Rania yang mendengar makian dari bosnya seketika hatinya merasa sakit. Rasanya dada Rania seperti ditusuk-tusuk oleh puluhan jarum yang membuatnya kesulitan untuk menahan buliran yang ingin keluar dari lubuk matanya.“Maksud Bapak gimana, ya? Memangnya apa yang sudah saya lakukan sampai saya membuat perusahaan Bapak rugi?” tanya Rania bingung.Dengan sekuat tenaga Rania mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan bosnya. Rania berpura-pura jika dirinya sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Reynald, padahal sejatinya wanita itu sedang mati-matian berusaha agar tidak terlihat lemah di depan bosnya.“Sekali lagi saya mendengar ocehan tak bermutu dari mulutmu. Siap-siap kamu angkat kaki dari perusahaan ini.” Tak menjawab, Reynald justru memberikan peringatan pada Rania.“Baik, Pak. Saya minta maaf jika saya sudah salah bicara.” Wajah Rania hanya tertunduk menatap bawah. Wanita itu sudah tidak mampu lagi untuk menatap wajah garang bosnya. “Kalau gitu saya permisi dulu, Pak.
Ternyata yang menabrak Rania adalah seorang anak kecil yang sedang berlonjak kegirangan. Sangking senangnya mendapatkan jajan yang dia inginkan, anak tersebut berjalan menghadap kakaknya yang ada di belakangnya sambil melompat-lompat kegirangan.“Duh … sakit banget,” rengek Rania.Lututnya yang belum sembuh akibat jatuh dari atas kursi itu pun semakin terasa sakit karena dia terjatuh untuk yang ke dua kalinya.“Maaf, Mbak. Saya benar-benar minta maaf atas kecerobohan adik saya,” ujar Kakak dari adik kecil itu.“Iya, gak apa-apa kok, Mas!” seru Rania seraya bangkit berdiri.Adik kecil itu pun pergi bersama kakaknya, begitupun dengan Rania yang juga kembali melanjutkan langkahnya mencari angkot di pinggir minimarket tersebut untuk kembali ke kantornya.Beberapa saat setelah mobil angkot yang Rania naiki sampai di depan kantor, wanita itu bergegas turun dan berjalan dengan tertatih-tatih. Seorang satpam yang berjaga di depan kantor pun menyapa Rania dengan wajah iba yang dia tunjukkan ke
“Cuma bawa kopi aja nyuruh orang lain!” sindir Reynald melirik sinis pada Rania.Perkataan Reynald mampu membuat kedua wanita yang tak lain adalah Rania dan office girl yang membantu Rania membawakan kopi itu terpaku dengan kalimat yang telah diucapkan oleh Reynald.Setelah mencerna beberapa saat, Rania kemudian tetap menampilkan senyumnya meski dengan terpaksa. Untungnya office girl tersebut membuka mulutnya untuk menyanggah ucapan bosnya dan membela Rania.“Maaf, Pak, saya membawakan kopi ini memang atas dasar kemauan dari saya sendiri. Bu Rania sama sekali tidak menyuruh ataupun memaksa saya, kok!” ucap office girl tersebut dengan sopan.Pembelaan dari office girl tersebut membuat Rania spontan mengembangkan senyumnya. Rania sangat bersyukur karena ada yang mau membelanya dari ucapan pedas mulut CEO-nya itu.“Maaf jika saya salah dan lancang, Pak. Saya hanya tidak tega melihat Bu Rania kesulitan membawa kopi sebab kaki beliau yang sedang sakit,” sambung office girl itu.Reynald yang
“RANIA!!” Reynald memanggil Rania dengan berteriak lagi.“Ish, itu orang ngapain sih pake acara teriak-teriak segala? Ada telepon tinggal telepon aja apa susahnya, sih!” gerutu Rania kesal.Rania pun segera menghampiri bosnya. “Iya, Pak! Ada apa Bapak memanggil saya?”“Lap meja saya. Kopi saya tumpah.”“Oh, baik, Pak.” Rania menunduk patuh, kemudian segera mengambil sapu tangan yang ada di dalam tasnya.Wanita itu pun mengelap meja Reynald menggunakan sapu tangan miliknya.“Bikinkan kopi yang baru!” titah Reynald tanpa ingin dibantah.Rania menghembuskan nafas berat. “Baik, Pak!” seru Rania mengangguk. Setelahnya Rania gegas keluar dari ruangan Reynald dengan membawa gelas kopi yang telah kosong. Hanya tinggal ampas-ampas kopi yang tersisa. Namun, saat Rania akan sampai di pintu, perkataan Reynald mampu membuat langkah Rania terhenti. “Ingat! Bawa kopi itu sendiri!” seru Reynald.Rania membalikkan badannya menghadap Reynald. “Iya, Pak!” sahut Rania sembari membungkukkan setengah ba
“Lho, Bu Rania belum pulang?” tanya salah satu penjaga yang akan mematikan ruangan tempat Rania berada.“Eh, iya, Pak. Kerjaan saya masih banyak,” jawab Rania nyengir. “Memangnya sudah jam berapa, Pak?” tanya Rania sembari tangannya tetap terus mengetik laptopnya.“Sudah hampir pukul 12.00, Bu!” jawab satpam itu.“Oh … mungkin nanti sekitar jam dua, saya sudah selesai kok, Pak. Bapak jaga sampai pagi, ‘kan?”“Iya, Bu. Saya jaga di depan sama Amir berdua,” jawab satpam itu. “Bu Rania mau ditemenin di sini, atau mau saya bikinkan kopi?” lanjutnya menawarkan pada Rania.“Tidak perlu, Pak. Saya tadi sudah dibuatkan, kok. Ini masih,” tolak Rania sembari menunjukkan kopi di gelasnya. “Nanti kalau saya pingin kopi, saya akan bikin sendiri,” sambung Rania seraya tersenyum.“Baiklah kalau begitu. Saya ke bawah dulu ya, Bu. Kalau ada apa-apa Bu Rania panggil kami saja, atau Bu Rania bisa langsung telepon.”“Oke, Pak!” sahut Rania.Penjaga kantor itu pun turun ke bawah, sedangkan Rania tetap mel
Mau tidak mau, Rania terpaksa menggunakan uang miliknya untuk membayar ongkos pulang perginya. “Aku kerja ngurangin beban orang tua atau malah justru nambahin beban orang tua, sih?” gumam Rania lirih.Rania justru merasa bersalah karena setiap ia akan berangkat ke kantor, ibunya selalu memberikan uang yang tidak seberapa itu pada Rania buat makan siang Rania di kantor. Rania merasa bersalah karena saat ini dirinya belum bisa membantu kedua orang tuanya.“Semoga gajian aku nanti tidak banyak yang dipotong. Biar aku bisa kasih ke Ibu buat biaya pengobatan Ayah,” batin Rania tersenyum miris mengingat bosnya yang selalu mengancam akan memotong gajinya.Sesampainya di tempat yang dituju, Rania segera memesan sandwich sesuai pesanan bosnya, kemudian membayarnya menggunakan kartu kredit milik bos killernya itu. Namun, malapetaka justru menimpa Rania saat wanita itu berada di dalam angkot. Seorang lelaki yang duduk berseberangan dengan Rania, tiba-tiba mengambil tas selempang yang rania kena
Rania yang mendengar teriakan bosnya pun langsung menghentikan pekerjaannya, kemudian bergegas ke ruangan bosnya dengan langkah terburu-buru.“Iya, Pak?” “Bikinkan kopi untuk saya. Kopi saya sudah habis.”“Baik, Pak.” Rania menundukkan kepalanya sebelum ia membalikkan badannya, kemudian keluar dari ruangan Reynald.Rania berjalan cepat menuju pantry. Wanita itu harus mengejar waktu agar malam ini ia tidak lembur lagi. Dengan gerakan cepat dan gesit Rania membuatkan kopi untuk bosnya, kemudian membawanya ke ruangan Reynald. Setelah mengantarkan kopi untuk bosnya, Rania lantas kembali mengerjakan tugas-tugasnya yang belum selesai.Sangking fokusnya Rania mengerjakan tugasnya, wanita itu sampai tak sadar jika hari sudah mulai senja. Rania melangkahkan kakinya ke pantry untuk membuat kopi cappucino buat dirinya. Namun, saat sedang mengaduk kopi yang telah ia seduh, Rania tiba-tiba kepikiran sesuatu.“Bikinin buat bos sekalian, lah. Daripada nanti aku harus ke dapur lagi.”Rania pun lantas
Vira dan Listy saling menatap dan bicara isyarat dari mata ke mata, kemudian keduanya berjalan menghampiri wanita itu."Rania?" Vira mencoba membangunkan Rania dengan cara menepuk pelan pundak rania.Ya, wanita yang mereka lihat adalah Rania. Vira dan Listy heran kenapa Rania tidur di kantor. Rania yang dibangunkan sontak terkejut. Wanita itu membuka kedua matanya dan mendoakan menatap ke arah orang yang membangunkannya."Kamu tadi malam gak pulang?" tanya Listy."Kamu nginep di kantor, Ran?" timpal Vira yang juga merasa penasaran.Rania mengucek kedua matanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan teman-temannya.“Iya. Kerjaan aku banyak banget, jadi jam 04.00 baru selesai,” jawab Rania.“Terus kenapa gak langsung pulang? Tidur di rumah kan lebih nyaman,” sahut Vira.“Aku bingung mau pulang.” Rania menggaruk kepalanya yang tak gatal.Dahi kedua wanita itu berkerut. “Bingung kenapa?” tanya Listy, sedangkan Vira bertanya lewat isyarat matanya. “Kemarin aku kecopetan di jalan. Uang yang ad