan batin yang terus bertanya, aku kembali masuk ke ruangan pesta, namun semua sudah sepi, hanya tampak beberapa orang saja. Apa yang terjadi? Pernikahan batalkah?Dua bola mataku terus menyusuri seisi ruangan, mencari keberadaan lelaki bertubuh sedikit berisi yang berangkat bersamaku. Namun, ekor mataku menangkap lelaki bermata biru yang hutang banyak penjelasan kepadaku.“Indra,” teriakku kepada lelaki di sudut ruangan, tengah mengobrol kepada seseorang. Ia sedikit menoleh ke arahku, hingga terlihat panik dan bergegas pergi meninggalkan ruangan. Aku tak tinggal diam, mempercepat langkah untuk mengejarnya, hingga sepatu hak tinggi yang kukenakan membuatku tergelincir dan hampir terjatuh.“Viv, lain kali hati-hati.”Aku menoleh kearah suara yang mebantuku, lelaki bertubuh berisi itu menatapku dengan serius.“Kamu dari mana, Viv? Dari tadi aku mencarimu.”Mataku masih menatap kearah pintu sisi satunya, tempat dimana indra meninggalkan ruangan ini.“Itu … tadi, indra kan?”“Indra
“Hal lain? Apa maksudmu?” tanyaku yang kini menoleh ke arahnya, memusatkan pandangan tajam ke arah lelaki berpakaian jas itu. “Sebenarnya -,”Belum sempat Haikal menjelaskan sedikitpun, waktu kembali tak berpihak kepadaku. “Kak Haikal ada tamu,” teriak Lesta dari balik pintu kamar. “Siapa?”“Om Gunawan.”“Iya, aku segera turun.”“Viv, pembicaraan kita dibahas lain kali saja ya.”Lelaki itu meninggalkan kamar begitu saja. Dan ketika aku masuk ke kamar, barulah menyadari ponsel milik Haikal terletak di atas kasur. Aku mendekat, menatap benda pipih milik suamiku. Tanpa pikir panjang kuambil benda yang menampakkan foto ku itu, langsung masuk ke dalam pesannya. Hingga nama Indra ada berada barisan chat bagian atas. Haikal : “Ini bukti transfernya.”Haikal menyertakan gambar transaksi pengiriman uang dari rekening namanya ke nama Indra, dengan nominal yang begitu fantastis. Indra : “Siap, Bos. Senang bekerja sama dengan anda.”Aku terdiam, mencerna chat dari mereka. Itu artinya ..
“Kakak, maaf jika harus mengagetkanmu,” ucap Lesta sambil mendekatkan gelas bening yang berisi air putih. Aku meneguknya, dan mencoba tenang.“Itu dulu, Kak, mungkin sekarang juga om gunawan sudah berubah. Kan papa juga sudah meninggal, gak ada yang memintanya untuk membunuh seseorah.”Wanita di depanku tampak tersenyum tipis, seperti tak ada masalah di depannya.Sedangkan aku, kini diliputi dengan rasa cemas. Apa haikal akan melakukan sesuatu kepada reynan? Apa ia akan menyakitinya?“Kak Vivian, kenapa bengong? Kakak masih kepikiran ucapan lesta ya? Maaf, lesta gak berniat seperti itu."“Ti-tidak, Les.”Seharian ini aku tak bisa tenang, pikiranku terus berkecamuk dengan kondisi reynan. Jika benar filingku, haikal telah menyewa om gunawan dan bersekongkol dnegan indra yang notabene nya adalah keluarga reynan, lelaki bermata biru itu pasti tahu sekali kesehaian rey itu seperti apa, dan disaat yang tepat, om gunawan akan menghabisi nyawa reynan. Serigala berbulu domba, seperti itulah pe
Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan kamar hendak berlalu, hingga teriakan atas namaku itu terdengar dan aku menghentikan Langkah.“Nona Vivian mau kemana?”“Ke kantor Haikal.”“Tuan berpesan, untuk mengantar nona kemanapun.”“Baiklah, cepat antar aku.”Aku menunggu di depan gerbang, hingga sebuah mobil berwarna putih itu mendekat, bergegas aku masuk ke dalamnya, dan meminta lajunya untuk dipercepat.“Pak Tejo, bisa tidak jika laju mobilnya dipercepat?”Aku menatap speedometer yang maksimal hanya mencapai di 60km/jam, tak pernah lebih dari itu.“Maaf, Nona. Saya tidak berani. Tuan berpesan untuk membawa nona dengan berhati-hati, gak boleh ngebut.”“Tapi, pak, ini tentang nyawa seseorang.”“ini juga tentang nyawa saya, Bu, kepala saya jadi taruhannya. Saya gak berani.”Lagi-lagi pak Tejo mengelak, hingga kendaraan roda empat ini berjalan layaknya siput dengan kaki yang tertusuk jarum, begitu lambat.Bayangan reynan yang bersimbah darah, terus saja membuatku ketakutan, hingga hampir se
“Om Gunawan,” ucapku lirih.Lelaki itu tampak menoleh, menatapku datar dan kembali focus menatap ke depan. Terlihat dingin dan misterius, hingga kusadari, sebuah gagang pistol terlihat di saku celana, bersamaan dengan telapak tangan yang masuk ke saku itu. sedetik kemudian bayangannya mulai lenyap bersamaan pintu lift yang tertutup.Tubuhku mengeluarkan keringat dingin, rasanya lemas, seluruh tenaga seperti luruh, hingga sekedar melangkah terasa berat. Aku pikir seorang mafia kejam yang tega menghabisi nyawa orang lain hanyalah sebatas film action dan cerita thriller, tapi kali ini, aku benar-benar melihat ia, meskipun tidak dnegan aksinya. Tidak, tidak, aku harap sampai kapanpun tak akan pernah melihat aksinya.“Vivian ….” Seorang lelaki penghuni lanatai ini tengah menangkap tubuhku yang hendak ambruk, jika ia tak dataang tepat waktu, mungkin saja tubuh kurus ku ini telah menyentuh ke lantai dengan sempurna.“Viv, kamu baik-baik saja kan?” tanya haikal yang tampak khawatir denganku.
Lelaki itu tampak terdiam, tak berani membalas tatapanku, hanya menunduk, sepeti enggan memberikan penjelasan kepadaku. Bahkan sepertinya ia memang sengaja merahasiakan itu.“Eksekusi apa, haikal?” Kembali kuulang pertanyaan yang belum terjawab.“Kenapa butuh sekali jawaban itu, Viv?”“Yang aku butuhkan jawaban, haikal. Bukan dengan pertanyaan yang kembali kau lontarkan.”Lelaki itu masih menunduk, berjalan dengan sayu dan meraih tempat duduknya. “Ap aitu begitu penting?”“Tentu. Aku ingin tahu, apa yang lebih penting dariku, sehingga kamu lebih mementimgkan masalahmu. Bukankah katamu, aku adalah orang pertama yang akmu prioritaskan?”Lelaki yang sudah duduk sempurna itu menoleh ke arahku, menerbitkan senyuman yang lebar dnegan binar mata kebahagiaan. “Apa artinya kamu cemburu, Viv?”“aku tak butuh pertanyyan, Haikal. Yang aku butuhkan adalah jawaban.”“Maafkan aku, Viv.”“Maaf untuk ….?”“Kamu tak akan senang mendengar penjelasanku.”Deg. Bayangan tentang reynan kini kembali mengisi
“Kamu tahu dari mana, Viv?”“Itu tak penting haikal, yang aku butuhkan saat ini hanyalah jawaban darimu.”“Maafkan aku, semua itu tentang reynan.”Senyum miring terbit di bibirku, bersamaan dengan rasa sakit yang menyeruak di dadaku. Aku benar-benar tak menyangka dengan pikiran haikal yang terlalu cetek, dan menghalalkan segala cara. Ia ternyata tak sungguh-sungguh berubah.“Reynan …?”Lelaki itu mengangguk, hingga membuat ekspresiku mendadak berubah, begitu khawatir dengan keadaan lelaki yang masih saja duduk di tahta hatiku.“Dia baik, dan aku pastikan dia akan selalu baik-baik saja.”Aku terdiam, sama sekali belum bisa mencerna apa yang terjadi, hingga beberapa detik kemudian terdengar salam dan ketukan pintu dari luar.“Masuklah,” teriak Haikal.Seorang wanita dengan pakaian sexy dan tubuh sintal itu masuk ke dalam ruangan, mengenakan liptik merah menyala dan shadow warna terang.“Maaf, Pak, mengganggu. Saya hanya mengingatkan, rapat akan dimulai lima menit lagi, bapak sudah ditun
‘Ya Tuhan, apa ini adalah jebakan? Haikal meminta om gunawan menghabisi reynan sekarang?’Ketika kaki ini hendak melangkah, dering ponselku terdengar, tertulis nama haikal.“Viv, kamu dimana?” tanya haikal yang tampak khawatir.“Viv, dengar aku kan? Jawab aku sekarang. Kamu dimana?”“Vivian …!”Aku tak mempedulikan ucapan haikal, bahkan sama sekali tak menjawab panggilannya meskipun ponsel itu masih berada di dekat telingaku.“Viv, aku mohon, berlarilah zig zag, aku mohon, Viv,” ucapan itu berganti dengan isak tangis, hingga membuatku keheranan.“Viv, kamu masih mendengar aku kan, larilah, dengan jalan zig zag.”Aku masih tak mampu memahami, hingga tiba-tiba dari tangan om gunawan memperlihatkan pistol yang mengarah ke reynan. Seperti siap siaga untuk menunjukkan ahli dari lelaki berdarah dingin itu.Aku menggeleng, dan terus berteriak menyerukan nama lelaki yang masih duduk menatap danau, sepertinya ia sama sekali tak menyadari kedatanganku maupun kehadiran om gunawan yang mengancam