Enam hari sudah aku berada di apartemen Rose. Enam hari itu juga aku membiarkan Axe berdiri di taman menunggu maaf dariku. Ntahlah, waktu terasa cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin kami mengalami cekcok.
‘Aku akan menunggumu di tempat ini sampai kau mau memaafkanku.’Masih terngiang – ngiang kalimat penuh percaya diri itu. Tapi aku salut pada Axe, dia mematri kata – katanya dengan perbuatan nyata. Enam hari lima malam tinggal di luar sana hanya demi diriku, sungguh perjuangan tak terelakkan. Aku tahu di balik semua itu sebenarnya Axe lelah. Tercatat hari pertama hingga kedua dia masih sanggup berdiri dan di hari ketiga sampai hari ini, posisinya sudah berubah. Axe tak lagi menjulang tinggi, melainkan duduk dengan kepala sedikit menunduk, pernah sesekali aku mendapatinya berbaring lelah. Kadang – kadang juga aku melihatnya memijat pangkal hidung dan meremas kepalanya kasar. Rasanya dadaku ngilu, aku tidak tahan melihatnya ter“Apa kau yakin dia kakakmu?”Pertanyaan Rose berhasil menimbulkan desiran aneh di dadaku. Jika itu adalah kenyataannya, aku berharap jawabannya iya, Axe bukan kakakku. Namun, kenyataan tidak sebaik itu. Siapa Axe kalau bukan kakakku? Orang lain, begitu? Apa Rose salah minum obat hingga berpikiran seperti itu? Ada – ada saja.“Jangan konyol, Rose. Kami memang tidak tinggal berpisah sejak kecil, bahkan saat aku baru berusia satu tahun. Axe harus tinggal bersama paman Danial karena sebuah perjanjian. Bukankah sudah kuceritakan padamu?”“Sudah, tapi rasanya aneh.” Rose menggaruk kepalanya, yang kuyakini sedang tidak gatal. Oh. Dia pasti memikirkan bagaimana hubunganku dan Axe bisa serumit ini. Aku juga tidak mengerti. Semua masih menjadi misteri, jika aku harus jujur tidak ada yang tahu alasan di balik perjanjian hitam di atas putih itu selain mom, dad, dan Paman Danial. Mereka benar – benar merahasiakan itu pada kami.
Sudah satu jam sejak mata Axe terbuka sebentar, sampai sekarang dia masih setia dengan dunia bawah sadarnya. Selalu begitu, Axe memang senang membuatku menunggu. Terhitung sudah tiga kali kami mengalami hal serupa seperti ini. Hubungan kami memang tak pernah mudah, selalu rumit.Aku mengembuskan napas lelah. Sesaat kualihkan pandanganku ke atas nakas. Benda pipih berwarna hitam milikku kini menarik perhatianku. Seketika sebuah nama tersemat di dalam kepala. Edward! Ya, Edward. Aku akan menghubunginya dan memintanya membawakan baju ganti pada Axe.Axe yang malang, sampai sekarang dia masih memakai baju yang sama terakhir kami bicara di halaman bawah. Salahnya juga terlalu keras kepala, aku sudah memintanya kembali ke hotel dan dia tetap kekeh menungguku hingga berakhir sakit begini. Tapi yang sebenarnya kami sama – sama salah, kalau aku bisa memaafkannya lebih cepat. Mungkin Axe masih baik – baik saja.Sudahlah. Semua sudah terjadi. Terpenting sekarang aku harus merawa
Cepat – cepat Axe menarik kembali tangannya dan memberikan tatapan tak terima untukku. “Kau ingin balas dendam padaku karena nyaris memotong jari – jarimu waktu itu?” tanyanya pura – pura marah.Aku segera menggeleng lalu menarik kedua ujung bibirnya agar melengkungkan senyum. “Aku tahu apa maumu, Axe. Kau sedang sakit, jangan macam – macam. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku.”Aku mulai menurunkan tubuhku dari pangkuannya. Axe sedang sakit, dia tidak bisa terlalu lama menahan beban tubuhku di atas pahanya. Tugasku juga belum selesai, aku belum membersihkan tubuhnya padahal tisue basah sudah kusiapkan.“Kau mau apa?’Axe terkesiap melihat gerakan tanganku yang menarik tangannya cepat. Aku tidak menjawabnya karena yang kulakukan berikutnya adalah menyelusuri sepanjang lengannya dengan tisue basah.Bayangkan saja, enam hari dia berada di bawah menungguku, enam hari itu pula dia tidak menyentuh ai
“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku saat melihatnya membongkar isi celana jeans kotor yang tadi siang digantinya saat bangun tidur.“Cincin,” jawab Axe sambil merogoh kantong celananya dalam – dalam.Axe berdecak saat tak menemukan barang yang dicari. Dia meletakkan celana itu kasar ke atas kasur, lalu mencekak pinggang terlihat sedang memikirkan sesuatu.“Cincin apa yang kau cari?”“Cincin yang kau kembalikan padaku.”Axe bicara tanpa menatap mataku. Dia bahkan membungkuk mencari cincin yang dimaksud di bawah tempat tidur. Yang benar saja, kalau benda kecil itu disimpan di saku celananya. Cincin itu tidak akan hilang mengingat Axe memakai jeans selama menungguku enam hari lima malam itu.Lagipula kenapa dia bisa tiba – tiba kepikiran dengan cincin. Padahal aku hanya meninggalkannya sebentar ke bawah untuk membersihkan bekas muntahannya.Bicara perihal cincin. Aku jadi terbayang mal
Hari ini double update. Yang masih di bawah umur harap menyingkir:) .................................................... “Axe!” panggilku semangat. Sedari di lift senyumku terus mengembang. Tentu saja, aku ada kabar baik untuknya. Axe pasti senang melihat cincinnya ada bersamaku. Namun, senyumku dipaksa hilang saat aku membuka pintu dan mendapatinya sedang tengkurap di bawah sembari memperhatikan kolong tempat tidur. Terlihat tidak semangat melakukan apa pun.“Axe,” panggilku hati – hati. Aku berjongkok di sampingnya sembari mengelus punggunya dari atas ke bawah dengan pelan, begitu seterusnya.“Aku punya sesuatu untukmu. Mau lihat?” tanyaku tapi tak juga mendapat respon darinya.Aku menghela napas berat. Axe lebih terlihat seperti orang yang sedang patah hati setelah ditinggal pacar daripada sedih kehilangan benda kesayangan. Aku tidak dapat membayangkan seandainya dia tahu bahwa di usianya saat ini, dia sudah memiliki anak dan masih bersi
“Wake up,” bisikan lembut yang terdengar sangat dekat membuatku mengerjap beberapa kali. Aku merasakan sesuatu yang kasar menyentuh punggung dan kecupan berulang di bibirku.Siapa yang berusaha mengganggu tidur nyenyakku? Aku bergerak mempererat pelukan pada tubuh yang terasa hangat, berusaha mengenyahkan gangguan tak berujung dan terus berlanjut sampai saat ini.“Bangun, Bridgette!”Seruan itu tak kunjung memancingku membuka mata. Sebaliknya aroma cologne yang khas justru menjadi terapi menenangkan di pagi hari. Napasku terasa segar meski mataku masih terpejam begitu sempurna.“Jangan menggodaku, baby girl. Aku bisa kembali menikammu kalau aku mau.”Kalimat itu sukses membuat mataku terbuka lebar – lebar.Astaga!Axe!Bisa – bisanya aku lupa sedang bersamanya.“Lepas.” Kusingkirkan tangannya yang sibuk mengelus kulit punggungku. Aku segera bangkit mengubah posisiku menjadi duduk. Sialnya, aku juga melupakan keadaan tubuhku. Aku mas
“Kau lihat pria tidak tahu malu itu. Dia datang ke sini untuk menggangguku!”Aku langsung melihat orang yang Rose tunjuk dengan kemarahan berapi – api itu. Tunggu dulu, aku hafal postur tubuh itu. Bukankah dia ...Theo?Mulutku mengganga melihatnya ada di sini. Kenapa dia ikut terdampar di Kanada, bukankah seharusnya Theo berada di Italia mengingat dia adalah orang asli Italia.“Kau mengenalnya, Bridgette?” tanya Rose menyadari reaksi tidak biasa dariku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban untuknya.“What the hell you doing here?”Pertanyaan itu bukan dariku apalagi Rose, tetapi pria yang kini berpakaian lengkap berdiri tepat di sampingku, Axe.“Kau juga? Kenapa kau ada di sini?” Bukannya menjawab. Theo malah berbalik tanya. Tak lama matanya mengerjap tak percaya. “Astaga, Bro! Kau masih hidup rupanya. Aku pikir kemarin adalah hari terakhir kau mengalami koma,” seloroh Theo berjalan
“Ayo, Aunty. Kita panggil daddy.” Oracle terus menarik tanganku menuju kamar yang saat ini aku dan Axe tempati. Bocah kecil itu sudah tidak sabar pergi bersama untuk makan malam. Aku baru saja mengajaknya dan dia begitu semangat mengiyakan ajakan itu.“Good job, Ed. Pastikan dia tidak bertingkah setelah kembali ke habitatnya.”Samar – samar terdengar suara Axe sedang berbicara dengan seseorang. Tentu saja dia berbicara pada Edward melalui ponselnya. Pembicaraan mereka begitu serius, dari nada dingin yang terdengar dari suara Axe. Siapa sebenarnya yang mereka bicarakan?“Axe?”Aku tanpa berpikir panjang menekan knop pintu kamar dan mendapatinya tengah berdiri di depan jendela. Axe segera mematikan ponselnya, lalu berjalan menghampiriku dan Oracle.“Are you ready?” tanya Axe pada Oracle yang kini sudah berada dalam gendongannya. Mereka terlihat saling menyayangi satu sama lain.“Siapa yang kau bi