"Bapak gila!" teriak Leona sambil mendorong tubuh pria itu menjauh darinya.
Sementara si tampan Nathan hanya cekikikan melihat raut wajah ketakutan istrinya yang terlihat menggemaskan."Kalau bapak lapar ya makanlah! Bukannya malah menyuruh saya minum," sungut Leona dengan raut wajah kesal. Apa dia pikir dirinya adalah makanan lezat siap santap?'Menyebalkan, huh!'Nathan tersenyum tipis. Hal itu tentu membuat Leona bingung. Tidak seperti biasanya Nathan bersikap demikian. Mata Leona mengedar, mencari keberadaan Pak Dirga yang bahkan sudah setengah jam yang lalu tak kembali.Beberapa listrik juga sudah padam. Menyisakan satu lampu di ruangan yang sedang mereka tempati untuk makan malam bersama Nathan. Anehnya, tidak ada seorang pelayan datang mengingatkan kalau memang restorant ini mau tutup.Leona berdecak kesal. Ingin sekali dia segera pergi dari tempat ini. Tetapi tidak mungkin, atau Nathan akan memarahinya"Kau kenapa?" tanya Nathan. Nadanya terdengar serius. Namun masih menampakkan raut wajah misterius yang membuat Leona tidak nyaman. Ke mana arah pandang suaminya tak lagi pada menatap wajah Leona. Namun lebih ke bagian tubuh Leona yang membuat risih."Tidak apa-apa," jawab wanita itu gugup. "Seharusnya saya yang bertanya sama bapak, kenapa bapak liatin saya seperti itu. Tadi bilang bapak lapar. Kalau lapar ya makan, pak? Bukan malah liatin saya. Emang kalau liatin saya bisa bikin kenyang?"Nathan tersenyum. "Menurutmu?"Leona menggeleng."Saya memang lapar. Tapi bukan makanan yang bisa membuat saya kenyang," ucap Nathan. Sukses membuat Leona melongo.'Jangan-jangan dia mau—,' belum sempat wanita itu membatin dengan menerka hal yang tidak-tidak, dengan sigap Nathan mencekal erat pergelangan tangan Leona dan hendak membawa pergi dari tempat itu."Lepasin!" Titah Leona tegas. "Bapak mau bawa saya ke mana?""Nanti kau juga akan tau.""Tidak mau," tolak Leona. "Saya tidak mau ikut bapak sebelum bapak memberitahu saya.""Apa kau lupa kau ini hanya karyawan biasa? Dan seorang karyawan harus tunduk dan patuh terhadap perintah sang bos."Ck! Leona mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Sayangnya ini sudah bukan di jam kantor pak Nathan yang terhormat.""Tapi kau masih istriku, bukan?" Senyum nakal itu kembali mengembang di kedua sudut bibir pria yang super menyebalkan. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana, membuat kadar ketampanan pria itu semakin bertambah.Kalau saja sifatnya tidak menyebalkan seperti sekarang, mungkin adalah suatu peruntungan bagi Leona menikah dengan pria tampan dan mapan sepertinya. Tapi apa tampan saja sudah cukup kalau attitudenya buruk?"Istri pura-pura jika bapak lupa," Leona mengingatkan. Dia baru saja akan pergi meninggalkan tempat itu, ketika tangan kekar Nathan justru mencekalnya erat hingga membuat langkah wanita itu terhenti."Tunggu!"Leona berbalik. "Lepaskan!""Mau ke mana?""Bukan urusan bapak.""Kau lupa datang ke sini dengan siapa?"Leona menghela napas panjang. "Tapi saya—.""Tidak ada alasan apapun. Ikut denganku sekarang!" Titah Nathan."Ini sudah larut malam, pak. Saya juga sudah mengantuk. Biarkan saya pulang." Wanita itu berusaha mengiba, berharap belas kasihan pada suaminya sendiri."Kau pikir aku peduli.""Memangnya bapak mau ajak saya ke mana? Ini restoran bahkan sudah mau tutup.""Jangan banyak bicara. Tinggal menurut saja apa susahnya, sih?"Kalau sudah begini, Leona pun tak bisa membantah. Percuma saja, berdebat dengan pria sepertinya hanya akan membuatnya semakin naik darah. Dan dia pun akan kalah.Mau tak mau, wanita itu pun akhirnya menuruti perintah Nathan. Dia berjalan membuntuti suaminya dari belakang menuju lift."Sebenarnya bapak mau membawa saya ke mana, pak?" tanya Leona berulang kali. Hatinya mulai resah dan gelisah."Jangan banyak tanya. Masuk!" Titahnya ketika mendapati pintu lift sudah terbuka.Meski sempat ragu, Leona akhirnya masuk juga. 'Dia suamiku. Sebenci-bencinya dia, aku yakin dia tidak mungkin akan melukai istrinya sendiri.' Batinnya berkata. Berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif yang mulai menyelimuti.Meski tak dipungkiri kalau saat ini jantungnya bahkan berdegup kencang dua kali lipat dari sebelumnya.Setelah pintu terbuka, Nathan keluar diikuti Leona dari belakang. Melewati sepanjang lorong gedung yang cukup panjang nan sunyi. Hanya ada suara dengungan AC yang menemani langkah mereka.Saking sepinya hingga membuat bulu kuduk Leona merinding. Wanita itu mengusap kedua lengan sampingnya dengan telapak tangan. Pandangannya mengedar menatap ke seluruh penjuru. Benar-benar tidak ada siapapun.'Di mana satpam penjaga?' Gumamnya pelan. Lalu tak lama ....Klek! Suara Nathan membuka pintu yang terkunci."Dasar lambat." Pria itu berdecak ketika menatap istrinya masih jauh di belakang. Membuat Leona dengan cepat menghampiri suaminya."Kita mau ngapain ke sini?"Nathan tak menjawab dan memilih membuka pintu yang berada tepat di hadapannya. Pria itu masuk, melepas jas berwarna navy dan melemparnya asal di sofa yang berada tepat di depan ranjang tempat tidur."Siapa yang menyuruhmu berdiri di situ?" Nathan menatap Leona tegas."Sa-saya ....""Masuk!"Leona mengangguk pasrah. Dia kemudian mendekat ke arah suaminya yang tengah duduk di atas kasur dengan sorot mata yang tak lepas menatap manik mata milik Leona.Saat tengah berjalan, kaki Leona tersandung karpet lantai di bawahnya hingga membuat wanita itu terjatuh tepat menindih tubuh Nathan.BrukkPandangan mereka bertemu seperkian detik. Ini adalah kali pertama Leona dan Nathan berada dalam jarak dekat. Saking dekatnya hingga membuat terpaan napas hangat pria itu menyerbu wajah Leona.Bebarengan dengan degup dada yang bertabuh kencang, wajah Leona memerah saat itu layaknya kepiting rebus dalam penggorengan.'Ya Tuhan ...," batin Leona berkata sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dari sana, tetapi hal tak terduga muncul.Bukan membiarkan Leona berangsur pergi dari tubuh Nathan, pria tampan beraroma maskulin itu justru membalikkan tubuh Leona hingga posisinya berbalik. Nathan di atas."Kau?" Pekik Leona melihat apa yang dilakukan suaminya."Jangan bergerak! Atau kau akan menyesal." Ancamnya dengan nada super lirih, tepat di samping telinga Leona."Apa yang mau bapak lakukan? Biarkan saya pergi." Pinta Leona sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong tubuh pria itu agar menjauh. Dasarnya tenaga Nathan lebih kuat, wanita itu kesulitan untuk membebaskan diri."Sudah kubilang, bahwa malam ini aku sangat lapar, sayang." Nathan berbisik. Membuat bulu kuduk Leona seketika meremang."Apa bapak sudah gila? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak melakukan hal apapun?""Kenapa kau selalu bersikap menolakku seolah-olah kau begitu membenciku, Leona?"'Astaga, apa otak Nathan sudah bergeser. Kenapa tiba-tiba jadi begini?'"Kau masih istriku jika kau lupa. Dan aku berhak menuntut atas apa yang menjadi hakku sebagai suami sahmu." Tandas Nathan sambil membuka kancing kemeja bagian atas yang sedang dikenakan."Pak, kau—.""Hentikan, Pak!" Seru Leona ketika tangan kekar Nathan mulai menarik resleting baju yang sedang ia kenakan. "Apa bapak sudah gila?"'Kau yang sudah membuatku tergila-gila, Leona,' batin pria itu. Dia bahkan sudah hampir mati karena harus menahan hasrat yang kian memburu. Apa dia pikir selama ini tidur bersama adalah hal yang mudah Nathan lalui? Pria itu bahkan harus mati-matian menahan gejolak rasa yang teramat sulit hanya karena dia tidak ingin menyentuh istrinya sendiri.Kesepakatan sudah dibuat, mereka menikah karena status dan tidak akan pernah membiarkan orang lain tau hal ini. Tetapi kecantikan Leona sungguh membuatnya lupa hingga Nathan hampir gila dibuatnya."Kau tidak lupa dengan kesepakatan yang kita buat sebelumnya 'kan, pak?" tanya Leona saat sukses menggenggam tangan Nathan, menahannya agar tidak melanjutkan aksi yang hendak dilakukan.Deru nafas Nathan kian memburu. Peluh sudah mengalir di pelipisnya. Kancing yang sudah terlepas tanpa sisa, memperlihatkan dada bidang N
Sinar matahari yang keemasan, menyeruak masuk melalui celah tirai. Bersamaan dengan bunyi alarm yang cukup nyaring, membuat Leona terusik dalam lelapnya.Wanita itu membuka mata, mengerjapkannya perlahan. Setelahnya menoleh ke samping, di mana dia dapati Nathan masih meringkuk membelakangi tubuhnya dalam balutan selimut tebal berwarna putih.Masalah semalam belum mereda. Leona menghela napas panjang. Perlahan-lahan, dia bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka.Setelah keluar, diliriknya jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus bersiap ke kantor sekarang. Tidak peduli seberapa besar masalah yang menghadang. Dia akan menghadapinya.Meski raga rasanya ingin menyerah, namun hari ini. Ada calon malaikat kecil yang tumbuh dalam rahimnya harus ia rawat dan ia jaga dengan sebaik mungkin.Meski dia datang bukan sebagai pengharapan, tapi dia suci dan tidak memiliki dosa. Saat ini ..., bukan karena cinta Leona akan berusaha mati-matian memp
Mobil Nathan sudah berhenti tepat di halaman kantor. Bebarengan dengan degup dada yang bertabuh kencang, Leona refleks menundukkan badannya."Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Nathan dengan santainya. Membuat Leona ingin sekali menoyor itu kepala Nathan. Tidakkah dia berpikir kalau semua ini gara-gara dia."Pup." Jawab Leona asal."Kau gila? Kalau mau pup di toilet bukan di sini. Apa kau mau tanggung jawab kalau sampai mobilku kotor karena ulahmu yang konyol itu?"Leona memutar jengah kedua bola matanya. Bisa-bisanya dia sepolos itu mempercayai kata-katanya, astaga! Dosa apa aku di masa lalu bisa sampai menikah dengan pria menyebalkan bin keterlaluan macam Nathan ini.Otaknya memang pintar, tapi sifatnya sungguh membuat Leona mungkin akan mati cepat. Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menjelaskan pada Nathan."Aku sedang bersembunyi jika kau tau. Memangnya kau ingin orang kantor curiga kalau sebenarnya kita sudah menikah?" Nathan tertawa cekikikan."Kenapa kau terta
"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain selain mengobrol saat jam kerja?" tanya Nathan dengan kedua alis yang menukik tajam. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana dengan atensinya yang menatap pada sosok Leona, Dea dan juga Joshua secara bergantian.Tak mau ambil pusing, Joshua yang berada di sana pun lantas pergi usai berpamitan pada Leona."Saya duluan. Le, jangan lupa nanti siang, ya?" Pria itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Nathan yang melihat hal itu mendecih tak suka."Ma-maaf, pak. Tadi kami—.""Tidak ada yang menyuruhmu bicara," sergah Nathan mendengar kalimat yang hendak diucapkan Dea. "Dan kau—," menunjuk ke arah Leona, "ikut ke ruangan saya sekarang!" Titahnya.Pria itu langsung berbalik meninggalkan dua karyawannya yang masih berdiri mematung di tempat."Menyebalkan, huh!""Sabar!" Dea menghela napas sembari mengelus punggung sahabatnya lembut. "Kau berhutang cerita denganku.""Hm.""Pergilah! Atau masalahmu akan semakin berat. Kau tau 'kan
Huek huek!"Kamu kenapa, Le?" tanya Joshua saat tengah menikmati makan siang bersama di kantin kantor. Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Leona langsung beranjak pergi menuju toilet yang berada di belakang kantin. Membuka pintu, lalu memuntahkan semua isi perutnya yang membuatnya mual.Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Leona merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi wanita cantik itu tetap memaksakan diri untuk masuk kantor. Di sisi lain, Dea yang baru datang ke kantin melihat Joshua dengan raut wajah cemasnya membuat wanita itu langsung menghampiri. "Jo, kamu kenapa? Leona ke mana? Kalian janjian makan siang, kan?" tanya Dea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sahabatnya tetapi hasilnya nihil."Dia lagi ke toilet. Kayaknya dia sakit, deh!" Ujarnya."Hah?""I-iya. Soalnya tadi mendadak pengin muntah dianya.""Aku duluan." Pamitnya sambil berlalu pergi."De. Kamu mau ke mana?""Ke Hongkong, ya nyusul Leona lah, aneh."Joshua mengacak rambutnya frustr
"Duduk!" Titah Nathan kepada Leona saat sudah sampai di ruangan. Tetapi sayangnya, karyawan cantik itu menolak tak suka karena bosnya yang pemaksa."Tidak mau.""Siapa yang menyuruhmu makan dengan Joshua?" tanya Nathan tanpa menatap ke arah Leona.Si cantik itu hanya mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Bukan urusan bapak. Mau saya makan dengan siapapun suka-suka sayalah.""Apa kau melupakan sesuatu?"Wanita itu terdiam."Kau masih istriku, Leona."Leona mendecih. "Saya perhatikan bapak selalu mengingatkan akan hal itu. Asal bapak tau saja, saya tidak pernah lupa dengan status kita ya, pak. Tetapi hal itu tidak berlaku saat di kantor, bukan? Di sini, bapak adalah bos saya dan saya adalah karyawan bapak.""Oh. Mulai berani kau, ya? Kau tidak sadar ya, bukankah kau menolak hukuman tidak digaji selama setahun?" tanya Nathan sambil tersenyum getir ke arah Leona. "Itu artinya ... pilihan kedua menjadi keputusan akhirmu, Leona."Shit!'Sialan! Ternyata Nathan benar-benar serius d
Nathan tersenyum kecut."Aku serius, Nath," ucap Joshua kemudian. Pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sambil menyenderkan punggung. Menatap segelas air teh dalam gelas yang masih utuh, mengundang tanya bagi Joshua. "Buat siapa? Aku pikir kau masih belum menyukai minuman seperti ini.""Tidak penting itu untuk siapa." Nathan mendecih tak suka. Pria itu melangkahkan kaki menuju jendela. Sengaja membelakangi sahabatnya karena tidak ingin melihat wajah menyebalkan Joshua. "Nath?" Panggil Joshua.Yang diajak bicara hanya menoleh sekilas sambil bergumam pelan."Boleh aku minta bantuanmu?""Katakan!""Buat aku bisa dekat dengan Leona."'Ini gila!' Batin Nathan. 'Kau pikir dia siapa, huft!' "Kau dengar aku bicarakan, Nath?""Yeah.""Ayolah!""Sejak kapan kau menyukainya?""Setahun yang lalu.""Jadi kau putus dengan Klara karena Leona?" Tebak Nathan kemudian berbalik ke arah pria itu. Sahabatnya pernah berpacaran dengan Klara sebelumnya - teman seperkuliahan Joshua semasa dulu.
"Apa-apaan ini," umpat Nathan sembari membanting ponselnya kasar di atas meja. Sebuah foto berhasil masuk melalui pesan yang dikirimkan oleh seseorang hingga membuat emosi Nathan mencuat.Tanpa pikir panjang, Nathan langsung menelpon Leona saat itu juga. "Halo.""Ha-halo, Pak," jawab Leona gugup. Baru juga ditinggal sebentar, sudah langsung menelpon. Menyebalkan."Sedang apa kamu?""Kerjalah, Pak.""Kau yakin?" Nathan memastikan. Sementara Leona langsung menoleh ke samping di mana ada Dea di sana. 'Kenapa?' tanya Dea tanpa bersuara. Tetapi sahabatnya tak menjawab."Yakin, Pak. Ini saya masih mengerjakan laporan yang bapak minta.""Nanti sore pulang bareng saya!" Titah Nathan."Hah?! Tapi, pak.""Tidak terima alasan apapun."Tut.Panggilan berakhir. Nathan memutuskannya secara sepihak. Si cantik Leona hanya mengernyitkan kening bingung."Ada apa, Le?" Dea bertanya keheranan. "Pak Bos nelpon kamu? Baru juga dipanggil ke ruangan kan?"Leona mengedikkan bahu. "Entahlah.""Emang dia ngo