George menatap dalam pada Kimberly dan Bryan silih berganti.
Manik matanya sayu seiring tetesan cairan yang menggenang dari ujung matanya dan mengalir membasahi pipi. Ia mengangkat kepalanya, berharap cairan itu segera berhenti. Jemari sang putri terulur menyeka kedua pipinya.
"Jangan seperti ini, Pa! Aku akan melakukan apa pun keinginanmu! Kimmy tidak ingin melihat Papa bersedih. Katakan padaku, Pa!"
George tersenyum hangat. Ia mengangguk perlahan dan kini meraih jemari lentik yang baru saja digunakan untuk mengeringkan cairan bening dari matanya. Suasana mendadak haru biru.
"Apakah benar kau mau menyanggupi apa pun keinginan Papa?" tanya George memastikan. Matanya membutuhkan jawaban pasti dari pemilik iris perak di depannya yang tak lain adalah putri kandungnya sendiri.
"Iya, Pa. Apa pun itu!" tegas Kimberly tak meragu sedikit pun.
"Menikahlah dengan Tuan Bryan, bagaimana pun desas-desus yang beredar me
Semangatin aku dong!! Ahaaayyy...
Lima menit berlalu.Kimberly enggan keluar dari bilik toilet yang menyembunyikan tubuhnya selama beberapa saat. Ia malas dan malu jika bersitatap dengan pria playboy di luar pintu toilet. Pria itu pasti masih menunggunya setelah berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan berbuat macam-macam.Dengan sedikit tertatih menahan nyeri yang meskipun tak separah beberapa saat sebelumnya, ia tetap saja harus berhati-hati agar lukanya tak terbuka.CeklekPintu toilet utama terbuka.Degg Degg"Bantu aku menguatkan hatiku, Tuhan!" ucapnya seorang diri.Demi apa pun, mata indahnya mendadak lumpuh hingga tak berkedip sedetik pun saat mendapati seorang pria yang tengah memainkan kepulan asap rokok dari bibirnya sembari bersandar di salah satu pilar besar.Tampan!Macho!Cool!Oh shit! Ada apa ini?Kimberly mengucek kedua kelopak matanya, menyadark
Bryan tersenyum penuh misteri. Ia tahu bahwa gadis itu kebingungan dalam mencerna maksud dari permintaannya.Kimberly menatap penuh keheranan pada Bryan. Detik berikutnya, hal yang ia lakukan adalah meletakkan telapak tangan di kening Bryan yang mulus tanpa cacat, tanpa goresan, tanpa kerutan dan bersih dari jerawat."Ada apa?" tanya Bryan saat telapak tangan gadis itu turun dari keningnya.Kimberly menggeleng samar. Ia membalas tatapan Bryan dan mengernyit heran."Kau tidak panas, Tuan!" celetuk Kimberly santai."Maksudmu?""Kukira kau gila!" ledek Kimberly dan berusaha melangkahkan kaki meninggalkan Bryan.Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka…Tangan kekar itu menggendongnya cepat ala bridal style. Semua pandangan tertuju ke arah keduanya.Bryan mendekati meja kasir sambil menggendong Kimberly yang terus meronta untuk diturunkan. Pria itu tak akan menurunkan gadi
Jemari lentik itu bergetar hebat dalam genggaman tangan Bryan. Kimberly meremas tangan pria yang menautkan jemarinya di sana sampai ujung-ujung jarinya memutih.Hendak mengaduh di saat seperti ini tentu tidaklah memungkinkan bukan? Akan tampak terlihat konyol di mata semua orang. Bryan tetap menyunggingkan senyum di wajahnya.Sabar adalah kunci semua pintu layaknya sebuah kejujuran yang berlaku di belahan dunia mana pun. Dengan senyum yang tak kunjung memudar karena diharuskan menunggu oleh gadis tersebut, Bryan menatap teduh ke dalam bola mata Kimberly.Menyampaikan segala rasa yang tengah membuncah dan tak mau dipermalukan di hadapan semua orang adalah sikap yang mendeskripsikan seorang Bryan saat ini.Kimberly hendak melepaskan pertautan jemari keduanya, namun, genggaman pria itu semakin terasa kencang.Bryan beranjak dari posisinya. Ia meletakkan tangan Kimberly di wajahnya sambil berkata, "Percayalah padaku! Aku p
Kimberly mengangguk yakin."Aku serius. Aku benar-benar jujur, tidak ada niatan untuk membohongi kalian berdua!" yakin Kimberly pada Dave dan Mona.Dave mengernyit."Bagaimana bisa?" pertanyaan konyol dari mulutnya menguar begitu saja.Kimberly dan Mona saling bersitatap usai mendengar pertanyaan aneh keluar dari Dave. Dave tersenyum getir."Kimmy, sebenarnya selama ini aku selalu iri pada kedekatan dan kerukunan kau dan Nick. Kenapa aku justru melihat kalian terpisah? Siapa sosok lelaki yang akan menikahimu hingga kau tega meninggalkan Nick?" ungkap Dave selanjutnya dengan beribu pertanyaan meminta penjelasan.Kimberly menghela napas seolah mengeluarkan segala beban yang ada di hati pada kedua sahabatnya."Dave, Mona, aku tahu kalian sangat peduli pada hubunganku dengan Nick. Tapi sekarang kami telah berpisah dan biarkan kami menemukan sosok yang jauh lebih tepat dalam hidup ini selanjutnya.
Mona berusaha bangun dari posisinya dengan perlahan-lahan setelah ia mengetahui siapakah sosok yang baru saja bertubrukan dengannya. Dave yang berada tak jauh darinya pun kembali dan segera menolongnya. Ia mengulurkan tangan dan membantu Mona yang tubuhnya tidak bisa dikatakan ringan. Mona memperbaiki penampilannya dan menatap penuh tanda tanya pada Nick. Ya, sosok itulah yang bertubrukan dengan Mona. Mona memindai pria itu dari atas sampai bawah. "Nick, kau masih di sini?" tanya Mona secara retoris. Ia mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri, memastikan Kimberly sudah pergi bersama Bryan Malik dari kampus. "Siapa yang kau cari? Kenapa terlihat begitu antusias?" tanya Nick yang menimpali pertanyaan Mona dengan pertanyaan pula. Mona menggaruk kepalanya yang tak gatal dan tersenyum kikuk, berusaha keras menutupi kenyataan yang terjadi. Hal itu tak luput dari perhatian Dave. Pemuda itu mengacak rambut Mona hingga
Kimberly menggeser tubuhnya perlahan karena merasa tak nyaman saat Bryan menyentuh bahunya.Bahkan kini dengan beraninya, Bryan menyelipkan rambut ke sela telinga Kimberly hingga berhasil membuat pipi gadis itu merah merona. Merah sempurna.Kimberly menepis jemari Bryan yang bermain-main dengan anak rambutnya. Bryan tersenyum geli."Kau itu seperti bunga mawar. Cantik, sedap dipandang tapi penuh duri. Tidak sembarang orang bisa menyentuh bahkan memetikmu." Bryan mengambil sebuah bunga untuk ia jadikan perumpamaan gadis cantik di dekatnya yang malu-malu menggeser tubuhnya.Posisi mereka kini terbentang jarak beberapa jengkal, hal itu sukses mengundang tanya seluruh karyawan dan pengunjung toko bunga. Kimberly merasa mendapatkan tatapan intimidasi dan ia tak peduli.Tiba-tiba, seseorang merengkuh bahu rampingnya dan merangkul mesra. Dapat dipastikan itu adalah Bryan. Siapa lagi?"Nona, bisa kau buatkan aku s
Bryan meraih tubuh ramping Kimberly mendekat ke arahnya."Apa perlu kujelaskan? Kau akan tahu apa jawabannya cepat atau lambat. Bukankah kau sudah mendengar beberapa alasan yang keluar dari bibirku?Sekarang kembali lagi padamu, kau mau menganggap perasaanku seperti apa. Kau bebas menentukan. Apa pun pilihanmu, aku akan mengiyakan. Karena semua alasanku tadi adalah hal yang mendeskripsikan perasaanku padamu," ungkap Bryan.Tak ada canda. Tak ada tawa. Atmosfer terasa begitu penuh dan sesak. Detak jantung Kimberly berlari begitu cepat seperti hendak terlepas dari tubuhnya.Gadis itu memalingkan muka."Dasar Playboy! Jangan kau kira trik yang kau pakai saat menggoda para wanita dapat berhasil padaku!" kecam Kimberly dalam hati. Hatinya terasa panas saat membayangkan kata-kata yang sempat diumbar Bryan diucapkan pada wanita lain.Kenapa ia mendadak merasa cemburu? Hal yang harus ia pastikan saat ini adalah&he
Kimberly menggeleng cepat. Ia memutuskan mengeluarkan segala uneg-uneg dalam pikirannya."Kenapa saat mendengar tawaranmu tadi terdengar seperti cara seseorang menawariku sesuatu, ya?" gumam Kimberly penasaran.Bryan geleng-geleng kepala."Wajar saja!""Kenapa begitu?""Pasti ayahku, bukan? Aku tahu sekali cara bicara ayahku saat merayuku dan pastinya dia menggunakan cara itu padamu. Benar, kan?" tebak Bryan.Kimberly tersenyum kecut sambil berusaha menepis tangan Bryan dari kepalanya. Ia merasa risih dengan pandangan banyak orang padanya hanya gara-gara perlakuan Bryan."Ternyata pepatah lama itu ada benarnya juga!" celetuk Kimberly.Bryan mengernyitkan dahi."Pepatah yang mana? Begitu banyak pepatah, jadi aku tidak tahu maksud ucapanmu!" sambung Bryan."Pepatah lama itu berbunyi 'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya'! Benar, kan? Aku baru teringat ternyata