Share

7. Semangat Untuk Merokok Di Kantin

 Keesokan harinya, Aya nampaknya sudah merasa lebih baik. Mbok Sumi seperti biasa sudah membukakan gorden jendela kamarnya sehingga mentari pagi membuat Aya merasa kurang nyaman dalam mimpinya.

Aya pun terpaksa membuka matanya.

“Maaf non ... soalnya ini sudah siang. Meskipun non sedang sakit tetapi tidak baik kalau tidak terkena cahaya matahari pagi," terang wanita itu alakadarnya.

Aya beringsut duduk, “Aku sudah merasa baikan kok, Mbok. Kayaknya udah nggak pusing lagi. Aku mau berangkat sekolah hari ini," terang Aya agak semangat.

Bukan semangat belajar, Aya lebih suka nongkrong di belakang kantin sembari membuang banyak puntung rokok dengan beberapa teman pria.

“Saya akan menyiapkan seragamnya, Non. Kemarin saya sudah ijinkan kalau non Aya tidak hadir," jelas wanita itu.

“Makasih, Mbok. Nggak diijinin juga gak papa. Udah gak ada pelajaran lagi. Sekarang tinggal nunggu kelulusan saja," terang Aya.

“Owh begitu to."

“Ya sudah ... Aku mau mandi." Aya langsung saja turun. Kaki jenjangnya memijak lantai yang seketika dingin. Ia memang agak alergi dengan dingin sehingga gara-gara terlalu lama mandi ia menjadi sakit.

Ia segera menunju ke kamar mandi untuk berangkat sekolah.

Setelah siap dengan seragamnya, tak lupa meraih tasnya yang masih kosong seperti kemarin tanpa terisi satu bukupun. Aya turun dengan pakaian yang tidak rapi. Dasi diikat asal dengan kemeja putih tanpa dimasukan. 

Ia turun dan berjalan menuju ke meja makan. Seperti biasa nampaknya meja makan selalu saja sepi tanpa ada yang percakapan. Sekalinya ada mungkin berupa pertengkaran. Hanya dengan sendok yang beradu dengan piring satu sama lain.

Aya menarik kursi. Namun bunyi itu tak membuat kedua orang Tuanya menoleh. Mereka terus acuh.

Dengan acuh pula, Aya mengambil roti tawar yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangganya.

Suara panggilan masuk dari ponsel milik Marian.

Aya sejenak menghentikan kunyahan pada roti tawar diolesi selai nanasnya. Ia ingin mendengarkan ucapan dari Marian yang keluar di bibirnya untuk menjawab telepon. 

“Halo sayang, baiklah aku  kan segera keluar." wanita itu berselorih dengan gembiranya.

Aya sampai heran kenapa  En tidak marah akan Marian yang berpacaran. Bahkan entah apa saja yang sudah Marian lakukan pada pacarnya,  yang jelas pacar Marian adalah orang-orang kaya. Marian punya uang yang didapat adalah dari berpacaran dengan para pria kaya. Sedangkan En mendapatkan uang dari bermain judi.

Benar-benar bukan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Mereka berdua seperti orang asing yang hidup berdampingan. Uang mencari sendiri, kebutuhan pun mereka berdua mengeluarkan uang berupa patungan.

Jika uang bulanan milik Aya selalu didapat dari sang ayah. Justru tanpa sepengetahuan Aya, uang itu adalah pemberian dari kakeknya.

Tanpa berkata apa-apa pada orang di meja makan, bahkan menganggap kedua orang itu patung, Marian langsung saja pergi. Sementara mulutnya berceloteh ria kepada pria yang akan menjadi umpan untuk mendapatkan uang.

“Ini uang bulananmu. Simpan saja di rekening!" tiba-tiba saja pria yang tengah ada di sampingnya itu memberikan segepok uang merah kepada Aya. Kemudian dengan wajah datar ia pergi meninggalkan Aya begitu saja.

Aya hanya memandangi uang satu ikat lembaran kertas itu dengan pandangan malas. Hanya ayahnya memang yang suka memberikan uang. Berbeda dengan ibunya yang tidak pernah memberikan apa-apa kepada Aya.

Dengan mengedikkan bahu tak perduli, Aya meraih uang itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dengan kilat disambarnya susu yang masih hangat. Aya meneguknya hingga tandas.

Nampaknya kedua orang Tuanya sudah pergi masing-masing kini tinggal Aya sendiri yang memutuskan untuk meraih sepeda ontel.

Nampaknya Aya malas untuk ke sekolah, ia lebih memilih untuk menuju ke tempat salah seorang teman.

Ia segera memarkirkan sepedanya dan memandang seorang pria yang keluar dari rumah.

“Lusi ada?" tanya Aya.

“Anak itu ..." desisnya dengan malas.

“Dia ada di dalam," lanjutnya dengan enteng.

Tanpa basa-basi kepada Aya, pria itu langsung saja membawa mobilnya pergi.

Nampaknya Aya juga mengendikan bakunya tak perduli. Ia melangkahkan kakinya untuk menuju ke kamar Lusi.

Rumah itu selalu sepi, seperti di rumahnya. Bahkan kedua orang Tuanya sering pergi. Kisahnya hampir mirip dengan Aya, tetapi bedanya jika Aya  tidak pernah disakiti secara fisik. 

Teman-teman seperti inilah yang sebenarnya dekat dengan Aya. Salah satunya seorang perempuan yang bernama Lusi. Jika teman merokoknya rata-rata pria dan mempunyai masalah yang serupa, meski ada perbedaan.

Aya mengetuk pintu kamar sembari memanggil Lusi. Namun tidak ada jawaban dari dalam.

Tiba-tiba saja tak dengar suara isakan dari kamar Lusi. Tanpa seijin dari pemilik kamar tersebut, Aya langsung saja menerobos masuk.

“Hiks ... Kak Aya," lirih Lusi terjerembab di pojokan kamar. Aya memandang nanar pada luka biru di tangan mungil Lusi.

Ia nampak tengah memakai pakaian pendek sehingga bekas cambukan itu terlihat jelas.

Dengan cepat Aya langsung saja menghampiri Lusi. Kemudian ia membantu Lusi untuk berdiri dan duduk di ranjang.

“Apa ayahmu memukulmu lagi?" tanya Aya tiba-tiba ia ikut mengeluarkan bulir bening dari matanya. Kemudian Aya menghapusnya dengan kasar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status