Di dalam ruang rawat yang sunyi, hanya suara alat medis yang berbunyi pelan dan sesekali suara dentingan saat Grassiela menggerakkan sendok di piringnya. Mrs. Runova duduk di seberangnya, tersenyum senang melihat bagaimana wanita muda itu menyantap makanan yang ia bawakan dengan lahap.
"Apa anda benar-benar menyukai masakan saya?" Runova terkekeh, matanya berbinar penuh kasih.Grassiela mengangguk sambil mengunyah. "Masakan Anda memang yang terbaik, Mrs. Runova. Aku tak bisa menolaknya."Wanita paruh baya itu tertawa kecil dan menuangkan segelas jus jeruk segar. "Saya juga membuatkan jus jeruk yang banyak untuk anda, seperti pesanan anda biasanya."Grassiela menerima gelas itu dengan senang hati, menyesapnya perlahan. Rasa segar dan asam manis menyebar di lidahnya, membuatnya sedikit lebih rileks setelah semua ketegangan yang ia lalui. Ia melirik ke tempat tidur di mana James masih terbaring tak sadarkan diri, napasnya stabil namun tetap tak ada tSuasana ruang kerja Benicio masih dipenuhi aroma tembakau dan kayu mahoni setelah rapat panjang yang dihadiri para petinggi kelompok bisnis. Lampu gantung berwarna keemasan menerangi meja panjang yang penuh dengan dokumen, gelas-gelas wiski kosong, dan asbak berisi puntung cerutu. Sore itu, semua orang telah meninggalkan ruangan kecuali empat orang—Benicio, sang tuan rumah, Fausto yang duduk dengan ekspresi malas, Sergei yang masih memeriksa sesuatu di ponselnya, dan Alexsei yang tampak tenang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Benicio menuangkan wiski ke dalam gelasnya dengan gerakan santai, lalu menatap mereka. "Kalian pikir, seberapa buruk dampaknya jika James tidak bisa kembali memimpin dalam waktu dekat?" Sergei mendengus sambil mengangkat satu alisnya. "Bukan masalah jika hanya beberapa minggu. Tapi kalau lebih lama? Musuh akan mulai mencium kelemahan. Dan orang-orang kita… mereka mulai bertanya-tanya." Fausto akhi
Tangisan bayi pertama itu menggema di ruangan yang dipenuhi oleh dokter dan perawat. Seiring dengan suara tangisnya, sorak sorai dan tepuk tangan bergema di luar ruangan, di antara kerumunan keluarga, rekan bisnis, serta orang-orang kepercayaan Fyodor Draxler. Seorang putra telah lahir. Seorang pewaris. Seorang calon Bos mereka. Masa depan kerajaan bisnis Draxler kini memiliki penerus. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Fyodor justru berdiri membisu di samping ranjang istrinya. Tatapannya kosong, tangannya gemetar saat menggenggam tangan wanita yang kini terbaring tak lagi bernapas. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan sesuatu, tapi yang keluar hanyalah bisikan berat yang dipenuhi kepedihan. Wanita yang paling dicintainya, yang ia janjikan akan hidup bahagia bersamanya, kini telah pergi. “Selamat, Tuan Draxler. Putra Anda sehat dan kuat.” Fyodor tak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat, seolah berharap kehangatan
Grassiela duduk diam di atas kasur ruang rawat VVIP, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian. Selimut putih membungkus tubuhnya yang terasa lemah, sementara tatapannya kosong menatap jendela besar di seberang ruangan. Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan warna jingga redup di langit. Di sampingnya, Runova dengan sabar mencoba membujuknya untuk makan. “Nyonya, anda harus makan sesuatu. Saya tahu anda tidak nafsu makan, tapi tubuh anda terlalu lemah. Setidaknya beberapa suap saja.” Grassiela tetap diam, pikirannya melayang entah ke mana. Mual, pusing, dan kelelahan terus menggerogoti tubuhnya, tapi bukan itu yang membuatnya merasa benar-benar hancur. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa James… mengabaikannya.Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Bagaimana keadaan James?” Runova tampak sedikit terkejut karena akhirnya Grassiela berbicara. “Kondisinya berangsur pulih. Sudah jauh lebih baik sekarang."Grassiela terdiam, mencoba mencerna kaba
Di dalam ruang rawat yang masih berbau khas antiseptik, Runova sibuk membereskan barang-barang Grassiela ke dalam koper. Tangannya cekatan melipat pakaian, sementara matanya sesekali melirik ke arah Grassiela dan Alexsei yang tengah berbicara di dekat jendela. Grassiela berdiri dengan wajahnya yang masih pucat, namun tatapannya serius. Alexsei, dengan sikap tenangnya yang khas, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatapnya dalam. "Jika kau pulang sekarang dan menghadapi James, maka kau akan mendapatkan keputusan saat itu juga," kata Alexsei, suaranya datar namun tegas. Grassiela tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Napasnya terhela pelan sebelum ia berbalik menghadap Alexsei. "Aku siap dengan keputusan apa pun," ucapnya penuh keyakinan. "Aku tidak mau mengulur waktu dengan ketidak pastian. Semua harus diselesaikan secepatnya." Alexsei menatapnya beberapa detik, seolah ingin memastikan
Langit sudah menjadi gelap ketika Grassiela turun dari mobil, tumit sepatunya menghantam aspal basah di halaman mansion. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dinginnya hatinya saat ini. Di kanan dan kirinya, para pelayan dan pengawal berjejer rapi, menundukkan kepala penuh hormat saat dia melangkah melewati mereka. Grassiela berdiri diam di depan mansion megah itu, kepulangan yang seharusnya menjadi hal biasa justru terasa seperti hukuman. Matanya menelusuri tiap detail bangunan yang pernah ia pikir akan menjadi tempat tinggalnya, tempat di mana ia bisa menyentuh hati James dengan caranya sendiri. Namun, kenyataan telah membuktikan betapa keliru pikirannya. Mansion ini bukan istana tempat ia menjadi permaisuri, melainkan sebuah kurungan yang perlahan-lahan menghancurkan jiwanya. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah mengingatkannya pada semua luka yang pernah terukir di tempat ini. Para pelayan yang berbaris rapi di pintu masuk masih membungk
Hukuman mati. Grassiela berdiri membeku, tubuhnya terasa seakan kehilangan daya saat kata-kata James menghantamnya seperti belati tajam. Matanya membesar dalam keterkejutan yang begitu nyata. "Tak ada lagi pengampunan," suara James terdengar parau, nyaris bergetar, tapi tegas. Sepasang mata kelabunya menatap Grassiela penuh kepedihan. "Kau telah menghancurkan semuanya. Kau membunuh kepercayaanku, membunuh rasa hormatku padamu, membunuh… cintaku." Dunia Grassiela seketika runtuh. Jantungnya berdebar begitu kencang, bukan karena amarah atau ketakutan, tetapi karena kesakitan yang mengoyak hatinya. Semuanya selesai. Bukan karena putusan hukuman mati yang dijatuhkan padanya dengan tidak adil. Melainkan karena Grassiela sudah benar-benar kehilangan cinta James. Kehilangan satu-satunya alasan untuk dia bertahan. James mendekatinya, ekspresinya gelap dan penuh keputusan. "Kau satu-satunya wanita yang membuatku tergila-gila," bisiknya. "Tapi kini aku sadar, terbuai dalam cinta hany
Rintik hujan membasahi kaca jendela mobil hitam yang melaju kencang di jalanan sepi, membelah gelap malam seperti peluru melesat tanpa arah. Di kursi belakang, Benicio duduk gelisah. Kedua tangannya terkepal erat di pangkuan, dan sesekali ia menengok jam tangannya, seakan jarum detik adalah algojo yang memburunya. "Percepat lagi," katanya pada sopir muda di depan. Suaranya dalam dan berat, tapi penuh kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Lalu pedal gas yang ditekan terdengar jelas setelah itu. Benicio memejamkan matanya. Wajah Grassiela melintas— wajah yang pucat, lemah, dengan napas berat, menggenggam pergelangan tangannya saat ia mengucap: "Sebagai seseorang yang akan dijatuhi hukuman mati, aku berhak meminta sesuatu, bukan?" "Aku ingin kau merahasiakan kondisiku. James tak akan mengetahuinya. Dia tidak akan pernah mendapatkannya." Saat itu, Benicio ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa James berhak tahu. Dan fakta itu akan menjadi kunci untuk menyelamatkan nyawanya dari huk
Di tengah ruang makan yang luas dan temaram, James duduk sendirian di ujung meja panjang dari kayu. Kepulan asap cerutu melayang lambat di udara, mengambang bersama kenangan yang tak juga pudar.Tangannya yang kekar menggenggam cerutu setengah terbakar, sementara matanya menatap kosong ke piring kosong di hadapannya. Tidak ada pembicaraan bisnis, tidak ada suara sendok beradu dengan piring, tidak ada suara Benicio yang suka berdebat mengenai kebijakan bisnis dengan Sergei, tidak ada Alexsei yang mengumpat karena mereka terlalu berisik, dan tidak ada Grassiela yang kesal karena meja makan berubah menjadi tempat rapat dadakan. Kini ruangan itu sunyi. Hampa.James menarik napas dalam, namun dadanya tetap terasa sesak. Ia memejamkan mata. Terlintas bayangan Grassiela yang tersenyum menggodanya, kadang-kadang juga mengomel saat dia sedang marah pada dunia. James biasa melihatnya duduk di kursi itu. Di sampingnya.Tapi sekarang…Ja
Langit malam di Napoli dipenuhi awan hitam yang menggantung rendah seperti ancaman. Angin laut berembus garang, menyapu permukaan pelabuhan tua yang telah lama tak digunakan secara legal. Tapi malam ini, tempat itu jauh dari kedamaian. Di dalam gudang besar berlantai tiga itu, Kartel Mandez menyimpan puluhan peti senjata, narkotika, dan satu nama penting: Marco Nicaso. James berdiri di atas sebuah kapal yang mendekat tanpa suara, wajahnya tak bergerak. Di belakangnya, Matvei dan Fausto duduk seperti patung maut yang menunggu aba-aba. “Lima menit,” bisik Fausto di telinga James. “Ranmin sudah menonaktifkan alarm utama. Tapi mereka masih punya sistem cadangan.” James hanya mengangguk. Wajahnya dingin. Ia mengenakan jaket kulit hitam dan sarung tangan taktis. Di baliknya, dua belas orang anak buah terbaiknya siap mengangkat senjata. Tak ada yang bicara. Tak ada doa. Di dunia mereka, peluru lebih suci daripada harapan. Kapal merapat di sisi pelabuhan. Seorang anak buah membuka pintu lo
Seorang wanita mengemudikan mobilnya dengan tenang, melewati jalan-jalan kota, menuju mansion besar di Newcastle yang telah lama menjadi rumahnya. Setelah beberapa waktu, mobilnya akhirnya berhenti di depan pintu besar mansion. Martha, pelayan yang telah lama bekerja di mansion itu, segera menghampirinya.“Nyonya, ada tamu yang datang,” kata Martha dengan suara pelan, wajahnya menunjukkan sedikit keheranan.“Siapa?”Martha menjawab ragu-ragu, “Nyonya Helena.”Laurine terdiam sejenak. Tanpa berkata lebih lanjut, dia melangkah keluar dari mobil dan menuju taman. Di sana, dia melihat anak laki-lakinya yang masih berusia dua tahun, bermain dengan seorang wanita paruh baya.Laurine mendekat, matanya terfokus pada wanita itu.Helena, tampak senang bermain dengan anak dari keponakannya di taman yang luas. Tangan-tangannya yang lembut membelai rambut anak kecil itu, membuatnya tertawa riang. Sebuah pemandangan yang begitu damai, mes
Langit di luar jendela kamar Grassiela tampak berawan. Tirai tipis bergoyang perlahan tertiup angin. Di dalam kamar yang hangat dan tertata rapi, seorang dokter kandungan wanita, berusia sekitar lima puluhan, tengah menurunkan stetoskopnya dari telinga.Grassiela duduk di atas ranjang dengan bantal menopang punggungnya, mengenakan gaun tidur satin berwarna merah muda. Di sisi lain ruangan, Helena berdiri tampak cemas dan penasaran. Sementara Alexa, berdiri tenang di dekat pintu, memperhatikan dengan saksama.Dokter itu menatap Grassiela dengan senyum tipis. "Kehamilannya sehat, usia janin kira-kira sebelas minggu. Detak jantungnya kuat. Tapi, Anda harus benar-benar menjaga diri, Nona Grassiela. Tidak boleh ada stres berlebih." Grassiela menatap perutnya yang belum begitu tampak membuncit. Tangannya perlahan menyentuhnya. Ada keheningan yang menggantung di udara.Helena berdiri tak jauh dari ranjang, matanya mengamati setiap ger
Di tengah ruang makan yang luas dan temaram, James duduk sendirian di ujung meja panjang dari kayu. Kepulan asap cerutu melayang lambat di udara, mengambang bersama kenangan yang tak juga pudar.Tangannya yang kekar menggenggam cerutu setengah terbakar, sementara matanya menatap kosong ke piring kosong di hadapannya. Tidak ada pembicaraan bisnis, tidak ada suara sendok beradu dengan piring, tidak ada suara Benicio yang suka berdebat mengenai kebijakan bisnis dengan Sergei, tidak ada Alexsei yang mengumpat karena mereka terlalu berisik, dan tidak ada Grassiela yang kesal karena meja makan berubah menjadi tempat rapat dadakan. Kini ruangan itu sunyi. Hampa.James menarik napas dalam, namun dadanya tetap terasa sesak. Ia memejamkan mata. Terlintas bayangan Grassiela yang tersenyum menggodanya, kadang-kadang juga mengomel saat dia sedang marah pada dunia. James biasa melihatnya duduk di kursi itu. Di sampingnya.Tapi sekarang…Ja
Rintik hujan membasahi kaca jendela mobil hitam yang melaju kencang di jalanan sepi, membelah gelap malam seperti peluru melesat tanpa arah. Di kursi belakang, Benicio duduk gelisah. Kedua tangannya terkepal erat di pangkuan, dan sesekali ia menengok jam tangannya, seakan jarum detik adalah algojo yang memburunya. "Percepat lagi," katanya pada sopir muda di depan. Suaranya dalam dan berat, tapi penuh kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Lalu pedal gas yang ditekan terdengar jelas setelah itu. Benicio memejamkan matanya. Wajah Grassiela melintas— wajah yang pucat, lemah, dengan napas berat, menggenggam pergelangan tangannya saat ia mengucap: "Sebagai seseorang yang akan dijatuhi hukuman mati, aku berhak meminta sesuatu, bukan?" "Aku ingin kau merahasiakan kondisiku. James tak akan mengetahuinya. Dia tidak akan pernah mendapatkannya." Saat itu, Benicio ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa James berhak tahu. Dan fakta itu akan menjadi kunci untuk menyelamatkan nyawanya dari huk
Hukuman mati. Grassiela berdiri membeku, tubuhnya terasa seakan kehilangan daya saat kata-kata James menghantamnya seperti belati tajam. Matanya membesar dalam keterkejutan yang begitu nyata. "Tak ada lagi pengampunan," suara James terdengar parau, nyaris bergetar, tapi tegas. Sepasang mata kelabunya menatap Grassiela penuh kepedihan. "Kau telah menghancurkan semuanya. Kau membunuh kepercayaanku, membunuh rasa hormatku padamu, membunuh… cintaku." Dunia Grassiela seketika runtuh. Jantungnya berdebar begitu kencang, bukan karena amarah atau ketakutan, tetapi karena kesakitan yang mengoyak hatinya. Semuanya selesai. Bukan karena putusan hukuman mati yang dijatuhkan padanya dengan tidak adil. Melainkan karena Grassiela sudah benar-benar kehilangan cinta James. Kehilangan satu-satunya alasan untuk dia bertahan. James mendekatinya, ekspresinya gelap dan penuh keputusan. "Kau satu-satunya wanita yang membuatku tergila-gila," bisiknya. "Tapi kini aku sadar, terbuai dalam cinta hany
Langit sudah menjadi gelap ketika Grassiela turun dari mobil, tumit sepatunya menghantam aspal basah di halaman mansion. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dinginnya hatinya saat ini. Di kanan dan kirinya, para pelayan dan pengawal berjejer rapi, menundukkan kepala penuh hormat saat dia melangkah melewati mereka. Grassiela berdiri diam di depan mansion megah itu, kepulangan yang seharusnya menjadi hal biasa justru terasa seperti hukuman. Matanya menelusuri tiap detail bangunan yang pernah ia pikir akan menjadi tempat tinggalnya, tempat di mana ia bisa menyentuh hati James dengan caranya sendiri. Namun, kenyataan telah membuktikan betapa keliru pikirannya. Mansion ini bukan istana tempat ia menjadi permaisuri, melainkan sebuah kurungan yang perlahan-lahan menghancurkan jiwanya. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah mengingatkannya pada semua luka yang pernah terukir di tempat ini. Para pelayan yang berbaris rapi di pintu masuk masih membungk
Di dalam ruang rawat yang masih berbau khas antiseptik, Runova sibuk membereskan barang-barang Grassiela ke dalam koper. Tangannya cekatan melipat pakaian, sementara matanya sesekali melirik ke arah Grassiela dan Alexsei yang tengah berbicara di dekat jendela. Grassiela berdiri dengan wajahnya yang masih pucat, namun tatapannya serius. Alexsei, dengan sikap tenangnya yang khas, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatapnya dalam. "Jika kau pulang sekarang dan menghadapi James, maka kau akan mendapatkan keputusan saat itu juga," kata Alexsei, suaranya datar namun tegas. Grassiela tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Napasnya terhela pelan sebelum ia berbalik menghadap Alexsei. "Aku siap dengan keputusan apa pun," ucapnya penuh keyakinan. "Aku tidak mau mengulur waktu dengan ketidak pastian. Semua harus diselesaikan secepatnya." Alexsei menatapnya beberapa detik, seolah ingin memastikan
Grassiela duduk diam di atas kasur ruang rawat VVIP, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian. Selimut putih membungkus tubuhnya yang terasa lemah, sementara tatapannya kosong menatap jendela besar di seberang ruangan. Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan warna jingga redup di langit. Di sampingnya, Runova dengan sabar mencoba membujuknya untuk makan. “Nyonya, anda harus makan sesuatu. Saya tahu anda tidak nafsu makan, tapi tubuh anda terlalu lemah. Setidaknya beberapa suap saja.” Grassiela tetap diam, pikirannya melayang entah ke mana. Mual, pusing, dan kelelahan terus menggerogoti tubuhnya, tapi bukan itu yang membuatnya merasa benar-benar hancur. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa James… mengabaikannya.Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Bagaimana keadaan James?” Runova tampak sedikit terkejut karena akhirnya Grassiela berbicara. “Kondisinya berangsur pulih. Sudah jauh lebih baik sekarang."Grassiela terdiam, mencoba mencerna kaba