Share

Dihina dan Diabaikan

Penulis: Yani Artan
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-09 11:25:15

"Mbak, tunggu sebentar! Ini pake sandal saya," ucapnya seraya meletakkan sandal di depan kakiku.

Aku melongo tak percaya, begitu pun Mbak Diana. Pria itu rela berjalan telanj*ang kaki demi aku.

Pria misterius, aku menyebutnya selama ini. Kata Mbak Diana dia duda sombong, sikapnya juga selalu dingin kepada siapa saja. Tapi ternyata dia bisa baik juga ya ....

"Te-terima kasih, Mas," ucapku terbata.

Bukannya menjawab pria itu langsung berlalu meninggalkan kami. Sepintas kulihat raut wajahnya, tak ada ekspresi tak ada senyum di sana, dingin! Tak apalah yang penting dia sudah menolongku kali ini.

"Ngelamun lagi?" Mbak Diana menghardikku.

"Eh, enggak, Mbak." sahutku lantas mengikuti Mbak Diana yang ngeloyor meninggalkanku.

Kulihat sudah banyak yang datang di masjid meskipun aku berangkat pagi sekali.

"May, fotoin aku sebentar di depan masjid! Yang bagus ya," ucap Mbak Diana seraya menyodorkan ponselnya kepadaku.

Aku ambil foto dirinya yang tersenyum manis di depan kamera. Setelah itu kukembalikan ponselnya.

Kulirik Mbak Diana senyam-senyum sendiri saat mengamati hasil jepretanku.

Kuulas senyum menatap pada bangunan kokoh di hadapanku. Teringat masa kecilku sering menghabiskan waktu di masjid tempat asalku dulu.

Dulu sekali, masjid adalah rumah kedua bagiku. Karena di tempat itulah aku menghabiskan waktu dengan tenang.

Ada seorang teman dekat, Kak Arya namanya. Dia bagiku seperti kakak sekaligus sahabat dekat semasa kecil. Usia kami terpaut kira-kira 3 atau 4 tahun aku lupa. dan di masjid itulah kami banyak menghabiskan waktu bersama, mengaji sekaligus bermain.

Hingga kami harus pindah ke tempat ini. Rumah yang lama dijual karena Bapak banyak hutang dan pindah ke kampung ini dengan rumah yang lebih kecil.

Sedih, itu pasti! Harus meninggalkan teman dan banyak kenangan di sana. Harus meninggalkan Kak Arya juga tanpa sempat berpamitan dengannya.

Di kampung ini aku melanjutkan sekolah dan di kampung ini pula aku bertemu Mas Galih, suamiku.

Aku diminta ibu kerja di toko sembako milik keluarga Mas Galih. Di saat itu lah Mas Galih sering mengamati dan mendekatiku.

Dan tak lama dia meminta aku untuk menikah dengannya. Awalnya keluarga besarnya menolak menyetujui permintaannya karena aku anak orang tak punya tapi Mas Galih kekeh untuk mempertahankanku.

Dan orangtuaku? Jangan ditanya, mereka menyambut gembira pinangan Mas Galih kepadaku. Apalagi di kampung ini keluarga Raharjo dikenal berada.

****

Setelah selesai sholat ied, aku lihat Mas Galih sudah terlihat segar dengan baju batiknya yang seragam dengan ayah mertua.

Mereka sudah duduk di ruang tamu dan Ibu mertua juga sudah siap dengan gamisnya.

Mbak Diana langsung masuk ke kamar, mungkin untuk mengganti bajunya. Aku pun ke kamar untuk meletakkan mukenah.

Setelah itu kami semua berkumpul di ruang tamu untuk melakukan sungkem yang sudah menjadi tradisi lebaran.

Dimulai dari ayah dan ibu mertua, lalu kami anak dan menantunya pun ikut sungkem untuk menghaturkan maaf.

Mbak Diana dan Mas Galih sudah sungkem terhadap kedua orangtunya, kini giliranku.

Kucium tangan ibu mertua dan meminta maaf atas semua kesalahanku selama ini.

"Kamu kapan bisa ngasih kami cucu? Sudah 3 tahun, loh kalian menikah," ucap ibu mertua saat aku selesai menyalaminya.

DEGH!

Rasanya hatiku dihant*m dengan godam ketika di hari bahagia ini mendengar pertanyaannya.

"May, kalau diajak bicara itu nyahut bukannya menunduk seperti itu!" ucap suamiku.

Aku mendongak menatap suami dan mertua secara bergantian.

"Doakan saja, Bu. Agar kami lekas diberi momongan." sahutku dengan mata nanar.

"Alah ... percuma juga banyak doa kalau gak ada usaha," ketus ibu mertua.

Bukannya tak berusaha, sudah banyak saran dari orangtua dan tetangga sudah aku lakukan. Bahkan aku juga sudah minum berbagai macam ramuan herbal, ke dokter pun sudah bosen bolak-balik periksa dan kata mereka aku normal, tak ada masalah.

"Makanya kalau orangtua ngasih saran itu dilakukan bukannya malah nolak. Dibilangi suruh ke Mbah Sarim kok gak mau, dia itu dukun terkenal di kampung ini," sahut Bapak mertuaku.

Mbah Sarim memang dukun terkenal di kampung ini. Banyak pasangan yang lama belum mempunyai keturunan datang ke tempatnya dan beberapa orang sudah berhasil.

Aku memang menolak jika diajak ke sana, selain karena tak percaya dukun, aku juga tak mau melakukan hal syirik sebagai syarat untuk bisa diterima.

Meskipun aku hanya lulusan SMP tapi aku sedikit tahu tentang ilmu agama.

"Udahlah, dari pada bengong begitu mending kamu ke dapur siapin makan untuk kami," perintah ibu mertua.

Aku pun langsung beranjak menuruti perintah mertuaku. Menyiapkan sarapan untuk mereka semua.

Setelah semua menu sudah aku hidangkan di meja makan, lantas mereka pun makan bersama tanpa mengajakku.

Pernah aku duduk bersama mereka di meja makan, bukannya bisa makan dengan tenang mereka malah sibuk menyuruhku ini itu hingga saat mereka selesai pun, nasi yang sudah aku ambil masih utuh.

Aku memilih makan di sudut dapur sendirian, di sana juga ada meja dan kursi jadi aku bisa makan dengan tenang.

****

Beberapa tamu mulai berdatangan. Dimulai dari tetangga, teman dan saudara yang datang berkunjung.

Dikna, adik Mas Galih datang dengan menggendong anaknya. Dia menyalami semua keluarga kecuali aku.

Padahal aku ada di sana diantara mereka tapi keberadaanku seolah dianggap tak ada.

Kemudian disusul Mas Haris-kakak suamiku-dan juga Mbak Nisa, istrinya. Anak mereka sudah besar Aisyah dan Ikhsan.

Berbeda dengan yang lainnya Mas Haris menyapa dan menyalamiku, begitu pun istrinya. Mbak Nisa sangat baik terhadapku.

Mereka semua memakai pakaian seragam yang sama. Untuk para perempuan, gamis dengan atasan brukat dan bawahan sifon dan untuk lelaki baju batik warna senada.

"Maya, kamu ngapain di sini? Udah tahu banyak tamu bukannya ke dapur bikinin mereka minuman malah diem aja di situ," cerocos Mbak Diana.

Kulihat ibu mertua melirikku sinis, dia sedang berbicara dengan putri bungsunya tapi tatapan matanya tak lepas memindaiku.

"Iya, Mbak,"jawabku.

Padahal aku sedang mengobrol bersama Mbak Nisa dan kedua anaknya. Lama tak berjumpa membuat kami saling menanyakan kabar masing-masing.

Di dapur aku membuat minuman sirup dingin, kutambahlan gula dan sirup ke dalam teko berisi air setelah itu kutambahkan es batu ke dalamnya.

"May, cepetan dong. Lama banget sih bikinnya," teriak Mbak Diana.

"Iya, Mbak. Ini udah siap." Aku berlari kecil menuju ruang tamu dengan membawa baki berisi gelas dan teko.

Ternyata sudah ada Bulik Nur diantara mereka bersama Dewi-putrinya-dan juga cucunya.

"May, kamu kok gak pakai seragam kayak yang lainnya?" tanya Bulik Nur.

Aku terdiam, takut jika menjawab yang sebenarnya. Apalagi kini Ibu dan Mbak Diana menatapku juga.

Belum sempat memberikan jawaban, Dikna, adik iparku sudah mendahuluiku.

"Iya, Mbak Maya mah bengal banget orangnya, Bulik. Dikasih seragam malah gak dipakai, gak kompak sama keluarga," komentar Dikna tanpa tahu duduk permasalahannya.

"Bukan begitu, Dik tapi—," belum sempat aku meneruskan perkataanku, lagi-lagi Mbak Diana sudah menyelanya.

"Udah jangan banyak alasan kamu, emang kamunya aja yang sulit diatur. Bener kata Dikna kamu tuh bengal orangnya, makanya sampai sekarang gak bisa hamil juga," Mbak Diana kembali menggores luka di hatiku.

Apa hubungannya seragam dan kehamilan? Kenapa begitu mudah dia mengatai orang seperti itu.

Padahal Mbak Diana sendiri sudah tahu apa alasanku tidak mengenakan seragam itu. Dia memberiku kain sisa yang tidak akan cukup jika dibuat sebagai gamis. Bukan cuma itu dia memberikan kain itu 2 hari menjelang lebaran di mana banyak para penjahit yang tidak lagi menerima jahitan.

Aku melirik Mas Galih, dia pun tahu soal ini. Tapi dia hanya diam saja tak berusaha membelaku.

Aku lihat dia malah asyik bermain bersama Farel, anak dari Dewi sepupunya. Kenapa aku melihat mereka seperti keluarga kecil yang bahagia?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bu, Aku Menantu Atau Babu?   Anugerah Untuk Maya dan Rangga

    Acara di ballroom hotel berlangsung dengan meriah. Banyak kerabat, tetangga, relasi dan rekan bisnis Rangga yang datang memenuhi undangan itu.Maya sempat merasa minder berada diantara mereka semua. Dia baru menyadari jika sang suami adalah orang yang diperhitungkan dalam bisnis interiornya. Rata-rata mereka yang datang dari kalangan atas, terlihat dari penampilan mereka yang berbeda.Rangga tak membiarkan istrinya merasa sendiri, dia tak pernah melepas tangan Maya, bahkan dia selalu melibatkan Maya di saat berbaur bersama teman-temannya.Saat tengah asyik mengobrol, Maya melihat seseorang yang dikenalnya. Beberapa kali dia meyakinkan pandangannya bahwa apa yang dilihatnya itu benar adalah Kinan.Kinan dan Radit memang sengaja datang ke pesta pernikahan itu. Mereka ingin memberikan kado spesial untuk Maya dan Rangga."Maya, selamat ya. Akhirnya kalian bisa bersama." Kinan memberikan selamat seraya memeluk Maya."Terima kasih, Mbak sudah menyempatkan datang ke sini jauh-jauh," sahut Ma

  • Bu, Aku Menantu Atau Babu?   Perginya Sang Biang Onar

    "Yaa ... aku terlambat!" sahut Hesti dengan rona wajah kecewa dan pasrah."Busyet ... ini bocah baru bangun langsung liat acara nikahan! Mandi sono, gih! Masih ileran gitu," Bi Ijah negur Hesti yang masih memakai baju tidur s*ksi."Syirik aja jadi orang, terserah dong aku mau ngapain," jawab Hesti ketus, perempuan itu lalu kembali ke kamarnya."Astaghfirullah ...." Bi Ijah beristighfar sambil mengelus dada setelah kepergian Hesti.Setelah acara akad nikah selesai, Penghulu menutupnya dengan acara doa bersama dan setelahnya mereka semua pun merayakannya dengan menikmati hidangan yang sudah disediakan.Sementara Maya dan Rangga mendapat banyak ucapan selamat dari orang-orang di sekitarnya. Mereka juga sudah mengabadikan momen spesial itu dengan berfoto ria bersama. Beberapa saat lamanya mereka berinteraksi dengan semua tamu yang hadir, hingga Rangga berniat untuk mengajak Maya istirahat sebentar di kamar karena nanti malam acara akan dilanjutkan di ballroom sebuah hotel bintang 5."Saya

  • Bu, Aku Menantu Atau Babu?   Akhirnya Sah!

    "Lah, gimana sih Mbak. Semua harus minta ijin dan nurut sama kamu. Iya, aku dan Aldo memutuskan untuk tinggal di sini, rumah ini besar, fasilitasnya lengkap, jadi aku juga pingin tinggal nyaman di sini," tutur Hesti ringan."Jangan ngaco kamu, Hes! Ini rumah Mas Rangga, kamu gak bisa seenaknya tinggal di sini tanpa ijin darinya," sahut Maya geram.Hesti melotot, sementara Aldo malah asyik bermain ponsel di ranjang, tak peduli dengan kemarahan Maya."Mas Rangga pasti ngijinin aku tinggal di sini! Jangan khawatir besok aku akan bilang sendiri sama orangnya," sahut Hesti menatap Maya tajam.Hesti lalu mendorong tubuh Maya untuk mundur sedikit, lalu dia menarik tangan kakaknya untuk menjauh dari kamarnya, tak ingin Aldo mendengar ucapannya."Apaan sih, Hes?!" tandas Maya seraya melepaskan cekalan tangan Hesti."Mbak, asal kamu tahu aja ya. Kamu itu cuma beruntung karena kamu lah orang pertama yang bertemu dengan Mas Rangga, seandainya dia ketemu aku duluan, yakin deh dia bakalan jatuh cin

  • Bu, Aku Menantu Atau Babu?   Bertambah Satu Si Biang Onar

    Sebelum maghrib Bu Lina, Andika, dan Lia sudah datang ke tempat Maya. Mereka ikut pengajian yang diselenggarakan di rumah itu, mengingat itu juga adalah rumah Bu Lina dan para tetangga sudah mengenalnya. Mereka datang diantarkan oleh orang suruhan Rangga, setelah itu orang itu pun pergi dan akan datang lagi nanti saat acara selesai.Setelah maghrib, Bu Indah dan Arya juga datang atas permintaan Maya. Kedatangan Arya ke situ untuk membantu Maya menyiapkan segala keperluan dari pihak keluarga perempuan karena Maya tak mempunyai saudara laki-laki.Saat bertemu dengan Lia, Arya terlihat begitu bersemangat. Dia mulai sering mencuri pandang dan kadangkala mereka kedapatan mengobrol berdua.Hal itu tentu saja tak lepas dari pengamatan Bu Indah dan Bu Lina, selaku ibu dari Lia.Rangga tak ikut serta karena Bu Lina tak mengijinkannya datang sebelum akad nikah besok pagi. Maya keluar dengan balutan gamis putih yang lembut dan elegan, pemberian dari Rangga. Dengan riassan modern dan natural, di

  • Bu, Aku Menantu Atau Babu?   Memaafkan Diana

    Sore itu, rumah sudah dibersihkan oleh Bi Ijah dan Bu Romlah juga dibantu oleh para tetangga. Pengajian akan digelar nanti setelah maghrib."Mbak, tinggal menunggu kiriman kuenya. Harusnya sudah dikirim dari tadi, sih tapi ini sampai jam segini kok belum datang ya," tutur Bi Ijah khawatir."Tenang, Bi. Masih ada waktu sekitar 2,5 jam. Sebentar lagi pasti akan datang," sahut Maya optimis."Itu, tuh kalau kebanyakan dosa, acaranya gak bakalan lancar!" seru Hesti tanpa merasa bersalah."Tutup mulutmu, Hes!" tandas Bu Romlah geram dan Hesti pun melengos.Tak lama sebuah mobil warna putih berhenti di depan rumah. Seorang wanita turun dari mobil itu, sedangkan pria yang bersamanya membuka jok belakang untuk mengambil kue pesanan Maya.Melihat wanita itu, Maya tercekat. Dia sangat mengenal siapa yang kini sedang dilihatnya. Tak salah lagi itu Diana tapi dengan penampilan yang tak seperti biasanya.Diana terlihat lusuh, wajahnya pun bebas dari make up seperti yang biasa dia pakai. Wajah perem

  • Bu, Aku Menantu Atau Babu?   Adik yang Menyebalkan

    "Hes, kalau kamu lapar, makan nasi yang Ibu bungkus dari rumah tadi. Lagipula kamu tadi juga udah makan, kok sekarang minta makan lagi," celoteh Bu Romlah."Beda, Bu. Aku ngidam pingin makan makanan yang dimasak sama Mbak Maya sendiri," sahut Hesti seenaknya.Maya yang sudah paham akan sifat adiknya, akhirnya bersuara. Dia tak mau terus menerus dimanfaatkan oleh Hesti karena semakin dia menerima dan mengalah maka adiknya itu akan semakin menjadi, sifatnya hampir sama dengan Pak Amir, bapaknya."Kalau kamu lapar, ambil sendiri makanan yang ada di meja makan. Jangan suka main perintah seenak kamu, di sini jangan bertingkah seperti di rumahmu sendiri," ucap Maya penuh penekanan."Mbak kok kamu gitu, sih. Aku ini lagi hamil, loh! Jangan ketus sama orang hamil, bisa kualat kamu nanti!" sahut Hesti, tak terima."Jaga sikapmu, Hesti! Kalau sikapmu masih saja seenaknya, mending kamu pulang saja!" Bu Romlah merasa geram."Ibu ini kenapa, sih jadi belain Mbak Maya terus? Apa karena Mbak Maya ba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status