Share

Bos di Atas Normal
Bos di Atas Normal
Author: Gadiahli

01. Peluang Besar

Setahun penuh Violet menghabiskan waktu mengagumi dalam diam.

Setahun penuh juga Violet sekadar menatap tanpa ingin mendekat.

Kenapa ia betah sekali memendam perasaan? Sejauh ini ia bahkan tidak pernah mencoba berusaha. Kenapa memulainya saja ia enggan? Setidaknya cobalah dengan cara sederhana.

Memang mudah untuk berucap, menasihati orang lain dan mendadak menjadi orang bijak. Violet paham bagaimana kalimat semacam itu sering kali tertuju padanya. Hanya saja, Violet cukup menanggapinya dengan senyuman, tentu sembari mengatur napas untuk mengendalikan diri.

Alasannya, Violet tidak berminat mengungkapkan pendapat. Bukan berarti ia tidak peduli, tetapi ia sendiri yakin bahwa alasan yang terlontar darinya pasti akan selalu disanggah dengan kalimat yang terkesan menyudutkan. Sifat manusia kebanyakan seperti itu bukan?

Dan dari sekian banyak manusia, sahabat paling ia percayai termasuk ke dalamnya, Grey, yang kini kembali melontarkan pertanyaan yang sama seperti satu minggu lalu. Jadi, langkah terbaik yang Violet ambil adalah mengunci mulutnya rapat-rapat.

 “Memangnya sekali-sekali mencoba tidak bisa?” Grey mulai kesal saat Violet terus menolak. Pria yang hari ini terlihat lebih maskulin dengan tatanan rambut klimis yang menampakkan dahi itu berhenti mengetik. Dia bangkit dari kursi kerjanya kemudian menyenderkan lengan kirinya di atas penyekat ruangan.

“Apa sebenarnya yang kau takutkan?” Grey masih ingin mendengar kepastiannya. Baginya, alasan Violet terkesan sepele dan tidak masuk akal.

“Haruskah aku mengulanginya? Aku merasa tidak sebanding dengannya.” Violet mematikan layar komputernya setelah menyimpan hasil pekerjaannya tepat ketika suara jam istirahat berbunyi. “Perbedaan kami sangat jauh. Sistem kasta.”

Itu sebenarnya hanya sebagian alasan kecil Violet, karena ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, bisa dibilang terlalu pelik sampai mungkin pada akhirnya Grey tidak akan mengerti. Violet butuh waktu untuk siap berbagi dengan Grey, sekalipun memang Grey terbukti bisa dipercaya.

“Persetan!” Grey sedikit mengibaskan tangannya. “Keluargamu itu cukup terpandang, walau Pak Nolan memang berada di atas, tapi tidak jauh.”

Violet mendongak untuk menatap Grey. “Sangat jauh,” koreksinya.

Grey mengangkat kedua tangannya seperti mengaku kalah. “Oke, baiklah.” Lalu, pria itu melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Kita lanjutkan obrolan ini nanti. Sudah waktunya makan siang. Perutku juga sudah lapar. Dengar-dengar, perusahaan mengganti katering, sepertinya yang ini enak.”

“Aku tidak bisa, Grey,” tolak Violet.

“Kenapa? Diet lagi? Kau itu jelas-jelas sempurna—tidak perlu diet lagi. Aku tidak menerima penolakan. Sekarang juga kau ikut aku makan siang di kantin.” Grey kemudian berjalan menuju meja kerja Violet. Tanpa meminta persetujuan, ia langsung menyambar lengan Violet dan menyeretnya.

“Matikan komputermu dulu!” Violet memperingati yang sayangnya hanya dibalas dengan dengusan kecil dari Grey.

Dari ruang kerja mereka yang berada di lantai sebelas, untuk sampai di kantin, Grey dan Violet harus turun ke lantai dua menggunakan lift. Karena jam istirahat seluruh karyawan dibagi tiap divisi, kondisi di dalam lift tidak terlalu penuh, tetapi masih dibilang lumayan sesak. Grey menyuruh Violet untuk berdiri di belakangnya seolah dirinya rela menjadi tameng yang siap menjaga Violet dari desakan.

Tidak sampai memakan waktu lima menit, mereka sampai di lantai dua. Ramainya kantin hari ini selain karena antusiasme karyawan terhadap pergantian katering, juga disebabkan oleh para atasan yang sedang menilai kinerja katering baru. Bisa saja ada keluhan dari karyawan, perusahaan akan langsung menegur petugas katering dan mengevaluasinya.

Di antara para atasan yang tengah menyantap makan siang, Violet menemukan Nolan yang ikut di dalamnya, sangat tenang sambil sesekali tersenyum menanggapi obrolan. Wajah Violet seketika memanas saat menyaksikan bagaimana lengkungan bibir Nolan tertarik ke atas dengan matanya yang menyipit. Refleks, Violet mencengkeram kemeja bagian belakang Grey sampai pria itu menghentikan langkahnya.

“Ada apa?” tanya Grey setelah membalik badan.

Violet tidak lantas menjawab. Dia menggigit bibirnya beberapa saat. “Bi-bisakah kita tidak usah makan di sini? Kita pesan makanan di luar saja,” ucapnya ragu.

“Sudah sampai di sini terus tidak jadi? Kau bercanda, Let?” Grey tentu saja tidak terima.

“Aku benar-benar tidak bisa, Grey.” Violet memohon dengan nada merengek.

Sementara, Grey sama sekali tidak terpengaruh. Dia memilih tak menghiraukan Violet dan malah melanjutkan langkahnya. Namun, baru menginjak langkah ketiga, Grey tiba-tiba berhenti, ia tidak sengaja melihat Nolan yang duduk di meja depan, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kini Grey mengerti kenapa Violet berubah pikiran. Bukan karena Violet ingin melanjutkan acara dietnya, tetapi karena Nolan berada di tempat ini.

Grey menoleh ke arah Violet. Dilihatnya wanita yang mengenakan setelan blazer dengan motif kotak itu sedang menunduk sambil mengulum bibir. Dia mengembuskan napas kesal sebelum benar-benar berbalik untuk menghampiri Violet.

“Tenang, Let. Bersikap seperti biasa saja. Nolan juga tidak tahu kau menyukainya. Selama ini kau sudah berhasil menyembunyikan perasaanmu. Tidak ada yang tahu kecuali aku.” Grey merendahkan nada suaranya. Dia bahkan sengaja memajukan tubuhnya untuk menjangkau sisi telinga Violet.

Meskipun Grey berusaha menenangkannya, nyatanya Violet masih sulit menghilangkan perasaan takut tiap kali bertemu Nolan. Entah bagaimana awal mula ketakutan itu muncul. Violet hanya terus memikirkan berbagai asumsi. Isi kepalanya terus berkecamuk.

Tentang reaksi Nolan ketika mengetahui perasaannya.

Tentang pandangan orang lain terhadapnya.  

Tentang keluarganya yang dipastikan tidak akan setuju jika ia menjalin hubungan dengan pria yang tidak dijodohkan dengannya sejak awal.

Ya, masa depan Violet sudah ditentukan, tepatnya ia dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis ayahnya. Atau kalaupun dari semua pemikiran itu bernilai positif, ia tetap menyimpan ketakutan yang disebabkan oleh rasa tidak percaya diri. Kembali lagi, strata sosial menjadi pemicunya.

“Di mana Violet yang aku kenal? Violet yang selama ini aku tahu adalah gadis berani tak kenal takut, hanya memikirkan hasil daripada konsekuensi.” Grey menepuk-nepuk pundak Violet pelan.

Sepertinya perkataan Grey sedikit demi sedikit memengaruhi Violet, memercikkan semangat meski belum penuh, tetapi mampu mengurangi apa yang Violet rasakan sebelumnya. Violet perlahan mengangkat wajah, menampakkan raut masam. “Ini tidak semudah apa yang kau bayangkan—”

“Dan apa yang kau pikirkan belum pasti terjadi,” sela Grey.

Kini Violet resmi terpojok, tidak ada rangkaian kalimat yang bisa ia gunakan untuk membalas Grey. Dan dari sekian banyak nasihat Grey yang sialnya selalu benar, Violet rasa kali ini ia tidak bisa selain menurutinya.

“Grey,” panggil Violet lirih. Ada jeda beberapa detik untuk Violet melanjutkan kalimatnya, seperti menimbang sebelum keluar seluruhnya. “Apa aku benar-benar harus mencobanya?”

Mendengar itu, Grey kontan terkejut, tetapi ada rasa senang dan lega. Akhirnya Violet mau menuruti nasihatnya. Matanya berbinar disertai senyuman lebar. Dengan penuh semangat, Grey menarik lengan Violet menuju salah satu meja di sana.

Violet sempat terbelalak, dia pikir Grey akan mengajaknya duduk bersama Nolan dan atasan lainnya yang kebetulan masih memiliki dua kursi kosong. Grey itu sedang dipromosikan naik jabatan. Jadi, tidak heran ia dekat dengan atasan, terkecuali Nolan, mustahil untuk bisa menjangkau sang pemilik perusahaan. Namun, duduk bersama sepertinya tidak menjadi masalah. Sedangkan, jelas bagi Violet berbeda urusannya, ia belum siap.

Langkah mereka searah dengan meja Nolan, hanya sedikit lagi sampai, tetapi Violet ternyata salah besar. Grey menarik lengan Violet untuk berbelok sampai wanita itu sedikit terhuyung. Meja panjang yang dimaksud Grey tepat berada di samping Nolan.

Violet cukup bersyukur, tetapi hanya sesaat sebelum Nolan tiba-tiba menghampiri mereka. CEO perusahaan itu dikenal sebagai pria arogan. Pembawaannya yang dingin dan keras jika menyangkut pekerjaan sering memunculkan penilaian buruk lainnya, cenderung dilebih-lebihkan. Nolan memang jarang sekali berbaur dengan bawahannya. Saat ini kehadirannya di tengah-tengah karyawan merupakan sesuatu yang langka.

Nolan banyak menjadi perbincangan, terutama rumor yang menyatakan bahwa ia memiliki banyak wanita. Sekalipun benar, rasanya bukanlah suatu masalah, mengingat dalam segi paras maupun materi, Nolan jauh di atas normal. Wajahnya yang tampan dengan tambahan nilai karismatik sepertinya cukup untuk membuat para wanita jatuh hati. Terlebih, kesuksesan Nolan di usia muda mampu menjerat wanita-wanita itu sampai bertekuk lutut.

Sayangnya, selama ini Nolan menganggap wanita-wanita yang dekat dengannya tidak lebih dari sekadar hiburan. Dalam artian, Nolan sekadar bermain-main.

“Pak,” sapa Grey sembari membungkuk badan kemudian disusul dengan Violet yang semakin gugup oleh kehadiran Nolan.

“Boleh saya ikut bergabung?” izin Nolan, seperti basa-basi sebab kenyataannya ia sudah duduk lebih dulu.

“Silakan, Pak.” Grey dengan senang hati memperbolehkan Nolan ikut bergabung.

Berbeda dengan Grey, bagi Violet kehadiran Nolan merupakan malapetaka. Terdengar berlebihan memang, tetapi Violet mampu memprediksikan dirinya tidak bisa menikmati makan siang. Memandang Nolan dari kejauhan saja sudah membuat Violet berdebar, sekarang dengan sosok Nolan yang ada di dekatnya, di depan matanya, rasanya sulit untuk Violet menikmati udara dengan bebas. Tubuhnya pun mulai panas dingin. Astaga, sebesar itu pengaruh Nolan baginya.

“Mari makan, Pak.” Grey bersikap hormat.

“Iya, teruskan. Saya sudah makan tadi,” tolak Nolan. Memang pembawaan Nolan ini kerap kali berubah. Terkadang, ia bisa menjadi atasan paling tegas tanpa toleransi. Terkadang juga ia bisa sangat ramah, tetapi hanya dalam waktu tertentu. Grey sebenarnya bertanya-tanya dengan sikap Nolan saat ini. Dia justru merasa waswas.

“Kau sudah siap dengan kenaikan jabatan bulan depan?” tanya Nolan tiba-tiba.

Grey yang hendak memasukkan sendok ke dalam mulut seketika mengurungkannya, meletakkan kembali sendok ke atas piring. Pasalnya, Nolan sebelumnya tidak pernah membahas hal itu, ia cenderung abai terhadap masalah apa pun kecuali mengenai perkembangan perusahaan. Bahkan, kemungkinan besar Nolan tidak tahu tentang Grey. Yang menunjuk Grey juga bukan Nolan, melainkan bawahannya. Selaku CEO, Nolan tidak ikut campur dalam struktur kecil pimpinan perusahaan.

Grey terdiam sesaat. Dia melirik Violet di sampingnya yang sibuk meremas kedua jemari.

“Saya siap, Pak,” jawab Grey. “Tapi, kenapa Bapak bisa tahu? Maksud saya, Bapak mungkin tidak mengurusi masalah seperti ini.”

“Benar. Saya baru tahu tadi saat mereka membicarakanmu.”

Grey mengangguk mengerti. Pertanyaannya terjawab perihal Nolan yang tahu tentang dirinya. Nolan yang biasanya dingin, tetapi sekarang bersikap perhatian yang sewajarnya membuat Grey waspada.

Dibuka pertanyaan tak terduga, obrolan mereka menjadi sangat serius. Ini terkait perusahaan yang hendak melakukan ekspansi, merambah ke berbagai produk. Ternyata Grey memiliki andil besar, sebagai pencetus ide dalam proyek kali ini. Pantas saja ia dipromosikan naik jabatan. Violet yang mendengar itu diam-diam bangga dengan sahabatnya.

“Saya setuju dengan ide yang kamu ajukan. Saya sudah mendengarnya. Itu makanya saya tertarik untuk melihatmu secara langsung,” jelas Nolan jujur.

Seketika itu pula Grey mengembuskan napas lega. Rasa waswas yang tadi ia terapkan berangsur-angsur menghilang. Namun, sekarang muncul satu rasa baru—gugup. Bukan hanya Violet yang merasa terintimidasi dengan Nolan, tetapi Grey pun merasakan hal yang sama. Betapa Nollan memiliki aura memikat yang mudah membuat lawan bicara terlihat kecil.

Grey mengerti mengapa Violet dan para wanita di perusahaan ini menyukai Nolan.

Nolan itu sempurna.

Grey menjadi orang nomor sekian yang akan menyetujuinya, yang pertama tentu saja, Violet. Sejak masa kuliah dulu Violet sudah terpikat dengan Nolan, Casanova kampus. Nolan selalu menjadi bahan perbincangan menarik. Nolan yang memiliki pacar baru, atau Nolan yang baru putus, Nolan yang berprestasi, bahkan Nolan yang mengganti mobil baru. Seolah dunia terpusat pada Nolan.

“Terima kasih, Pak. Suatu kehormatan bagi saya bisa berbicara langsung dengan Bapak.”

“Apa saya terlihat sudah tua?”

Violet yang hendak berpura-pura sibuk dengan ponselnya kini ikut menengok. Dia ingin sekali menjawab, tetapi sepertinya pertanyaan itu bukan ditujukan untuknya, sehingga ia memilih untuk diam dan lagi-lagi sibuk dengan ponselnya.

“Ti-tidak. Sama sekali tidak, Pak. Bapak terlihat masih muda.” Grey gelagapan.

“Kalau begitu, jangan panggil saya bapak. Panggil saya Bos,” tekan Nolan. Raut wajahnya sangat serius. Grey mengangguk patuh, begitu pun dengan Violet meski wanita itu sendiri bukan lawan bicara Nolan.

Obrolan itu berlanjut sampai jam istirahat hampir selesai. Selama itu pula Violet merasa keberadaannya tak dianggap. Namun, ia mengerti, ranah Nolan sangat berbeda. Senior kampus yang ia kagumi dulu sekarang adalah atasannya.

Kenapa sangat sulit menjangkau Nolan bagi Violet?

“Saya harap semuanya selesai sebelum ulang tahun perusahaan nanti,” pungkas Nolan kemudian beranjak dari duduknya.

Namun, sebelum Nolan sempat berbalik, Grey memanggilnya lagi. “Pak, maaf—Bos. Apa di pesta ulang tahun perusahaan diharuskan membawa pasangan?”

“Benar. Peraturannya memang wajib membawa pasangan. Tujuannya agar orang terdekat juga tahu tempat kerja kita.”

Dari penjelasan Nolan, Grey kontan berpikir untuk memilah wanita mana yang akan ia ajak ke pesta, yang pasti bukan Violet. Namun, jika ia membawa wanita lain, bagaimana dengan Violet?

“Baik, Bos. Terima kasih banyak.”

“Masih ada waktu kalau kamu belum memiliki kekasih. Tapi—“ Nolan memandang Violet. “Sepertinya kamu tidak memikirkan hal itu, ya.”

Ketika pandangan Nolan menuju Violet, Grey juga mengarahkan pada titik yang sama. Senyuman Nolan bisa bermakna lain. “Jangan terlalu memikirkannya. Padahal saya sendiri juga belum tahu akan membawa siapa.”

Grey tidak percaya dengan Nolan. Grey yakin bahwa Nolan sudah memiliki kandidat wanita yang akan menemaninya. Pertanyaannya, siapa yang akan Nolan pilih?

“Kriteria wanita yang Bos suka seperti apa memang?” Grey agak menyesal setelah menanyakan pertanyaan yang barangkali terlalu jauh, menjurus masalah pribadi yang terlalu lancang.

Nolan berpikir beberapa saat. Raut wajahnya seperti berpikir. “Saya suka dengan wanita seksi,” ucapnya. Setelahnya Nolan tertawa kecil.

Baiklah, mulai detik ini Grey akan menyulap Violet seperti tipe ideal Nolan. Terlepas Nolan hanya membual atau memang berbicara kenyataan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
wah pak Nolan mesum igh. maunya yg seksi2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status