Hallo.. Selamat hari raya Idul Adha (bagi yg merayakannya) 💕
Lampu ruang keluarga menyala lembut, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan ketegangan di dalamnya. Helena berdiri di depan jendela, memeluk tubuhnya sendiri, sementara Alfonso duduk tenang di sofa. Grassiela, yang baru saja menyampaikan niatnya untuk menemui James, berdiri di tengah ruangan seperti pusat badai.Keheningan seketika menggantung di udara.Helena membeku, matanya membelalak. Dalam sekejap, tubuhnya terasa lemas.“Apa yang kau katakan barusan?” suara Helena nyaris berbisik, seolah berharap dirinya salah dengar.Grassiela tidak mengulanginya. Ia hanya menatap ibunya dengan tenang.Helena menutup mulutnya dengan tangan, lalu menggeleng perlahan. “Tidak. Tidak, Grace. Kau pasti bercanda. Ini... ini gila.”Dengan menahan panik, ia berdiri di hadapan putrinya, kedua tangannya menggenggam lengan Grassiela seolah ingin menahannya agar tidak pergi ke mana-mana. "Kau tidak bersungguh-sungguh, kan? Katakan bahwa ini ha
Suara tawa anak-anak masih memenuhi ruang keluarga yang luas, dipenuhi kilau lampu gantung dan aroma teh hangat serta biskuit vanila. Kertas-kertas kado berserakan di lantai, suara sobekan pita dan bisikan penasaran anak-anak mengalun pelan. Elara duduk bersila di karpet empuk di tengah ruangan, wajahnya berseri-seri saat menatap kotak kado besar berwarna merah muda dengan pita emas.Ia menoleh ke Aidan yang juga sibuk membuka kadonya sendiri sebelum membuka kotak itu.Dengan hati-hati, Elara membuka tutup kotak. Lalu senyumnya perlahan memudar. Di dalam kotak itu... terlihat sesuatu yang berat, gelap, dan dingin.Sebuah rompi anti peluru hitam terlipat rapi, dengan pelat logam tersembunyi dan jahitan militer yang kasar. Gadis kecil itu memandangnya lama dan kebingungan."Apa... ini?" bisiknya.Zack dan Alexa segera menghampiri, ekspresi mereka berubah. Alexa berlutut di samping Elara, Zack menyentuh rompi itu dengan alis terangkat tinggi
Malam menuruni langit Cestershire dengan tenang, menyelimuti kastil Stamford dalam keheningan mewah setelah pesta ulang tahun yang berlangsung meriah siang tadi. Balon-balon emas dan pita perak masih menggantung di beberapa sudut ruangan, dan aroma manis dari sisa kue vanila krim keju masih tersisa di udara.Ruang keluarga utama kini tampak hangat, tenang, dan penuh keintiman. Lampu gantung kristal dipadamkan separuhnya, menyisakan cahaya kuning keemasan dari lampu meja dan perapian.Aidan dan Elara duduk berdampingan di tengah lingkaran. Wajah mereka masih merah karena kegirangan hari ini—penuh tawa, permainan, dan sorotan. Meski tubuh kecil mereka mulai lelah, mata mereka masih bersinar penasaran.Zack Stamford duduk di sofa panjang, tersenyum dan mengamati, tangannya melingkari bahu Alexa. Tak jauh dari mereka, Eveline, sang nenek, duduk di kursi dengan cangkir teh bergenggam porselen, matanya hangat dan penuh nostalgia.Grassiela duduk bersama
Udara menjelang malam terasa hangat, dan langit di atas kastil Cestershire perlahan berubah jingga. Di halaman luas yang mulai dihiasi balon-balon, tali pita, dan panggung kecil, para pekerja sibuk mempersiapkan pesta ulang tahun anak kembar Zack Stamford dan Alexa yang akan digelar esok hari. Dari balkon atas, Zack mengamati segalanya dengan mata teliti. Sesekali ia memberi instruksi pada staf lewat interkom. Tak lama kemudian, David masuk dengan langkah tenang. Ia membawa map cokelat di tangannya. “Zack,” sapa David. “Ada yang harus kau lihat.” Zack mengisyaratkan agar David duduk. “Apa itu?” David menyodorkan dokumen. “Namanya Drayson Marazzi. Pernah dengar?” Zack mengambil map dan membuka isinya. Foto seorang pria muda dengan tatapan tajam terpampang di dalamnya, disertai ringkasan identitas dan pergerakannya belakangan ini. Zack menggeleng pelan. “Tidak. Tapi nama belakangnya... Marazzi?” “Anak mendiang Maccini,” ungkap David. “Menurut Grassiela, dia yang memberikan dokum
Sebuah pernikahan. Ikatan yang sakral. Janji yang terucap di hadapan Tuhan. Dua cincin yang disematkan di jari manis masing-masing. Perjanjian pernikahan. Sekuntum mawar merah. Seuntai kalung berlian. Sebutir peluru. Setets air mata. Dan, sebuah nyawa. Grassiela mengusap perutnya yang mulai membuncit. Dia menatap dari balik jendela tinggi kamarnya, sorot matanya penuh gejolak. Puluhan mobil yang melaju mendekati kastil berdinding batu tua yang telah berdiri berabad lamanya. Langit pagi di atas Cestershire diselimuti kabut tipis, menciptakan kesan seperti medan perang yang baru akan dimulai. Dia beranjak, keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa, jantungnya berdetak kencang tak karuan. Setiap desah napas membawa kecemasan yang kian mencekik. Sejak kabar mobil-mobil hitam itu datang, hatinya tak bisa tenang. Apakah itu James? Apakah dia datang untuk membalas? Ataukah dia datang untuk membawanya kembali ke Moscow? Greta, pelayan setianya, berusaha menghalangi. “Nona, tolong kem
Di pinggiran kota Newcastle, di sebuah rumah tua bergaya Victoria yang berdiri tenang di tengah kabut musim semi, Alfonso Stamford sedang duduk di ruang kerjanya. Bangunan ini terlihat biasa dari luar—halaman rapi, pagar besi tua, jendela besar menghadap taman. Namun di dalamnya, rumah itu adalah bekas markas yang sunyi dari seorang pria yang dahulu dikenal sebagai maestro strategi keluarga Stamford. Waktu menunjukkan pukul 17.06 ketika notifikasi muncul di pojok layar laptop tua Alfonso. Hanya satu nama: Grassiela. Ia menatap layar dalam diam, lalu membuka pesan terenkripsi itu. Di dalamnya, laporan singkat dalam bahasa administratif yang terlalu rapi untuk dianggap biasa. Namun Alfonso tentu dapat langsung memahaminya. Properti Moskow berarti mansion Draxler. Penghuninya tak lagi bersahabat. Karantina dan kosongkan berarti semua orang harus keluar. Bersihkan dari struktur lama, dan api bisa digunakan — artinya: bakar habis! Alfonso tidak tersenyum. Tapi dari sorot matanya yan