Suro Joyo mengangkat Tombak Bowong tinggi-tinggi. Permata merah delima di ujungnya bersinar semakin terang, menampakkan cahaya berbentuk busur yang menyapu siluman-siluman di garis depan. Makhluk-makhluk itu menjerit kesakitan saat cahaya membakar kulit bersisik mereka, lalu mengubahnya menjadi abu dalam sekejap.
Dengan sebuah gerakan memutar yang kuat, Suro Joyo mengayunkan Tombak Bowong. Angin berpusar mengikutinya, membentuk hembusan kekuatan gaib yang mematikan. Lusinan siluman di sekelilingnya terlempar, tubuh mereka terpuntir dan hancur berantakan. Aroma belerang dan daging terbakar memenuhi udara, bercampur dengan bau amis.
Suro Joyo bergerak maju, setiap langkahnya diiringi nuansa kehancuran bagi musuh. Ia bukan lagi sekadar seorang pendekar, melainkan perwujudan kemarahan langit yang memegang pusaka sakti. Tombak Bowong bagaikan perpanjangan dari jiwanya, menari lincah di tangannya, menusuk dan menyapu, setiap serangannya mematikan
Kemenangan sementara! Para prajurit bersorak. Sorakan kemenangan pertama setelah pertempuran yang keras. Tapi, euforia itu tidak bertahan lama.Keempat raksasa lainnya, seolah merasakan kematian pemimpin mereka dan hilangnya sumber energi utama, berhenti sejenak. Tapi, bukan untuk mundur. Sebaliknya, dari retakan-retakan di tubuh batu mereka, cahaya merah yang lebih terang mulai berpendar, berdenyut seperti jantung yang baru lahir. Tubuh mereka yang rusak justru mulai tumbuh, membengkak, dan berubah.Batu-batu di tubuh mereka mulai melebur dan membentuk kembali, bukan lagi menjadi raksasa yang sama, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, lebih ramping, tapi jauh lebih buas. Tanduk-tanduk tajam mencuat dari kepala mereka, cakar-cakar runcing muncul dari tangan dan kaki mereka. Otot-otot batu mereka tampak lebih padat, lebih menakutkan. Cahaya merah di mata mereka kini membara, dan aura kegelapan yang mereka pancarkan berlipat ganda, memenuhi lembah dengan hawa dingin yang mematikan.
"Ini bukan sekadar penjaga gerbang," gumam Lodra Dahana, senapati tangguh dari Garbaloka, suaranya sarat akan ketegangan, tapi tetap tegas. Ia berdiri tegak, perisai besar berhias ukiran naga di satu tangan dan gada berat di tangan lainnya, siap menghadapi ancaman apa pun yang akan datang.Di sampingnya, Arum Hapsari menajamkan pandangannya, kedua bilah pedangnya yang melengkung memantulkan cahaya redup dari senja yang mulai turun, seolah api biru menari-nari di bilahnya. Aura spiritual yang khas dari murid Bledeksewu mulai menyelimuti dirinya, mempersiapkan untuk pertarungan sengit.Keempat raksasa lainnya, meskipun sedikit lebih kecil dari pemimpin mereka, masih setinggi pohon kelapa dewasa, tidak menunggu aba-aba. Dengan raungan yang mengguncang bumi, mereka bergerak. Dua melesat ke sisi kanan formasi, dua ke sisi kiri, seolah mengikuti taktik perang yang mengerikan. Setiap langkah mereka menyebabkan tanah bergetar, awan debu membumbung tinggi, dan pohon-pohon di sekitar mereka tum
Di sisi lain, Arum Hapsari sudah mengatur pasukannya. Murid Bledeksewu itu memimpin beberapa pendekar pilihan, menciptakan formasi pertahanan yang solid, menangkis serpihan batu dan tanah yang terlempar oleh gerakan raksasa. Westi Ningtyas, dengan gesitnya, menghindari pukulan tangan raksasa yang menyapu. Panah-panah dan tombak-tombak mulai ditembakkan ke arah makhluk itu, tapi sepertinya hanya menggores kulit luarnya, menimbulkan suara benturan logam di atas batu yang keras.Suro Joyo merasakan getaran tanah di setiap langkah raksasa itu. Ia sadar, serangan biasa tidak akan melumpuhkan makhluk ini. Matanya terfokus pada titik-titik lemah yang mungkin ada: mata yang menyala merah, atau bagian tubuh yang tampak lebih lunak di antara sisik-sisik tebal. Ia teringat ajian penyerap energi yang diajarkan gurunya, Ki Tambung. Mungkinkah ia bisa menyerap sebagian kekuatan makhluk ini? Atau setidaknya melemahkannya?Tapi, raksasa itu tidak memberinya waktu untuk berpikir panjang. Dengan raunga
Ayumanis, dengan kelincahan yang luar biasa, berputar di antara kerumunan. Pisau-pisau kilatnya berkelebat cepat, memutus urat-urat tangan pucat atau menusuk leher tak berdarah makhluk-makhluk itu. Setiap gerakan adalah tarian maut yang presisi, tapi ia bisa melihat kelelahan mulai membayangi wajah para prajurit di sekelilingnya. Mereka tidak dilatih untuk menghadapi teror seperti ini."Makhluk apa ini?" teriaknya, suaranya sedikit tertahan saat ia harus melompat mundur dari sergapan tiga makhluk sekaligus.Westi Ningtyas, di sisi lain, menggunakan kecakapannya dalam menangkis dan menghindar. Pedang panjangnya berkelebat, memblokir cakar-cakar yang mengancam dan sesekali menyerang balik dengan tusukan cepat. Tapi, ia merasa merinding. Tatapan makhluk-makhluk itu, atau lebih tepatnya, ketiadaan tatapan dari rongga mata kosong mereka, jauh lebih mengerikan daripada musuh mana pun yang pernah ia hadapi. "Mereka tidak punya titik lemah biasa!" serunya, saat pedangnya menembus tubuh salah
Mereka bergerak cepat, menempuh jarak sangat jauh dalam waktu singkat. Malam ketiga setelah keberangkatan, kelompok inti Suro Joyo tiba di luar Benteng Jagabaya. Benteng itu menjulang kokoh di atas bukit, temboknya tinggi dan menara pengawasnya tampak tegak waspada di bawah sorotan obor. Tapi, yang mengejutkan, pos-pos penjagaan di luar benteng tampak sepi, bahkan beberapa obor padam."Ini aneh," bisik Lodra Dahana, mengamati benteng dari balik semak-semak. "Jayengsata terkenal sebagai senapati yang teliti. Pos terdepan seharusnya tidak lengah seperti ini."Suro Joyo mengernyitkan dahi. "Terlalu sepi. Ini bisa jadi jebakan, atau mereka sudah mengetahui kedatangan kita dan sengaja membiarkan kita mendekat.""Atau," Ayumanis, yang entah sejak kapan sudah berada di sisi mereka, berbisik dengan suara rendah, "Kelompok Arum Hapsari telah melakukan tugas mereka."Lodra Dahana tersentak. "Maksudmu...?"
Di sudut ruangan, sebuah laci rahasia tersembunyi di balik ukiran singa. Laci itu adalah warisan dari Patih terdahulu, digunakan untuk komunikasi rahasia dalam situasi darurat. Sangkalpala membuka laci itu, memutar tiga ukiran kecil yang berbeda secara berurutan. Di dalamnya, ada sebuah lubang gelap, jauh di bawah istana, menuju jaringan terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di ujung jaringan itu, seorang mantan penjaga istana yang setia pada mendiang Raja, bernama Wiratama, menanti. Wiratama akan menjadi penghubung.Jantung Sangkalpala berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia menaruh liontin itu ke dalam lubang. Ia merasakan liontin itu meluncur ke bawah, menghilang dalam kegelapan. Sebuah napas lega, bercampur dengan ketakutan yang dingin, meluncur dari paru-parunya. Informasi itu telah dikirim. Misi pertamanya berhasil.Ia menutup kembali laci rahasia itu, memutar ukiran singa kembali ke posisi semula, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Kemudian