Pagi hari aku bisa bangun dengan perasaan tenang. Pikiran yang mengganjal telah hilang. Ada beban yang terasa telah terangkat, begitu ringan. Suara Keanu masih saja terngiang-ngiang bagai nyanyian merdu yang terus saja diputar ulang.
"Sudah enakan, ya?" tanya Disti yang baru saja keluar kamar mandi ketika mendengarku bersenandung kecil saat berhias.
"Sudah. Semalam aku bisa tidur nyenyak," sahutku menoleh padanya.
"Kamu hari ini enggak balik ke Surabaya lagi, ya?" Disti ikut duduk di depan cermin besar tempatku tengah mempersiapkan diri. Mengambil pengering rambut yang ada di laci, dan menyalakannya.
"Enggak, kamu masih balik ya?" tanyaku setengah berteriak untuk mengimbangi kebisingan suara
Segala kepenatan hilang setelah mandi, membuat mood menjadi lebih baik. Perut pun minta jatah untuk diisi. Mashed potato dan scramble egg kupilih untuk menu malam ini, mungkin nanti ditambah sedikit nasi, biar kenyangnya lebih afdol. Kukeluarkan beberapa bahan baku yang ada di kulkas, bersiap untuk mengolahnya.Setengah jam persiapan, berkutat dengan alat masak dan bahan mentah, hidangan makan malam selesai. Baru saja hendak menyantapnya, ponselku berdering. Nomor yang tak kukenal tertera di layarnya yang mungil dan berwarna abu-abu."Halo.""Eh, Mei ... are you okay?" Ternyata Adrian yang menelpon. Nomornya memang belum aku simpan di ponsel baru ku."Hai,
Beberapa saat setelah meninggalkan gedung apartemen, Adrian sudah mulai menguasai keadaan, tak lagi tampak canggung seperti pada saat awal bertemu. Candaan ringan khasnya mulai lagi terdengar diiringi derai tawa renyah bagai musik yang menggetarkan hati. Andai saja aku tak ingat Keanu, mungkin saja aku terpikat oleh pesonanya yang penuh kharisma.Lampu lalu lintas yang menyala merah membuat mobil harus berhenti. Seorang pengamen kecil dengan alat musik dari tutup minuman ringan yang dipaku pada sepotong kayu kecil, menghampiri kami. Aku memperhatikan gadis kecil itu bernyanyi dengan penuh penghayatan, wajahnya legam terbakar matahari."Permisi, Om," ucapnya sambil mengetuk kaca mobil di bagian sisi Adrian, ketika lagu yang ia nyanyikan telah selesai ia lantunkan.
Lebih dari setengah hari sudah aku menghabiskan waktu bersama Adrian. Rasa lelah dan timbunan emosi selama beberapa minggu terakhir, kembali mencair. Sudah terlalu lama aku mengurung dan membatasi diri dengan dunia di luar pekerjaan. Bahkan untuk hubungan pertemanan sekalipun, aku seolah enggan. Peluang kali ini seolah menyegarkan rasa suntuk yang mulai menumpuk.Untuk pertama kali, dalam satu bulan terakhir ini, aku merasa terlahir kembali. Membuka hati untuk hubunganku dengan Keanu, dan menerima Adrian sebagai sahabat. Kendati rasa was-was akan hubungan dengan Keanu masih saja mengganjal. Namun, kehadiran Adrian mampu melenyapkan rasa itu.Jakarta telah diselimuti malam, ketika aku dan Adrian meninggalkan mall tempat kami menghabiskan waktu seharian sesudah makan siang. Lampu-lampu seakan berlomba mengenyahkan g
Aku reflek menarik tangan yang di cengkeram Nisya. Kali ini penampilannya telah kembali seperti pada saat awal kami bertemu dulu. Anggun, dibalut gamis berwarna zamrud dengan kerudung berwarna zaitun menutup kepala. Riasan make up natural makin mempercantik wajah ayunya. Berbeda 180 derajat dengan terakhir kali kulihat saat dia menyerangku."Maaf!" Dia melepaskan cengkeramannya. "Aku ke sini untuk minta maaf," imbuhnya.Seolah tak percaya dengan apa yang kudengar, kutelisik gelagatnya. Dia tidak berbohong, ada sesal yang kutangkap di matanya."Sebentar, aku tadi ke bawah mau bertemu seseorang." Mataku kembali menyapu area luar lobi yang terlihat jelas dari dalam."Itu orang suruhank
Bayangan raut wajah Nisya yang berurai air mata masih saja tak mau enyah dari pikiranku. Dia tidak hanya sedang memperjuangkan cinta untuk dirinya, tapi juga untuk anak-anaknya. Dia tengah mempertahankan biduk yang saat ini hpir karam. Wajar jika tempo hari dia mengamuk seperti singa yang hendak menerkam dan mencabik-cabikku. Keutuhan keluarganya tengah di ujung tanduk.Kembali terngiang percakapan dengan Dendra ketika berada di kafe pada saat sarapan pagi beberapa waktu lalu, betapa dengan santainya dia mengatakan bahwa dia tak mencintai istrinya lagi. Seolah perasaan wanita yang ia nikahi satu dekade silam hanya sebuah mainan yang bisa ia buang begitu saja ketika sudah bosan.Kali ini perasaan benci yang lebih mendominasi kurasakan terhadap Dendra, menusuk hingga ke tulang. Entah apa masih bisa dia disebut laki-lak
Aku merasa terombang ambing di laut yang dalam. Paru-paruku seakan hendak pecah setiap kali menarik napas. Terasa begitu menyesakkan. Mataku pun terasa berat, setiap kali hendak kubuka. Bibirku kelu. Dalam kegamangan, samar-samar aku mendengar seseorang memanggil. Begitu jauh. Aku masih terus berusaha mencari darimana asal suara dengan mata yang seakan buta. Hingga tanganku dapat merasakan seseorang menggenggamnya erat, begitu hangat."Mei?"Suara itu terdengar makin jelas dan dekat. Aku kembali berusaha membuka mata. Perlahan-lahan, mataku menangkap cahaya. Samar, kemudian terang. Mengenyahkan gelap yang memerangkap. Punggung tanganku kembali diusap. Begitu menenangkan.Kemudian, aku mulai mencium bau menyengat disinfektan dan obat-obatan. Ruangan yang tad
"Nggak apa-apa aku tinggal sendiri?" tanya Adrian setelah menyuguhkan teh hangat dan makanan ringan untuk menyambutku di apartmennya.Aku mengangguk cepat. Jujur saja, aku tak mampu mengendalikan jantung yang selalu berdebar halus setiap kali bersama Adrian. Hal itu membuat rasa bersalah terhadap Keanu semakin membesar."Kalau ada apa-apa, telpon saja. Aku akan segera ke sini," ujar Adrian tampak meragu."Iya. Makasih sudah mau direpotin," ucapku seraya mengulas senyum tipis.Adrian tampak hendak mengatakan sesuatu, tetapi urung. "Ya sudah. Aku tinggal, ya." Akhirnya Adrian benar-benar meninggalkanku sendirian.Ruangan asing ini makin terasa sepi setelah Adrian pergi. Aku merebahkan tubuh di sofa dengan lapisan beludru coklat tua yang terdapat di ruang tengah apartemen ini. Aroma kopi yang diseduh Adrian sebelum ia pergi terasa menyatu dengan aroma di dalam ap
"Udah makan?" tanya Adrian saat kami keluar dari area parkiran bandara."Sudah." Aku menyahut tanpa menoleh pada pria yang tengah berada di belakang kemudi itu. "Capek banget, ya?" tanya Adrian menoleh sekilas ke arahku. Lelaki itu peka dengan perubahan suasana hatiku. Rasa kesal terhadap Keanu akibat pertanyaannya tadi masih belum hilang. Padahal aku begitu merindukannya, mengobrol dengan topik ringan tanpa ada rasa curiga. "Lumayan," sahutku sembari memijat leher yang terasa sedikit kaku. "Tadi pihak kepolisian nelpon aku lagi. Mereka bilang tidak bisa menghubungimu—" Adrian menghentikan kalimatnya saat melihat reaksiku yang terlihat malas. Aku mengembuskan napas pelan. Saat ini hubunganku dengan Keanu sedikit bermasalah. Sekarang ditambah masalah baru dengan Dendra. Rasanya hidupku dulu terasa tenang-tenang saja setelah bangkit dari keterpurukan paska ditinggal Dendra, kini seakan penuh drama kembali. Kenapa lelaki itu tak enyah saja k