“Kisanak Suro Joyo..., aku memang bukan Riris Manik,” ucap perempuan berparas cantik yang berpakaian mewah layaknya putri kerajaan itu.
Suro Joyo semakin dibuat kaget karena gumamannya yang lirih ternyata didengar perempuan berparas memikat itu. Dalam benaknya, Suro Joyo merasa heran sekaligus curiga. Jangan-jangan, perempuan yang masih tersenyum itu bukan manusia sembarangan.
“Kalau begitu..., Putri ini siapa?” tanya Suro Joyo untuk menghilangkan rasa penasarannya.
“Aku Riris Mustika,” jawab perempuan muda yang berwajah jelita itu. “Berasal dari Kerajaan Mayangdupa.”
“Kerajaan Mayangdupa...?”
“Iya, Kisanak.”
“Baru sekarang aku mendengar nama kerajaan itu. Di mana letaknya?”
“Letaknya jauh sekali dari hutan ini. Ke arah barat daya sana.”
Suro Joyo berpikir keras untuk mengingat-ingat Kerajaan Mayangdupa. Namun semakin berpikir, semakin yakin bahwa dirinya belum pernah mendengar nama kerajaan tersebut.
“Nama yang aneh...,” Suro Joyo membatin. “Seingatku, tidak ada nama Kerajaan Mayangdupa. Nama itu kok mirip tempat tempat tinggal para siluman. Jangan-jangan....”
“Jangan berpikir yang bukan-bukan, Kisanak Suro Joyo!” tegur Riris Mustika. “Aku manusia, Kisanak. Bukan siluman atau makhluk halus lainnya.”
“Bukannya aku tidak percaya, Putri, tapi hanya belum pernah dengar nama kerajaan itu,” sanggah Suro Joyo. “Bisa saja aku pernah mendengar nama Kerajaan Mayangdupa, tapi lupa. Maafkan kalau terkesan meragukan keberadaan kerajaan Putri Riris Mustika. Kalau boleh tahu, bagaimana ceritanya kok Putri Riris Mustika bisa sampai di tengah Hutan Jiwangkara?”
Riris Mustika menghela napas panjang. “Ceritanya panjang, rumit, dan berliku, Kisanak. Intinya, aku diusir dari Kerajaan Mayangdupa karena tidak tunduk pada perintah Ayahanda. Aku anak tunggal. Walaupun perempuan, aku mewarisi tahta Kerajaan Mayangdupa. Namun aku menolak keinginan Ayahanda untuk menggantikan beliau yang sudah uzur. Penolakan ini menjadikan beliau murka, lalu dengan kesaktian yang beliau miliki, aku dibuang menggunakan ajian sapu angin. Dalam tiga kejapan mata, aku sudah berada di hutan ini tadi malam. Semalam aku tidur di sebuah pohon kecil yang berdekatan dengan pohon ini.”
Suro Joyo memandangi wajah Riris Mustika dengan perasaan takjub. “Kita memiliki prinsip yang sama tentang menolak menjadi raja. Apa alasan Putri?”
“Aku merasa tidak sanggup mengemban tugas berat sebagai seorang raja,” jawab Riris Mustika. “Daripada memaksakan diri melakukan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan, aku menolak mandat dari Ayahanda.”
“Akibatnya, Putri Riris Mustika dibuang ke sini.”
“Iya. Dengar-dengar Kisanak Suro Joyo sedang ada masalah. Kerajaan Krendobumi direbut oleh oran yang tidak punya hak atas tahta kerajaan itu.”
“Benar, Putri. Namanya Badas Wikatra. Maaf, dari mana Putri tahu namaku dan juga tentang perebutan tahta oleh Badas Wikatra?”
Riris Mustika tersenyum manis. “Nama Kisanak sangat dikenak di jagat persilatan. Keharuman nama Kisanak tersebar di seluruh penjuru mata angin. Aku kebetulan pernah melihat Kisanak di sebuah tempat, aku lupa namanya. Orang-orang menyebut Kisanak bernama Suro Joyo. Dari situlah aku bisa mengenali Kisanak.”
Cerita yang masuk akal membuat Suro Joyo mengangguk-angguk. Terkesan memahaminya.
“Apakah Putri sekarang?”
“Aku sendiri bingung mau berbuat apa, Kisanak. Misalnya kembali ke Kerajaan Mayangdupa, pasti akan ditangkap prajurit, lalu dipenjara karena sudah tidak dianggap anak lagi oleh Ayahanda.”
Riris Mustika menghela napas sejenak. “Kalau diperbolehkan, aku ingin membantu Kisanak Suro Joyo untuk merebut kembali tahta Krendobumi.”
Wajah Suro Joyo berbinar. Secercah harapan yang lebih besar dari sebelumnya kembali mekar. Semangatnya yang membaja, semakin kokoh dengan adanya dukungan dari Riris Mustika. Meskipun dia terusir dari kerajaannya, tapi pasti punya kemampuan linuwih sebagai pewaris tahta Kerajaan Mayangdupa.
Sebagai putri mahkota kerajaan, tentu memiliki berbagai kemampuan yang tidak dipunyai masyarakat pada umumnya. Tata perang, tata krama, dan berbagai kemampuan ketatanegaraan, pasti dia miliki. Ketika Suro Joyo nanti menggempur pasukan Badas Wikatra, butuh orang-orang yang punya kemampuan mumpuni dalam peperangan. Suro Joyo yakin, Riris Mustika punya kemampuan di atas rata-rata. Para pelatih dan guru dari Kerajaan Mayangdupa pasti menyiapkan Riris Mustika menjadi ratu yang hebat kalau kelak tiba saatnya menduduki tahta kerajaan tersebut.
“Terima kasih atas perhatiannya, Putri,” Suro Joyo menanggapi. “Tapi aku tidak berjanji akan bisa melindungi Putri dari bahaya yang mungkin datang ketika berada di hutan ini beberapa hari ke depan. Masih ada lima hari yang harus kulalui sebelum diperbolehkan keluar oleh guruku.”
“Jangan khawatir, Kisanak!” sahut Riris Mustika. “Aku bisa melindungi diriku sendiri dari bahaya yang akan datang. Aku siap menghadapi bahaya apa pun yang menghadang.”
Keduanya berjalan ke arah timur. Mereka berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap tentang kerajaan masing-masing.
Suro Joyo merasa senang bisa bertukar pengalaman dengan orang lain yang sama-sama berasal dari istana. Ternyata Riris Mustika punya kesamaan dengan Suro Joyo dalam memandang rakyat di sebuah wilayah kerajaan atau negara. Bagi mereka, rakyat menjadi tujuan utama bagi mereka ketika memiliki kewenangan. Mereka memang tidak ingin menjadi raja, tetapi memiliki tujuan mulia, yakni menjamin rasa keadilan bagi rakyat di kerajaan wilayah masing-masing. Selain itu, mereka ingin menunjuk orang yang bisa dipercaya untuk menjadi pelaksana sebagai raja di kerajaan masing-masing, yakni di Krendobumi dan Kerajaan Mayangdupa. Orang yang ditunjuk menjadi pelaksana tugas raja, harus bisa menjamin kesejahtaraan dan kemakmuran rakyat di wilayah Krendobumi dan Kerajaan Mayangdupa.
Sebelum Riris Mustika menyampaikan niat baiknya tersebut, dirinya keburu dibuang dari Kerajaan Mayangdupa. Dia tidak bisa melaksanakan keinginannya tersebut kalau kelak yang menjadi raja di Kerajaan Mayangdupa bukan sosok yang dia inginkan.
Sedangkan Suro Joyo sekarang sedang masa awal perjuangan untuk menggalang kekuatan. Dimulai dari diri sendiri, nantinya akan diperluas dengan minta dukungan dari banyak pihak untuk merebut tahta Krendobumi dari tangan orang yang tidak punya hak atas singgasana kerajaan tersebut.
Siang hari Suro Joyo mengajak Riris Mustika istirahat sejenak di bawah pohon mandira yang lebat daunnya. Di dekat pahon ada danau kecil airnya sangat bening. Berbagai jenis ikan warna-warni terlihat berenang ke sana kemari dengan riangnya. Di sekeliling danau ada berbagai macam tanama bunga yang indah.
“Bunga itu sepertinya ada yang menanam secara sengaja,” komentar Suro Joyo. “Siapa kira-kira yang menanam bunga itu, Putri?”
“Aku tidak tahu, Kisanak,” jawab Riris Mustika. “Kan aku bukan penghuni hutan ini.”
“O iya ya, aku lupa.”
Suro Joyo ke tepi danau. Dia ambil air yang bening untuk mencuci muka. Riris Mustika tertarik untuk melakukan hal yang sama. Dia berada di samping kiri Suro Joyo untuk melakukan kegiatan yang sama. Perempuan cantik itu membasuk wajahnya dengan air bening. Wajah cantiknya semakin kemilau diterpa sinar matahari.
Selama beberapa saat Suro Joyo terpukai oleh kecantikan Riris Mustika. Sebagai laki-laki, wajar kalau terpesona dengan kecantikan seorang perempuan. Perempuan yang masih gadis. Belum punya suami.
Namun kekaguman Suro Joyo pada kecantikan Riris Mustika tiba-tiba memudar. Diam-diam dia melihat ke danau. Bayangan wajah Riris Mustika tidak terlihat di sana!
Suro Joyo terperanjat, tapi berusaha disembunyikan. Dia berupaya terlihat tidak kaget karena kenyataan di luar dugaan. Kenyataan bahwa Riris Mustika ternyata bukan manusia!
Tanpa sepengetahuan Suro Joyo, mendadak jari-jari kedua tangan Riris Mustika tumbuh kuku-kuku yang tajam. Sangat tajam, setajam ujung belati baja! Kuku-kuku tajam itu siap merobek-robek tubuh Suro Joyo!
***
Ayumanis, dengan kelincahan yang luar biasa, berputar di antara kerumunan. Pisau-pisau kilatnya berkelebat cepat, memutus urat-urat tangan pucat atau menusuk leher tak berdarah makhluk-makhluk itu. Setiap gerakan adalah tarian maut yang presisi, tapi ia bisa melihat kelelahan mulai membayangi wajah para prajurit di sekelilingnya. Mereka tidak dilatih untuk menghadapi teror seperti ini."Makhluk apa ini?" teriaknya, suaranya sedikit tertahan saat ia harus melompat mundur dari sergapan tiga makhluk sekaligus.Westi Ningtyas, di sisi lain, menggunakan kecakapannya dalam menangkis dan menghindar. Pedang panjangnya berkelebat, memblokir cakar-cakar yang mengancam dan sesekali menyerang balik dengan tusukan cepat. Tapi, ia merasa merinding. Tatapan makhluk-makhluk itu, atau lebih tepatnya, ketiadaan tatapan dari rongga mata kosong mereka, jauh lebih mengerikan daripada musuh mana pun yang pernah ia hadapi. "Mereka tidak punya titik lemah biasa!" serunya, saat pedangnya menembus tubuh salah
Mereka bergerak cepat, menempuh jarak sangat jauh dalam waktu singkat. Malam ketiga setelah keberangkatan, kelompok inti Suro Joyo tiba di luar Benteng Jagabaya. Benteng itu menjulang kokoh di atas bukit, temboknya tinggi dan menara pengawasnya tampak tegak waspada di bawah sorotan obor. Tapi, yang mengejutkan, pos-pos penjagaan di luar benteng tampak sepi, bahkan beberapa obor padam."Ini aneh," bisik Lodra Dahana, mengamati benteng dari balik semak-semak. "Jayengsata terkenal sebagai senapati yang teliti. Pos terdepan seharusnya tidak lengah seperti ini."Suro Joyo mengernyitkan dahi. "Terlalu sepi. Ini bisa jadi jebakan, atau mereka sudah mengetahui kedatangan kita dan sengaja membiarkan kita mendekat.""Atau," Ayumanis, yang entah sejak kapan sudah berada di sisi mereka, berbisik dengan suara rendah, "Kelompok Arum Hapsari telah melakukan tugas mereka."Lodra Dahana tersentak. "Maksudmu...?"
Di sudut ruangan, sebuah laci rahasia tersembunyi di balik ukiran singa. Laci itu adalah warisan dari Patih terdahulu, digunakan untuk komunikasi rahasia dalam situasi darurat. Sangkalpala membuka laci itu, memutar tiga ukiran kecil yang berbeda secara berurutan. Di dalamnya, ada sebuah lubang gelap, jauh di bawah istana, menuju jaringan terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di ujung jaringan itu, seorang mantan penjaga istana yang setia pada mendiang Raja, bernama Wiratama, menanti. Wiratama akan menjadi penghubung.Jantung Sangkalpala berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia menaruh liontin itu ke dalam lubang. Ia merasakan liontin itu meluncur ke bawah, menghilang dalam kegelapan. Sebuah napas lega, bercampur dengan ketakutan yang dingin, meluncur dari paru-parunya. Informasi itu telah dikirim. Misi pertamanya berhasil.Ia menutup kembali laci rahasia itu, memutar ukiran singa kembali ke posisi semula, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Kemudian
Suro Joyo menatap ke sekeliling, pada ribuan orang yang kini telah berlutut di hadapannya, dari panglima perkasa hingga prajurit paling rendah. Beban itu, berat seperti gunung, kini terasa nyata di pundaknya. Ia merasakan energi dari setiap jiwa yang berjanji setia, kekuatan yang mengalir ke dalam dirinya, bukan hanya dari mantra atau ajian, melainkan dari kepercayaan murni.Ia mengangkat tangannya, meminta mereka bangkit. "Maka dengarkanlah!" Suaranya kembali menggelegar. "Mulai saat ini, aku, Suro Joyo, menerima tanggung jawab ini. Aku akan menjadi panglima tertinggi kalian! Besok pagi, kita akan melancarkan serangan pertama kita. Target kita adalah Wanabisala. Ini bukan hanya perang, ini adalah janji kepada rakyat Krendobumi, janji bahwa tirani akan berakhir!"Ribuan suara bergemuruh menyambut, "Hidup Suro Joyo! Hidup Krendobumi!" Semangat mereka membumbung tinggi, menembus dinginnya malam.Suro Joyo men
Lodra Dahana menunjuk ke peta. "Pasukan Garbaloka akan memimpin serangan langsung ke Gerbang Selatan. Saya akan memimpin barisan terdepan. Kita akan memanfaatkan elemen kejutan dan jumlah pasukan yang besar."Arum Hapsari menambahkan, "Pasukan loyal Krendobumi akan bergerak dari timur, menciptakan kekacauan di Gerbang Timur. Meskipun jumlah kami tak sebanyak pasukan utama, kami mengenal seluk-beluk kota dan bisa menarik perhatian yang cukup.""Ayumanis dan kelompok pendekar cepat akan menjadi kesatuan penembus,” Suro Joyo melanjutkan. "Begitu gerbang terbuka, kalian akan menjadi garda terdepan untuk mengamankan posisi, menetralisir pertahanan awal, dan membuka jalan bagi pasukan utama." Ayumanis mengangguk, pisau-pisau di pinggangnya seolah bergetar menanti aksi.Westi Ningtyas ditugaskan untuk mengoordinasikan pasokan dan menjaga jalur komunikasi yang aman. Sadrata dan Lakseta akan tetap di sisi Suro Joyo sebagai
Suro Joyo menarik napas dalam-dalam, pandangannya mengamati peta Krendobumi yang terbentang di atas meja. Setiap wilayah yang harus direbut kembali, setiap benteng yang harus ditembus, setiap nyawa yang akan dipertaruhkan. Ia memikirkan gurunya, Ki Tambung, yang telah mewariskan ilmu dan pusaka kepadanya. Ia memikirkan kedua orang tuanya, yang kematiannya menjadi pemicu perjalanan panjang ini."Raden...," Lodra Dahana kembali bersuara, merasakan keraguan sesaat di wajah Suro Joyo. "Apakah Anda bersedia menerima tugas berat ini? Memimpin kami semua menuju kemenangan, atau...,"Suro Joyo mengangkat tangannya, menghentikan kalimat Lodra Dahana. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah Badas Wikatra, ilusi-ilusi yang pernah ia hadapi, dan kekejaman yang telah menyelimuti Krendobumi. Tidak ada jalan untuk mundur. Ini adalah takdirnya."Saya bersedia," katanya, suaranya mantap, memenuhi tenda. "Saya akan memimpin aliansi ini. Sekarang, mari kita bahas strategi. Aku ingin tahu setiap d