“Ini serigala jenis apa ya?” kata Suro Joyo agak keras untuk menggertak segerombol binatang pemakan daging yang menggeram-geram di bawah sana, berjarak sepuluh tombak. “Mengapa besarnya hampir sebesar kerbau? Apa makanan yang ada di hutan ini membuat bentuk tubuhnya menjadi lebih besar dari asal-usulnya? Warna bulunya juga hitam lebam, berbeda dari serigala pada umumnya.”
Suro Joyo memperhatikan pergerakan binatang-binatang itu yang berputar-putar mengitari pohon sambil menggeram penuh nafsu memangsa calon korban. Di antara mereka ada yang menggonggong ke arah Suro Joyo seolah-olah menggertak agar mentalnya jatuh. Ketika calon korban jatuh mental, mudah sekali untuk diterkam. Dijadikan mangsa, dijadikan satapan pagi!
Lidah-lidah mereka yang menjulur meneteskan liur menggambarkan nafsu makannya sangat tinggi. Pagi-pagi seperti sekarang, makhluk hidup apa pun butuh makanan untuk disantap. Suro Joyo sedang bernasib sial karena akan dijadikan bahan makan pagi untuk segerombolan binatang pemangsa.
Dari dahan pohon yang kokoh, Suro Joyo memutar orak untuk menghadapi belasan ekor binatang yang tidak bersahabat itu. Ada masalah yang membelit Suro Joyo ketika harus berhadapan dengan gerombolan binatang buas. Bukan tentang cara menghadapi mereka, tapi menjaga agar mereka tidak mati atau sampai berdarah ketika bertarung. Pada saat bersamaan, Suro Joyo tidak mau luka, apalagi sampai luka parah karena cakaran mereka. Pendekar Kembara Semesta itu juga tidak ingin dirinya sampai tewas oleh taring-taring tajam yang siap merobek mangsa.
“Aku bisa membunuh mereka dengan sekali hantaman menggunakan ajian Rajah Cakra Geni,” gumam Suro Joyo, “tapi akibatnya bisa membahayakan nyawaku. Di antara yang mati, pasti ada yang mengeluarkan darah. Selain itu, serigala yang mati akan menjadi bangkai. Bangkai-bangkai dan cipratan darah itu bisa berubah menjadi makhluk serigala menyeramkan yang punya kekuatan tak terhingga karena disusupi siluman jahat. Mereka bisa balas menyerangku dengan kekuatan yang dahsyat dan mematikan. Aku tidak ingin mati konyol dengan cara itu.”
Suro Joyo merasa seperti terpenjara oleh keadaan. Dia merasa berada dalam kondisi serba salah. Maju tatu, mundur ajur. Ibaratnya, kalau maju akan menderita luka. Bisa luka ringan , bisa juga parah. Kalau mundur dirinya bisa hancur. Hancur keinginannya untuk merebut tahta Krendobumi yang menjadi haknya. Sejak dirinya lahir, Suro Joyo menolak menjadi raja di Krendobumi. Dirinya suka bertualang. Berpetualang. Dia lebih suka mengembara, menjadi pengembara. Pendekar yang mengembara untuk menebar keadilan. Mengembara untuk membela yang benar. Sudah banyak orang atau kerajaan yang hampir terpuruk oleh pemberontakan, ditolong oleh Suro Joyo.
Kini Suro Joyo yang menjalani keadaan terpuruk karena kerajaannya diduduki oleh orang yang tidak berhak. Orang yang menjadi raja di Krendobumi tidak ada hubungan kekerabatan sedikit pun dengan Suro Joyo. Kenyataan ini menyakitkan hatinya. Suro Joyo memang tidak ingin menjadi raja do Krendobumi, tapi juga tidak rela kalau Krendobumi diduduki secara semena-mena oleh pendekar licik dan serakah. Pendekar yang mengumbar angkara murka demi memenuhi nafsu serakahnya.
Tiba-tiba Suro Joyo meluncur turun dari atas dahan. Dia melesat ke bawah. Melesat ke arah tanah hamparan yang kosong, agak jauh dari pohon yang dikelilingi serigala. Dia selamat menapakkan kedua kaki di tanah lapang, selatan pohon besar.
“Ghuk ghuk ghuk! Ghuk ghuk ghuk...!” gonggongan belasan serigala bersahut-sahutan sambil mengubah arah menuju selatan.
Para serigala berlarian dengan kecepatan angin badai melesat ke arah Suro Joyo. Mulut mereka yang memamerkan taring siap merobek-robel tubuh Suro Joyo! Tenaga mereka semaksimal mungkin dipacu untuk secepatnya menggapai tubuh manusia yang ada di depan mereka.
Suro Joyo tiba-tiba lari sangat cepat ke arah selatan. Para serigala mengejar Suro Joyo dengan kecepatan lari yang tidak kalah cepat. Melihat para binatang yang mengejarnya, Suro Joyo terbeliak. Dia tidak menyangka kalau mereka bisa memiliki kecepatan lari yang sulit ditandingi.
“Ini tidak masuk akal,” gumam Suro Joyo yang terus lari ke arah selatan. “Kalau aku terus lari, lama-lama bisa kelelahan dan terkejar oleh mereka.”
Mendadak Suro Joyo berbelok ke arah timur. Tak lama kemudian berbelok ke arah selatan. Begitu terus dia lakukan, sehingga sebagian serigala kehilangan jejak. Ada di antara mereka yang hanya lurus lari, sehingga tidak mengejak Suro Joyo karena kehilangan arah.
Jumlah serigala yang mengejar Suro Joyo makin lama makin sedikit jumlahnya. Mereka terus lurus mengejar Suro Joyo, padahal Suro Joyo sudah belok arah. Ketika kembali ke arah semula untuk mengejar Suro Joyo, yang dikejar telah hilang tak terlacak.
Makin lama jumlah serigala yang mengejar Suro Joyo tinggal dua ekor. Dua ekor ini agaknya serigala-serigala yang menjadi andalan gerombolan itu.
Kini Suro Joyo terus mencari akal untuk memperdaya dua serigala itu. Jangan sampai mereka mati atau pun terluka. Tujuan Suro Joyo hanya satu, lolos dari kejaran para serigala.
Sebuah kesempatan tak terduga ada di depan mata. Dialihat ada sebuah gua yang lobangnya tidak begitu lebar. Suro Joyo berlari ke arah mulut gua. Seolah-olah dirinya akan masuk gua. Namun gerakannya berubah saat berada di depan mulut gua. Tubuh Suro Joyo melenting tinggi di luar perhitungan dua serigala yang mengejar.
Dua serigala masuk ke dalam gua dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Suro Joyo cepat-cepat menutup mulut gua dengan batu yang ada di dekat gua. Tutupnya tidak penuh, tapi masih menyisakan cahaya dan udara masuk untuk dua serigala.
Buru-buru Suro Joyo melesat cepat kembali ke pohon besar yang tadi malam jadi tempat singgah untuk tidur pulas.
Bergegas Suro Joyo membakar umbi-umbian dengan daund an ranting kering di depan pohon besar. Setelah matang, dia makan dengan lahapnya. Usai makan umbi, berlanjut makan mangga matang dan jambu biji yang masih segar.
“Serigala..., dalam dongeng pengantar untuk anak-anak, digambarkan sebagai sosok yang jahat, serakah, dan buas,” kata hati Suro Joyo. “Manusia yang serakah disamakan dengan serigala karena punya karakter yang sama. Maka tidak heran kalau ada yang menyatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya!”
Manusia tiba-tiba bisa berubah perangainya, berubah sifat kemanusiaannya manakala memiliki keinginan yang berlebihan. Dia bisa saja mengorbankan apa saja, termasuk sisi manusiawi yang dimiliki. Apa yang tersisa ketika manusia kehilangan kemanusiaannya? Tentu saja dia bukan manusia lagi. Tidak layak disebut manusia lagi. Lantas disebut apa?
Bisa apa saja.
Sewaktu manusia kehilangan sifat kemanusiaan yang melekat pada dirinya, maka sama saja dia kehilangan sosok manusianya. Saat itulah manusia bisa menjadi makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia. Dia bisa menjadi binatang! Atau manusia yang berwatak binatang! Dia bisa menjadi iblis. Wujudnya manusia, tapi berperangai dan berperilaku layaknya iblis kerak neraka!
“Manusia yang berwatak binatang, pada dasarnya lebih rendah dari binatang,” gumam Suro Joyo. “Manusia memelihara kebinatang dalam jiwanya, lebih derajatnya dari binatang. aku muak ketika bertemu dengan manusia macam ini. Aku jijik terhadap manusia jenis ini. Perutku terasa mual, mau muntah, dan rasanya pengin membinasakan manusia yang berperilaku lebih rendah dari binatang...!”
Terbayang sosok manusia yang bernama Badas Wikatra dalam pikiran Suro Joyo. Pendekar yang mendarmakan seluruh hidupnya demi kebenaran di atas bumi itu bangkit. Berdiri tegak menghadap ke arah timur. Siap melanjutkan penjelajahan Hutan Jiwangkara.
"Maaf, Kisanak,” terdengar teguran seorang perempuan dari arah utara.
Suro Joyo membatalkan langkahnya. Dia langsung menoleh ke kiri. Rasa terkejut terlihat dari rautnya. Suro Joyo seolah-olah melihat sosok pendekar perempuan hebat yang pernah dikenalnya.
“Dia mirip Riris Manik...,” gumam Suro Joyo lirih. “Tapi ini tidak mungkin. Riris Manik sudah tiada....”
***
Giliran Suro Joyo yang kaget mendapat pertanyaan dari Tambung. Selama hidup baru pertama kali mendengar nama Braja Pakering. Suro Joyo menjadi semakin kaget karena nama itu dijadikan bahan pertanyaan. Suro Joyo bingung untuk menjawab.“Maaf, Ki,” kata Suro Joyo terbata-bata, “saya tidak tahu apa yang Ki Tambung maksud. Saya mendengar nama Ki Braja Pakering dari Ki Tambung.”“O…, begitu. Kamu ketemu Ki Pandansekti kan?”“Iya, pagi ini. Baru saja. Pokoknya belum lama tadi.”“Ki Pandansekti lebih dikenal sebagai Manusia Lumut.”“Benar, Ki. Memang wujud badannya seperti warna hijau lumut.”“Apa beliau tidak menyebutkan nama Braja Pakering?”“Tidak, Ki.”“Rupanya daya ingat beliau sudah rusak parah. Masa nama sendiri sampai tidak ingat?”“Apa Ki Tambung kenal Ki Pandansekti?”“Ki Pandansekti itu nama aslinya Braja Pakering. Beliau kakak seperguruanku di Padepokan Langit Panglon. Di padepokan itu kami pernah belajar banyak ilmu, termasuk Ajian Lontarmaruta. Bedanya, beliau berhasil menguasa
“Sekarang Kisanak membuka mata kembali!” ucap Pandansekti kepada Suro Joyo.Pendekar muda berwajah tampan rupawan itu masih setengah sadar akibat terkena semacam sengatan serangga di ujung kepala. Dia membuka kedua mata pelan-pelan. Bisa mata terbuka, wajah Suro Joyo memucat pasi! Dia sekarang bisa melihat berbagai macam makhluk halus di sekelilingnya!“Tenang, Kisanak, tenang…,” Pandansekti berupaya meredam rasa panik yang diperlihatkan Suro Joyo. “Mereka sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang hidup berdampingan dengan kita, tetapi beda alam. Mereka tidak akan mengganggu kita kalau kita tidak mengganggu keberadaan mereka.”“Mengapa mereka menampakkan diri pada kita, Ki?” Suro Joyo merasa terusik. “Apakah mereka ada niat jahat pada kita.”“Kisanak…, bukan mereka yang menampakkan diri kepada kita, tapi kita berdua punya kemampuan untuk melihat alam gaib!”“Maksud Ki Pandansekti, saya bisa melihat alam gaib? Mampu mengetahui dunia lelembut?”“Betul, Kisanak. Tapi jangan khawatir! Ada cara
“Maaf..., Kisanak siapa ya?” tanya Suro Joyo sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.“Aku Pandansekti, tinggal di tengah danau,” jawab suara yang tadi menyahut perkataan Suro Joyo.Antara percaya dan tidak percaya, Suro Joyo menajamkan pandangan mata ke tengah danau.“Mana mungkin ada manusia yang bisa hidup di bawah air?” tanya Suro Joyo dalam hati. “Manusia tidak bisa bernapas ketika berada di dalam air. Kalau ada sosok yang mengaku tinggal di tengah danau, dalam arti di dalam danau, rasanya tidak mungkin. Tidak masuk akal.”Kata hati Suro Joyo bertolak belakang dengan kenyataan yang terpampang di depan mata. Dari tengah danau muncul sosok laki-laki tua yang sudah kakek-kakek. Semua tubuhnya berwarna hijau seperti warna lumut. Semula yang muncul kepala, pundak, badan, dan kaki scrutuh. Lalu laki-laki tua itu berjalan di atas air mendekati Suro Joyo.Kakek tua yang menyebut dirinya Pandansekti itu menunduk hormat, yang langsung dibalas oleh Suro Joyo.“Selamat datang di Huta
Ada hawa dingin sedingin salju menyambar wajah Suro Joyo. Secara naluriah pendekar muda berwajah tampan itu menyadari ada bahaya yang mengancam jiwa. Hawa dingin itu khas menebar dari sosok makhluk halus. Riris Mustika!Sejak menyadari bahwa Riris Mustika bukan manusia, Suro Joyo langsung waspada. Waspada penuh, sepenuh-penuhnya. Bagaimana pun juga, Hutan Jiwangkara bukan hutan sembarangan. Apa saja bisa terjadi di luar nalar manusia. Sosok cantik menawan yang mewujud sosok Riris Mustika, ternyata siluman.Dia siluman jahat atau baik, tidak dipikir Suro Joyo. Yang penting, dia langusng siaga kalau ada sesuatu yang tak terduga menimpanya. Begitu ada hawa dingin menerpa, Suro Joyo buru-buru menjauh. Saat itu, ternyata Riris Mustika siap menggunakan ujung kuku-kuku tajam jari-jari tangan kanan untuk menusuk jantung Suro Joyo!Tusukan itu hanya mengena tempat kosong. Suro Joyo langsung jaga jarak dengan kuda-kuda kokohnya un
“Kisanak Suro Joyo..., aku memang bukan Riris Manik,” ucap perempuan berparas cantik yang berpakaian mewah layaknya putri kerajaan itu.Suro Joyo semakin dibuat kaget karena gumamannya yang lirih ternyata didengar perempuan berparas memikat itu. Dalam benaknya, Suro Joyo merasa heran sekaligus curiga. Jangan-jangan, perempuan yang masih tersenyum itu bukan manusia sembarangan.“Kalau begitu..., Putri ini siapa?” tanya Suro Joyo untuk menghilangkan rasa penasarannya.“Aku Riris Mustika,” jawab perempuan muda yang berwajah jelita itu. “Berasal dari Kerajaan Mayangdupa.”“Kerajaan Mayangdupa...?”“Iya, Kisanak.”“Baru sekarang aku mendengar nama kerajaan itu. Di mana letaknya?”“Letaknya jauh sekali dari hutan ini. Ke arah barat daya sana.”Suro Joyo berpikir keras untuk mengingat-ingat Kerajaan Mayangdupa. Namun semakin berpikir,
“Ini serigala jenis apa ya?” kata Suro Joyo agak keras untuk menggertak segerombol binatang pemakan daging yang menggeram-geram di bawah sana, berjarak sepuluh tombak. “Mengapa besarnya hampir sebesar kerbau? Apa makanan yang ada di hutan ini membuat bentuk tubuhnya menjadi lebih besar dari asal-usulnya? Warna bulunya juga hitam lebam, berbeda dari serigala pada umumnya.”Suro Joyo memperhatikan pergerakan binatang-binatang itu yang berputar-putar mengitari pohon sambil menggeram penuh nafsu memangsa calon korban. Di antara mereka ada yang menggonggong ke arah Suro Joyo seolah-olah menggertak agar mentalnya jatuh. Ketika calon korban jatuh mental, mudah sekali untuk diterkam. Dijadikan mangsa, dijadikan satapan pagi!Lidah-lidah mereka yang menjulur meneteskan liur menggambarkan nafsu makannya sangat tinggi. Pagi-pagi seperti sekarang, makhluk hidup apa pun butuh makanan untuk disantap. Sur