Leher Aura terjulur untuk mengintip isi piring Cakra. "Itu sudah mau selesai. Aden pinter deh makannya."
"Kalau aku melarangmu pergi? Apa kamu akan tetap keluar dengan Oppa?" Cakra memaksakan keberuntungannya.
"Kalau gitu, aku ambil waktu istirahat. Pergi dulu ya, Den," pamit Aura yang melambaikan tangan, bak putri kecantikan.
Hal ini membuat Cakra geram. Semakin lama Aura menjadi semakin cerdas, kalau bersama dengan Oppa.
Dia pun beranjak hendak mengikuti diam-diam, tapi gawainya berdering. "Halo, selamat malam, Pak Hans," sapa Cakra dengan ramah. Padahal, saat ini dia sedang dilanda kepanikan level tinggi.
"Selamat malam, Pak Cakra. Saya dengar dari Hansel, kalau Anda merekomendasikan sebuah pesta. Saya sangat menghargai us
"Konyol,""Nggak, jangan konyol dong, Kang. Tokoh wanitanya harus elegan," protes Lilis yang meraih laptop Prabu, kemudian mengganti deskripsi tokoh."Lis, kamu tuh cocok banget kalau nulis tokoh wanita yang koplak.""Kakang kok gitu? Ini sebenarnya mau bilang kalau aku koplak, kan? Hayo ngaku!" Lilis melemparkan pandangan ke arah tembok tinggi di samping kanan. Sengaja memperhatikan cicak-cicak yang asik bercanda, agar tidak perlu melihat mata Prabu, karena akan membuatnya luluh.Suara helaan napas Prabu yang kasar terdengar. "Bukan gitu, Lis. Kamu itu beneran cocok nulis tokoh wanita yang koplak.""Tapi aku tuh waras, Kang. Nggak mau nulis yang koplak-koplak gitu!"Di teng
"Den, Aden tahu nggak?" Aura menoleh ke samping, untuk meminta bantuan."Tentu saja aku tahu, tapi kita lihat reaksi Poppy dan Dila. Siapa yang bisa mengenali pasangannya." Cakra sengaja tidak langsung menjawab. Padahal sebenarnya, dia bisa mengetahui perbedaan mereka, hanya dengan melihat benang takdir yang terikat di jari kelingking."Pak, Bu Poppy dan Bu Dila sudah datang." Salah satu pegawai mereka yang bernama Indro, mengabarkan hal itu.Kedua Hans mengambil sebuket bunga yang sama persis, lalu mereka menuju ke depan, untuk menyambut pasangan masing-masing. Aura dan Cakra mengikuti di belakang."Kira-kira kedua wanita itu bakal salah pilih nggak ya?" bisik Aura sambil melingkarkan tangan ke lengan Cakra."Aku tidak yakin
"Nenek!" panggil Aura dengan lebih keras.Gadis itu menghambur ke pelukan sang nenek. Rasa iba menyusup ke relung hati Cakra, hingga pria itu tergerak untuk mendekat, kemudian menepuk bahu Aura dengan lembut."Bercandanya nggak lucu, Nek," protes Aura yang sudah mengurai pelukan.Nenek Aura terbahak-bahak, kemudian matanya tertuju pada Cakra. "Kenapa pacarnya dicuekin. Nggak mau dikenalkan ke Nenek?""Dia ini majikannya Aura, bukan pacar," ralat Aura dengan cepat.Meskipun demikian, Cakra bisa melihat pipi gadis itu bersemu merah. Apakah memang mudah merona atau gimana?"Perkenalkan, saya Cakra. Atasan Aura," ucap Cakra sambil mengulurkan tangan.
“Silakan duduk, Pak Cakra,” ucap pria yang mendahului masuk ke dalam ruang kerja Cakra.“Seharusnya saya yang mempersilakan Anda untuk duduk. Silakan duduk, Pak…?“Iswanto, nama saya Iswanto. Saya dengar Anda adalah makcomblang jitu. Jadi, saya mendaftar di biro jodoh yang Anda kelola. Kemarin asisten Anda menjadwalkan pertemuan di sore hari, tapi karena saya ada acara. Jadi, saya memberanikan diri datang ke sini.” Pria itu duduk di sofa yang menghadap ke arah pintu kaca.“Perkenalkan, saya Cakra dan ini asisten saya yang bernama Aura.” Tangan kanan Cakra direntangkan untuk memperkenalkan gadis yang berdiri di samping sofa, yang didudukinya.Setelah memberi salam, gadis itu mengambilkan tablet untuk Cakra. “Ini file
“Tutno ngasi mentok!” Cakra membaca mantra, membuat benang biru yang melingkari smartwatch berpendar. Benang itu bergerak memutar, kemudian ikatannya terbuka, lalu meluncur menuju jari kelingking. Benang biru itu menyusuri benang takdir, seolah itu adalah jalan yang harus dilewati.Cakra mengernyit, saat ini benang takdir Iswanto semakin mengendur dan terus memanjang. Ini berarti takdir pria itu mulai bergerak menjauh. Namun, saat sudah separuh jalan, tiba-tiba benang takdir memendek.“Ombo sing ombo meneh!” Cakra buru-buru memperluas jangkauan bola kristal.Cakra bisa melihat Iswanto, yang sedang mengangkat sebuah pot berisi bunga Daisy warna putih. Kemudian terlihat tempat duduk pesta yang dilapisi dengan beludru. Saat pandangan semakin lebar, Cakra bisa melihat jalan luas di depan gedung.
“Baiklah. Akan kuberi satu kesempatan,” ucap Cakra dengan ragu.Sebenarnya, dia tidak mau meladeni Prabu, takut kalau pria itu ternyata adalah benar jodoh Aura. Namun, dia kembali teringat dengan Hansel, kalau pria itu bisa diberi kesempatan, seharusnya dia bisa memberikan kesempatan yang sama pada Prabu.“Saya sudah menantikan jawaban ini cukup lama. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera melamar Aura.” Binar di mata Prabu membuat Cakra terdiam.Kalau rasa cinta Prabu sedemikian besar untuk Aura, seharusnya dia bisa mengusahakan untuk membantu. Bukan malah menjegalnya. LAgipula, Cakra sudah putus asa dalam mendapatkan jodoh.“Saya akan menemuimu besok jam 9 di Kafe Jingga. Silakan bawa Aura ke sana, tapi saya hanya akan mengawasi dari kejau
Bahu Aura bergerak naik turun beberapa kali, tanda sedang mengatur pernapasan. Ini bukan kejadian pertama kali, harusnya dia sudah lebih berpengalaman, tapi kenapa masih bisa sepanik ini? Dia masih merasa cemas kalau-kalau terjadi sesuatu saat Cakra mengurung diri.“Tenang Aura, pasti tidak akan ada masalah. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin,” bisik Aura pada dirinya sendiri.Tak butuh waktu lama bagi Aura untuk kembali bersikap rasional. Dia sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil.“Den!” teriak Aura sambil mengetuk pintu dengan lebih keras. Dia mengetuk dengan irama lagu kekinian yang ada di platform joget-joget. Kalau kesimpulannya tepat, dalam beberapa detik lagi pintu pasti akan terbuka.“Iya, sebentar. Stop ketuk pin
Mata Binar membelalak ketika bertemu pandang dengan Cakra. Sedetik kemudian, gadis yang mengenakan kaus sewarna tanah itu membalikkan badan, lalu berlari kencang. Cakra yang tidak menduga akan hal itu pun buru-buru mengejar, tapi sesosok tubuh mungil dengan kedua tangan terentang, menghalanginya.“Aden ada keperluan apa di sini?”“Minggir!” usir Cakra dengan suara meninggi.Namun, gadis itu malah semakin bertekad menghalangi langkahnya. Padahal tangan Cakra mulai berkeringat , karena mulai takut kehilangan jejak Binar.“Aden bilang dulu, mau apa ke sini? Aden ngikutin aku?” tuduh Aura dengan mata menyipit.Karena sudah tidak sabar lagi, Cakra meletakkan kedua tangan di pinggang Aura, kemudi