Share

Manusia Berwatak Serigala

Penulis: Suwito Sarjono
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-25 02:01:57

“Ini serigala jenis apa ya?” kata Suro Joyo agak keras untuk menggertak segerombol binatang pemakan daging yang menggeram-geram di bawah sana, berjarak sepuluh tombak. “Mengapa besarnya hampir sebesar kerbau? Apa makanan yang ada di hutan ini membuat bentuk tubuhnya menjadi lebih besar dari asal-usulnya? Warna bulunya juga hitam lebam, berbeda dari serigala pada umumnya.”

Suro Joyo memperhatikan pergerakan binatang-binatang itu yang berputar-putar mengitari pohon sambil menggeram penuh nafsu memangsa calon korban. Di antara mereka ada yang menggonggong ke arah Suro Joyo seolah-olah menggertak agar mentalnya jatuh. Ketika calon korban jatuh mental, mudah sekali untuk diterkam. Dijadikan mangsa, dijadikan satapan pagi!

Lidah-lidah mereka yang menjulur meneteskan liur menggambarkan nafsu makannya sangat tinggi. Pagi-pagi seperti sekarang, makhluk hidup apa pun butuh makanan untuk disantap. Suro Joyo sedang bernasib sial karena akan dijadikan bahan makan pagi untuk    segerombolan binatang pemangsa.

Dari dahan pohon yang kokoh, Suro Joyo memutar orak untuk menghadapi belasan ekor binatang yang tidak bersahabat itu. Ada masalah yang membelit Suro Joyo ketika harus berhadapan dengan gerombolan binatang buas. Bukan tentang cara menghadapi mereka, tapi menjaga agar mereka tidak mati atau sampai berdarah ketika bertarung. Pada saat bersamaan, Suro Joyo tidak mau luka, apalagi sampai luka parah karena cakaran mereka. Pendekar Kembara Semesta itu juga tidak ingin dirinya sampai tewas oleh taring-taring tajam yang siap merobek mangsa.

“Aku bisa membunuh mereka dengan sekali hantaman menggunakan ajian Rajah Cakra Geni,” gumam Suro Joyo, “tapi akibatnya bisa membahayakan nyawaku. Di antara yang mati, pasti ada yang mengeluarkan darah. Selain itu, serigala yang mati akan menjadi bangkai. Bangkai-bangkai dan cipratan darah itu bisa berubah menjadi makhluk serigala menyeramkan yang punya kekuatan tak terhingga karena disusupi siluman jahat. Mereka bisa balas menyerangku dengan kekuatan yang dahsyat dan mematikan. Aku tidak ingin mati konyol dengan cara itu.”

Suro Joyo merasa seperti terpenjara oleh keadaan. Dia merasa berada dalam kondisi serba salah. Maju tatu, mundur ajur. Ibaratnya, kalau maju akan menderita luka. Bisa luka ringan , bisa juga parah. Kalau mundur dirinya bisa hancur. Hancur keinginannya untuk merebut tahta Krendobumi yang menjadi haknya. Sejak dirinya lahir, Suro Joyo menolak menjadi raja di Krendobumi. Dirinya suka bertualang. Berpetualang. Dia lebih suka mengembara, menjadi pengembara. Pendekar yang mengembara untuk menebar keadilan. Mengembara untuk membela yang benar. Sudah banyak orang atau kerajaan yang hampir terpuruk oleh pemberontakan, ditolong oleh Suro Joyo.

Kini Suro Joyo yang menjalani keadaan terpuruk karena kerajaannya diduduki oleh orang yang tidak berhak. Orang yang menjadi raja di Krendobumi tidak ada hubungan kekerabatan sedikit pun dengan Suro Joyo. Kenyataan ini menyakitkan hatinya. Suro Joyo memang tidak ingin menjadi raja do Krendobumi, tapi juga tidak rela kalau Krendobumi diduduki secara semena-mena oleh pendekar licik dan serakah. Pendekar yang mengumbar angkara murka demi memenuhi nafsu serakahnya.

Tiba-tiba Suro Joyo meluncur turun dari atas dahan. Dia melesat ke bawah. Melesat ke arah tanah hamparan yang kosong, agak jauh dari pohon yang dikelilingi serigala. Dia selamat menapakkan kedua kaki di tanah lapang, selatan pohon besar.

“Ghuk ghuk ghuk! Ghuk ghuk ghuk...!” gonggongan belasan serigala bersahut-sahutan sambil mengubah arah menuju selatan.

Para serigala berlarian dengan kecepatan angin badai melesat ke arah Suro Joyo. Mulut mereka yang memamerkan taring siap merobek-robel tubuh Suro Joyo! Tenaga mereka semaksimal mungkin dipacu untuk secepatnya menggapai tubuh manusia yang ada di depan mereka.

Suro Joyo tiba-tiba lari sangat cepat ke arah selatan. Para serigala mengejar Suro Joyo dengan kecepatan lari yang tidak kalah cepat. Melihat para binatang yang mengejarnya, Suro Joyo terbeliak. Dia tidak menyangka kalau mereka bisa memiliki kecepatan lari yang sulit ditandingi.

“Ini tidak masuk akal,” gumam Suro Joyo yang terus lari ke arah selatan. “Kalau aku terus lari, lama-lama bisa kelelahan dan terkejar oleh mereka.”

Mendadak Suro Joyo berbelok ke arah timur. Tak lama kemudian berbelok ke arah selatan. Begitu terus dia lakukan, sehingga sebagian serigala kehilangan jejak. Ada di antara mereka yang hanya lurus lari, sehingga tidak mengejak Suro Joyo karena kehilangan arah.

Jumlah serigala yang mengejar Suro Joyo makin lama makin sedikit jumlahnya. Mereka terus lurus mengejar Suro Joyo, padahal Suro Joyo sudah belok arah. Ketika kembali ke arah semula untuk mengejar Suro Joyo, yang dikejar telah hilang tak terlacak.

Makin lama jumlah serigala yang mengejar Suro Joyo tinggal dua ekor. Dua ekor ini agaknya serigala-serigala yang menjadi andalan gerombolan itu.

Kini Suro Joyo terus mencari akal untuk memperdaya dua serigala itu. Jangan sampai mereka mati atau pun terluka. Tujuan Suro Joyo hanya satu, lolos dari kejaran para serigala.

Sebuah kesempatan tak terduga ada di depan mata. Dialihat ada sebuah gua yang lobangnya tidak begitu lebar. Suro Joyo berlari ke arah mulut gua. Seolah-olah dirinya akan masuk gua. Namun gerakannya berubah saat berada di depan mulut gua. Tubuh Suro Joyo melenting tinggi di luar perhitungan dua serigala yang mengejar.

Dua serigala masuk ke dalam gua dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Suro Joyo cepat-cepat menutup mulut gua dengan batu yang ada di dekat gua. Tutupnya tidak penuh, tapi masih menyisakan cahaya dan udara masuk untuk dua serigala.

Buru-buru Suro Joyo melesat cepat kembali ke pohon besar yang tadi malam jadi tempat singgah untuk tidur pulas.

“Dua serigala itu tidak bakalan mati,” kata hati Suro Joyo ketika sampai di bawah pohon besar. “Mereka entah nanti malam atau besok pagi, lama-lama akan bisa keluar dari goa melalui celah yang sengaja kuberikan tadi.”

 

Bergegas Suro Joyo membakar umbi-umbian dengan daund an ranting kering di depan pohon besar. Setelah matang, dia makan dengan lahapnya. Usai makan umbi, berlanjut makan mangga matang dan jambu biji yang masih segar.

“Serigala..., dalam dongeng pengantar untuk anak-anak, digambarkan sebagai sosok yang jahat, serakah, dan buas,” kata hati Suro Joyo. “Manusia yang serakah disamakan dengan serigala karena punya karakter yang sama. Maka tidak heran kalau ada yang menyatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya!”

 Manusia tiba-tiba bisa berubah perangainya, berubah sifat kemanusiaannya manakala memiliki keinginan yang berlebihan. Dia bisa saja mengorbankan apa saja, termasuk sisi manusiawi yang dimiliki. Apa yang tersisa ketika manusia kehilangan kemanusiaannya? Tentu saja dia bukan manusia lagi. Tidak layak disebut manusia lagi. Lantas disebut apa?

Bisa apa saja.

Sewaktu manusia kehilangan sifat kemanusiaan yang melekat pada dirinya, maka sama saja dia kehilangan sosok manusianya. Saat itulah manusia bisa menjadi makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia. Dia bisa menjadi binatang! Atau manusia yang berwatak binatang! Dia bisa menjadi iblis. Wujudnya manusia, tapi berperangai dan berperilaku layaknya iblis kerak neraka!

“Manusia yang berwatak binatang, pada dasarnya lebih rendah dari binatang,” gumam Suro Joyo. “Manusia memelihara kebinatang dalam jiwanya, lebih derajatnya dari binatang. aku muak ketika bertemu dengan manusia macam ini. Aku jijik terhadap manusia jenis ini. Perutku terasa mual, mau muntah, dan rasanya pengin membinasakan manusia yang berperilaku lebih rendah dari binatang...!”

Terbayang sosok manusia yang bernama Badas Wikatra dalam pikiran Suro Joyo. Pendekar yang mendarmakan seluruh hidupnya demi kebenaran di atas bumi itu bangkit. Berdiri tegak menghadap ke arah timur. Siap melanjutkan penjelajahan Hutan Jiwangkara.

"Maaf, Kisanak,” terdengar teguran seorang perempuan dari arah utara.

Suro Joyo membatalkan langkahnya. Dia langsung menoleh ke kiri. Rasa terkejut terlihat dari rautnya. Suro Joyo seolah-olah melihat sosok pendekar perempuan hebat yang pernah dikenalnya.

“Dia mirip Riris Manik...,” gumam Suro Joyo lirih. “Tapi ini tidak mungkin. Riris Manik sudah tiada....”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Brubuh Krendobumi - Pendekar Kembara Semesta Seri 3    Serangan Mendadak yang Mematikan

    Ayumanis, dengan kelincahan yang luar biasa, berputar di antara kerumunan. Pisau-pisau kilatnya berkelebat cepat, memutus urat-urat tangan pucat atau menusuk leher tak berdarah makhluk-makhluk itu. Setiap gerakan adalah tarian maut yang presisi, tapi ia bisa melihat kelelahan mulai membayangi wajah para prajurit di sekelilingnya. Mereka tidak dilatih untuk menghadapi teror seperti ini."Makhluk apa ini?" teriaknya, suaranya sedikit tertahan saat ia harus melompat mundur dari sergapan tiga makhluk sekaligus.Westi Ningtyas, di sisi lain, menggunakan kecakapannya dalam menangkis dan menghindar. Pedang panjangnya berkelebat, memblokir cakar-cakar yang mengancam dan sesekali menyerang balik dengan tusukan cepat. Tapi, ia merasa merinding. Tatapan makhluk-makhluk itu, atau lebih tepatnya, ketiadaan tatapan dari rongga mata kosong mereka, jauh lebih mengerikan daripada musuh mana pun yang pernah ia hadapi. "Mereka tidak punya titik lemah biasa!" serunya, saat pedangnya menembus tubuh salah

  • Brubuh Krendobumi - Pendekar Kembara Semesta Seri 3    Serangan dari Bawah Tanah

    Mereka bergerak cepat, menempuh jarak sangat jauh dalam waktu singkat. Malam ketiga setelah keberangkatan, kelompok inti Suro Joyo tiba di luar Benteng Jagabaya. Benteng itu menjulang kokoh di atas bukit, temboknya tinggi dan menara pengawasnya tampak tegak waspada di bawah sorotan obor. Tapi, yang mengejutkan, pos-pos penjagaan di luar benteng tampak sepi, bahkan beberapa obor padam."Ini aneh," bisik Lodra Dahana, mengamati benteng dari balik semak-semak. "Jayengsata terkenal sebagai senapati yang teliti. Pos terdepan seharusnya tidak lengah seperti ini."Suro Joyo mengernyitkan dahi. "Terlalu sepi. Ini bisa jadi jebakan, atau mereka sudah mengetahui kedatangan kita dan sengaja membiarkan kita mendekat.""Atau," Ayumanis, yang entah sejak kapan sudah berada di sisi mereka, berbisik dengan suara rendah, "Kelompok Arum Hapsari telah melakukan tugas mereka."Lodra Dahana tersentak. "Maksudmu...?"

  • Brubuh Krendobumi - Pendekar Kembara Semesta Seri 3    Badas Wikatra Mencurigai Sangkalpala

    Di sudut ruangan, sebuah laci rahasia tersembunyi di balik ukiran singa. Laci itu adalah warisan dari Patih terdahulu, digunakan untuk komunikasi rahasia dalam situasi darurat. Sangkalpala membuka laci itu, memutar tiga ukiran kecil yang berbeda secara berurutan. Di dalamnya, ada sebuah lubang gelap, jauh di bawah istana, menuju jaringan terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di ujung jaringan itu, seorang mantan penjaga istana yang setia pada mendiang Raja, bernama Wiratama, menanti. Wiratama akan menjadi penghubung.Jantung Sangkalpala berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia menaruh liontin itu ke dalam lubang. Ia merasakan liontin itu meluncur ke bawah, menghilang dalam kegelapan. Sebuah napas lega, bercampur dengan ketakutan yang dingin, meluncur dari paru-parunya. Informasi itu telah dikirim. Misi pertamanya berhasil.Ia menutup kembali laci rahasia itu, memutar ukiran singa kembali ke posisi semula, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Kemudian

  • Brubuh Krendobumi - Pendekar Kembara Semesta Seri 3    Pengkhianatan Sangkalpala

    Suro Joyo menatap ke sekeliling, pada ribuan orang yang kini telah berlutut di hadapannya, dari panglima perkasa hingga prajurit paling rendah. Beban itu, berat seperti gunung, kini terasa nyata di pundaknya. Ia merasakan energi dari setiap jiwa yang berjanji setia, kekuatan yang mengalir ke dalam dirinya, bukan hanya dari mantra atau ajian, melainkan dari kepercayaan murni.Ia mengangkat tangannya, meminta mereka bangkit. "Maka dengarkanlah!" Suaranya kembali menggelegar. "Mulai saat ini, aku, Suro Joyo, menerima tanggung jawab ini. Aku akan menjadi panglima tertinggi kalian! Besok pagi, kita akan melancarkan serangan pertama kita. Target kita adalah Wanabisala. Ini bukan hanya perang, ini adalah janji kepada rakyat Krendobumi, janji bahwa tirani akan berakhir!"Ribuan suara bergemuruh menyambut, "Hidup Suro Joyo! Hidup Krendobumi!" Semangat mereka membumbung tinggi, menembus dinginnya malam.Suro Joyo men

  • Brubuh Krendobumi - Pendekar Kembara Semesta Seri 3    Pesan Sangkalpala untuk Arum Hapsari

    Lodra Dahana menunjuk ke peta. "Pasukan Garbaloka akan memimpin serangan langsung ke Gerbang Selatan. Saya akan memimpin barisan terdepan. Kita akan memanfaatkan elemen kejutan dan jumlah pasukan yang besar."Arum Hapsari menambahkan, "Pasukan loyal Krendobumi akan bergerak dari timur, menciptakan kekacauan di Gerbang Timur. Meskipun jumlah kami tak sebanyak pasukan utama, kami mengenal seluk-beluk kota dan bisa menarik perhatian yang cukup.""Ayumanis dan kelompok pendekar cepat akan menjadi kesatuan penembus,” Suro Joyo melanjutkan. "Begitu gerbang terbuka, kalian akan menjadi garda terdepan untuk mengamankan posisi, menetralisir pertahanan awal, dan membuka jalan bagi pasukan utama." Ayumanis mengangguk, pisau-pisau di pinggangnya seolah bergetar menanti aksi.Westi Ningtyas ditugaskan untuk mengoordinasikan pasokan dan menjaga jalur komunikasi yang aman. Sadrata dan Lakseta akan tetap di sisi Suro Joyo sebagai

  • Brubuh Krendobumi - Pendekar Kembara Semesta Seri 3    Semangat Menyala Kembali

    Suro Joyo menarik napas dalam-dalam, pandangannya mengamati peta Krendobumi yang terbentang di atas meja. Setiap wilayah yang harus direbut kembali, setiap benteng yang harus ditembus, setiap nyawa yang akan dipertaruhkan. Ia memikirkan gurunya, Ki Tambung, yang telah mewariskan ilmu dan pusaka kepadanya. Ia memikirkan kedua orang tuanya, yang kematiannya menjadi pemicu perjalanan panjang ini."Raden...," Lodra Dahana kembali bersuara, merasakan keraguan sesaat di wajah Suro Joyo. "Apakah Anda bersedia menerima tugas berat ini? Memimpin kami semua menuju kemenangan, atau...,"Suro Joyo mengangkat tangannya, menghentikan kalimat Lodra Dahana. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah Badas Wikatra, ilusi-ilusi yang pernah ia hadapi, dan kekejaman yang telah menyelimuti Krendobumi. Tidak ada jalan untuk mundur. Ini adalah takdirnya."Saya bersedia," katanya, suaranya mantap, memenuhi tenda. "Saya akan memimpin aliansi ini. Sekarang, mari kita bahas strategi. Aku ingin tahu setiap d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status