Share

Dihina dan Diabaikan

"Mbak, tunggu sebentar! Ini pake sandal saya," ucapnya seraya meletakkan sandal di depan kakiku.

Aku melongo tak percaya, begitu pun Mbak Diana. Pria itu rela berjalan telanj*ang kaki demi aku.

Pria misterius, aku menyebutnya selama ini. Kata Mbak Diana dia duda sombong, sikapnya juga selalu dingin kepada siapa saja. Tapi ternyata dia bisa baik juga ya ....

"Te-terima kasih, Mas," ucapku terbata.

Bukannya menjawab pria itu langsung berlalu meninggalkan kami. Sepintas kulihat raut wajahnya, tak ada ekspresi tak ada senyum di sana, dingin! Tak apalah yang penting dia sudah menolongku kali ini.

"Ngelamun lagi?" Mbak Diana menghardikku.

"Eh, enggak, Mbak." sahutku lantas mengikuti Mbak Diana yang ngeloyor meninggalkanku.

Kulihat sudah banyak yang datang di masjid meskipun aku berangkat pagi sekali.

"May, fotoin aku sebentar di depan masjid! Yang bagus ya," ucap Mbak Diana seraya menyodorkan ponselnya kepadaku.

Aku ambil foto dirinya yang tersenyum manis di depan kamera. Setelah itu kukembalikan ponselnya.

Kulirik Mbak Diana senyam-senyum sendiri saat mengamati hasil jepretanku.

Kuulas senyum menatap pada bangunan kokoh di hadapanku. Teringat masa kecilku sering menghabiskan waktu di masjid tempat asalku dulu.

Dulu sekali, masjid adalah rumah kedua bagiku. Karena di tempat itulah aku menghabiskan waktu dengan tenang.

Ada seorang teman dekat, Kak Arya namanya. Dia bagiku seperti kakak sekaligus sahabat dekat semasa kecil. Usia kami terpaut kira-kira 3 atau 4 tahun aku lupa. dan di masjid itulah kami banyak menghabiskan waktu bersama, mengaji sekaligus bermain.

Hingga kami harus pindah ke tempat ini. Rumah yang lama dijual karena Bapak banyak hutang dan pindah ke kampung ini dengan rumah yang lebih kecil.

Sedih, itu pasti! Harus meninggalkan teman dan banyak kenangan di sana. Harus meninggalkan Kak Arya juga tanpa sempat berpamitan dengannya.

Di kampung ini aku melanjutkan sekolah dan di kampung ini pula aku bertemu Mas Galih, suamiku.

Aku diminta ibu kerja di toko sembako milik keluarga Mas Galih. Di saat itu lah Mas Galih sering mengamati dan mendekatiku.

Dan tak lama dia meminta aku untuk menikah dengannya. Awalnya keluarga besarnya menolak menyetujui permintaannya karena aku anak orang tak punya tapi Mas Galih kekeh untuk mempertahankanku.

Dan orangtuaku? Jangan ditanya, mereka menyambut gembira pinangan Mas Galih kepadaku. Apalagi di kampung ini keluarga Raharjo dikenal berada.

****

Setelah selesai sholat ied, aku lihat Mas Galih sudah terlihat segar dengan baju batiknya yang seragam dengan ayah mertua.

Mereka sudah duduk di ruang tamu dan Ibu mertua juga sudah siap dengan gamisnya.

Mbak Diana langsung masuk ke kamar, mungkin untuk mengganti bajunya. Aku pun ke kamar untuk meletakkan mukenah.

Setelah itu kami semua berkumpul di ruang tamu untuk melakukan sungkem yang sudah menjadi tradisi lebaran.

Dimulai dari ayah dan ibu mertua, lalu kami anak dan menantunya pun ikut sungkem untuk menghaturkan maaf.

Mbak Diana dan Mas Galih sudah sungkem terhadap kedua orangtunya, kini giliranku.

Kucium tangan ibu mertua dan meminta maaf atas semua kesalahanku selama ini.

"Kamu kapan bisa ngasih kami cucu? Sudah 3 tahun, loh kalian menikah," ucap ibu mertua saat aku selesai menyalaminya.

DEGH!

Rasanya hatiku dihant*m dengan godam ketika di hari bahagia ini mendengar pertanyaannya.

"May, kalau diajak bicara itu nyahut bukannya menunduk seperti itu!" ucap suamiku.

Aku mendongak menatap suami dan mertua secara bergantian.

"Doakan saja, Bu. Agar kami lekas diberi momongan." sahutku dengan mata nanar.

"Alah ... percuma juga banyak doa kalau gak ada usaha," ketus ibu mertua.

Bukannya tak berusaha, sudah banyak saran dari orangtua dan tetangga sudah aku lakukan. Bahkan aku juga sudah minum berbagai macam ramuan herbal, ke dokter pun sudah bosen bolak-balik periksa dan kata mereka aku normal, tak ada masalah.

"Makanya kalau orangtua ngasih saran itu dilakukan bukannya malah nolak. Dibilangi suruh ke Mbah Sarim kok gak mau, dia itu dukun terkenal di kampung ini," sahut Bapak mertuaku.

Mbah Sarim memang dukun terkenal di kampung ini. Banyak pasangan yang lama belum mempunyai keturunan datang ke tempatnya dan beberapa orang sudah berhasil.

Aku memang menolak jika diajak ke sana, selain karena tak percaya dukun, aku juga tak mau melakukan hal syirik sebagai syarat untuk bisa diterima.

Meskipun aku hanya lulusan SMP tapi aku sedikit tahu tentang ilmu agama.

"Udahlah, dari pada bengong begitu mending kamu ke dapur siapin makan untuk kami," perintah ibu mertua.

Aku pun langsung beranjak menuruti perintah mertuaku. Menyiapkan sarapan untuk mereka semua.

Setelah semua menu sudah aku hidangkan di meja makan, lantas mereka pun makan bersama tanpa mengajakku.

Pernah aku duduk bersama mereka di meja makan, bukannya bisa makan dengan tenang mereka malah sibuk menyuruhku ini itu hingga saat mereka selesai pun, nasi yang sudah aku ambil masih utuh.

Aku memilih makan di sudut dapur sendirian, di sana juga ada meja dan kursi jadi aku bisa makan dengan tenang.

****

Beberapa tamu mulai berdatangan. Dimulai dari tetangga, teman dan saudara yang datang berkunjung.

Dikna, adik Mas Galih datang dengan menggendong anaknya. Dia menyalami semua keluarga kecuali aku.

Padahal aku ada di sana diantara mereka tapi keberadaanku seolah dianggap tak ada.

Kemudian disusul Mas Haris-kakak suamiku-dan juga Mbak Nisa, istrinya. Anak mereka sudah besar Aisyah dan Ikhsan.

Berbeda dengan yang lainnya Mas Haris menyapa dan menyalamiku, begitu pun istrinya. Mbak Nisa sangat baik terhadapku.

Mereka semua memakai pakaian seragam yang sama. Untuk para perempuan, gamis dengan atasan brukat dan bawahan sifon dan untuk lelaki baju batik warna senada.

"Maya, kamu ngapain di sini? Udah tahu banyak tamu bukannya ke dapur bikinin mereka minuman malah diem aja di situ," cerocos Mbak Diana.

Kulihat ibu mertua melirikku sinis, dia sedang berbicara dengan putri bungsunya tapi tatapan matanya tak lepas memindaiku.

"Iya, Mbak,"jawabku.

Padahal aku sedang mengobrol bersama Mbak Nisa dan kedua anaknya. Lama tak berjumpa membuat kami saling menanyakan kabar masing-masing.

Di dapur aku membuat minuman sirup dingin, kutambahlan gula dan sirup ke dalam teko berisi air setelah itu kutambahkan es batu ke dalamnya.

"May, cepetan dong. Lama banget sih bikinnya," teriak Mbak Diana.

"Iya, Mbak. Ini udah siap." Aku berlari kecil menuju ruang tamu dengan membawa baki berisi gelas dan teko.

Ternyata sudah ada Bulik Nur diantara mereka bersama Dewi-putrinya-dan juga cucunya.

"May, kamu kok gak pakai seragam kayak yang lainnya?" tanya Bulik Nur.

Aku terdiam, takut jika menjawab yang sebenarnya. Apalagi kini Ibu dan Mbak Diana menatapku juga.

Belum sempat memberikan jawaban, Dikna, adik iparku sudah mendahuluiku.

"Iya, Mbak Maya mah bengal banget orangnya, Bulik. Dikasih seragam malah gak dipakai, gak kompak sama keluarga," komentar Dikna tanpa tahu duduk permasalahannya.

"Bukan begitu, Dik tapi—," belum sempat aku meneruskan perkataanku, lagi-lagi Mbak Diana sudah menyelanya.

"Udah jangan banyak alasan kamu, emang kamunya aja yang sulit diatur. Bener kata Dikna kamu tuh bengal orangnya, makanya sampai sekarang gak bisa hamil juga," Mbak Diana kembali menggores luka di hatiku.

Apa hubungannya seragam dan kehamilan? Kenapa begitu mudah dia mengatai orang seperti itu.

Padahal Mbak Diana sendiri sudah tahu apa alasanku tidak mengenakan seragam itu. Dia memberiku kain sisa yang tidak akan cukup jika dibuat sebagai gamis. Bukan cuma itu dia memberikan kain itu 2 hari menjelang lebaran di mana banyak para penjahit yang tidak lagi menerima jahitan.

Aku melirik Mas Galih, dia pun tahu soal ini. Tapi dia hanya diam saja tak berusaha membelaku.

Aku lihat dia malah asyik bermain bersama Farel, anak dari Dewi sepupunya. Kenapa aku melihat mereka seperti keluarga kecil yang bahagia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status