Tinggal beberapa bab terakhir.. Kalian bisa ikutin cerita Arabella di WP atau pf sebelah 💕
Angin di landasan membuat ujung rambut Grassiela berkibar pelan saat ia melangkah keluar dari mobil. Matanya membulat, tak percaya pada pemandangan di hadapannya—sebuah pesawat pribadi mengilap, dengan logo kecil di ekornya yang tak asing baginya, Sicaryovskaya. Cahaya matahari pagi memantul di permukaannya, membuatnya terlihat semakin megah, namun justru menyesakkan dada.Di belakangnya, deretan mobil hitam berhenti berurutan. Dari mobil kedua, Alfonso turun lebih dulu, langkahnya tegas namun tanpa senyum. Helena muncul sambil menggendong cucunya erat-erat, wajahnya teduh namun tak terbaca. Seorang perawat menyusul, diikuti beberapa pelayan yang sigap membawa koper-koper besar.Grassiela tetap berdiri mematung, jarinya meremas pegangan tas kecilnya. Lalu dari pintu pesawat, seorang pria bertubuh tegap turun perlahan. James. Dengan setelan jas gelap yang rapi, ia menapaki tangga pesawat seolah menguasai seluruh udara di sekitarnya.Dia berjalan ke arahnya tanpa ragu, tatapannya tagas
Cahaya siang hanya masuk sedikit dari jendela yang tertutup tirai. Sebuah lampu meja menyala redup di atas meja kerja besar dari kayu mahoni. Aroma cerutu dan kayu tua memenuhi ruangan. Suasana hening, hanya terdengar detak jam dinding. Di hadapan James, duduk seorang pria berusia lima puluhan dengan setelan sederhana, wajahnya penuh luka batin yang tak bisa ditutupi. Namanya Igor Vasely, matanya bengkak, suaranya gemetar. Igor berusaha menahan tangis, dia berkata, "Putra saya, Matteo... dia baru berusia tujuh belas. Pintar, lembut, penyayang ibunya... tapi mereka—anak-anak itu—memperlakukannya seperti binatang." Air matanya jatuh perlahan dan Igor segera menyeka dari wajahnya. "Mereka memukulnya, menyeretnya, menyebarkan videonya. Dia kesakitan... dia ketakutan... dan..." Igor terdiam. Lalu kemudian menangis tanpa suara. James duduk tenang di balik mejanya, wajahnya seperti patung batu. Di sisi kanan ruangan berdiri Fausto dengan tangan di belakang punggung. Di sisi lain, Alexsei,
Lantai tertinggi rumah sakit itu seperti dunia yang terpisah. Sunyi. Dingin. Dipenuhi bau antiseptik dan parfum mahal dari jas-jas para pria penting yang kini memenuhi ruang duduk mewah berbalut kulit gelap dan furnitur berkelas. Jendela kaca besar menampilkan lanskap malam kota Moscow yang diliputi kabut tipis, seolah mendukung aura muram pertemuan itu.Di tengah ruangan, James duduk di kursi dengan posisi sedikit membungkuk. Kemeja hitamnya kusut, kancing paling atas terbuka, memperlihatkan garis luka lama di tulang selangkanya. Rambutnya sedikit acak-acakan, matanya merah, bukan karena marah—melainkan karena berjaga semalaman menanti kabar dari ruang NICU, tempat bayi kecilnya terbaring, berjuang antara hidup dan mati.Namun meski tampak seperti pria yang baru saja diseret dari neraka, auranya tetap menguasai ruangan. Tak satu pun dari dua belas orang di ruangan itu berani menunjukkan kelemahan.Alexsei berdiri tegap di dekat pintu, lengan dilipat,
Suara monitor berdenting cepat, lampu sorot di atas kepala menyilaukan pandangan. Napas Grassiela terengah-engah. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi dahinya. Beberapa bidan dan dokter bergerak cepat di sekelilingnya, suara mereka terdengar seperti gema di tengah rasa sakit yang mengoyak tubuhnya.“Sudah bukaan sembilan! Ayo, Nyonya Draxler, sedikit lagi!” seru salah satu bidan.Grassiela menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan jeritan. Tapi rasa sakit itu... terlalu nyata, terlalu menyayat. Air matanya menetes, bukan hanya karena kontraksi yang menyiksa, tapi juga karena ketakutan yang menyelimutinya.Di sisi ranjang, James berdiri kaku. Tangannya menggenggam erat tangan Grassiela, begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Matanya liar menatap sekeliling. Dia bukan pria yang biasa melihat ketidak berdayaan orang yang dicintainya.“Sialan! Kenapa kalian tidak berbuat banyak?! Lakukan sesuatu! Cepat!” bentaknya pada salah satu perawa
Angin berembus ringan, namun ketegangan di antara keduanya jauh lebih tajam dari udara pegunungan. Dedaunan bergoyang pelan di sekitar mereka. James meraih tangan Grassiela sebelum wanita itu sempat melangkah pergi, seolah takut kehilangan. Lagi.Mereka saling menatap. Pandangan yang dulu pernah menyala karena cinta, benci, dendam, kini dipenuhi luka dan sisa-sisa rasa yang tak pernah benar-benar padam.“Masuklah,” ucap James lirih, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Istirahatlah sebentar. Kau terlihat lelah.”“Aku tidak datang untuk itu,” sahut Grassiela, masih berusaha mempertahankan keteguhan suaranya. “Aku datang untuk permintaan yang tak kau penuhi.”“Kalau begitu seharusnya kau tak datang,” jawab James, lalu tanpa menunggu izin, dia membungkuk dan mengangkat Grassiela ke dalam pangkuannya.“James, turunkan aku...”“Jangan mencoba memberontak,” bisiknya tajam namun terdengar cemas. “Kau bahkan terlalu lemah untuk b
Langit biru terbentang tanpa cela, hanya diwarnai oleh satu titik hitam yang membesar mendekat—sebuah helikopter pribadi tipe AgustaWestland AW109, elegan dengan lapisan logam mengilap dan logo kecil Sicaryovskaya di pintunya. Dari kejauhan, suara baling-baling memecah keheningan di atas perbukitan. Di bawahnya, tersembunyi di tengah rindangnya pepohonan pinus dan bunga mawar liar, berdiri sebuah bangunan megah bergaya klasik Eropa—bukan seperti penjara, melainkan seperti resort milik bangsawan yang sedang “mengasingkan diri.” Helikopter mendarat mulus di atas helipad pribadi di sisi timur kompleks. Angin dari putaran baling-baling menyingkap tirai-tirai tipis yang tergantung di gazebo dekat taman. Pintu helikopter terbuka. Turunlah Grassiela, perlahan namun tegas, mengenakan mantel wol merah panjang yang menutupi tubuhnya yang kini tengah hamil besar. Rambutnya diikat anggun, sepatu hak rendah menjejak ringan di tanah, wajahnya teduh namun kuat. Di belakangnya, Greta, seorang pela