Share

Pasrah

Aku melirik Mas Galih, dia pun tahu soal ini. Tapi dia hanya diam saja tak berusaha membelaku.

Aku lihat dia malah asyik bermain bersama Farel, anak dari Dewi sepupu jauhnya. Kenapa aku melihat mereka seperti keluarga kecil yang bahagia?

Dewi seorang janda, suaminya baru saja meninggal karena kecelakaan. Dia dan Mas Galih masih saudara jauh, mungkin dari nenek terdahulu.

"Coba lihat, Farel senang banget sama Galih ya, seperti anak dan ayah," ucap Mbak Diana seraya melirikku.

"Iya, wajar saja Mas Galih menyukai Farel, dia sangat menginginkan anak. Mbak Maya aja yang gak peka," sindir Dikna kepadaku.

Aku diam tak menaggapi perkataan mereka, percuma saja karena di sini suaraku seakan tak didengar.

"Tapi mungkin Maya emang belum siap punya anak, sih. Coba aja lihat belum punya anak saja dia udah kumel begitu. Gak ada menarik-menariknya ya, 'kan. Beda sama Dikna atau pun Dewi, meskipun mereka udah beranak tapi penampilannya masih cetar." sambung Mbak Diana.

"Bukannya belum siap, Mbak. Dia kayak yang udah ngerep banget punya anak tapi mungkin dia man-dul," ucap Dikna dengan tersenyum mencemooh.

Mbak Diana dan Dewi tertawa kecil menanggapi ucapan Dikna. Apa mereka pikir ini lucu?

Sekali lagi aku lirik Mas Galih dengan mata berkaca-kaca. Dia menatapku sejenak, namun tak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya.

Sakit banget Ya Allah ... di hari yang suci ini kenapa mereka malah mengukir dosa lagi. Apa mereka tak tahu bahwa setiap kata yang mereka ucapkan sudah menyayat hatiku.

Aku juga perempuan biasa sama seperti mereka. Aku juga punya hati yang jika disakiti akan terasa perih.

Tak dapat lagi aku bendung air mata yang mulai menetes, apakah aku begitu buruk sehingga dengan mudahnya mereka menjadikan aku bahan cacian.

Tak ingin mendengarkan olokan mereka lagi, aku lantas balik badan dan ingin masuk kembali ke dapur.

"Eh, Maya! Kamu mau ke dalam, kan? Sekalian ambilin makan buat mereka semua, cepetan!" perintah ibu tanpa mempedulikan perasaanku.

Aku seka dengan kasar air mata yang hendak tumpah dengan punggung tangan. Sampai kapan aku bisa menerima semua ini. Andai saja aku punya seseorang yang mau mendengar keluh kesahku, pasti ... ah entahlah!

Di dapur, air mataku mengalir deras. Masih terekam bagaimana mereka mengataiku.

"Maya ...." terdengar suara lembut Mbak Nisa. Perempuan itu memberikan aku tisu untuk menghapus air mataku.

"Maaf, Mbak tidak bisa menghentikan mereka," ucap Mbak Nisa dengan rasa bersalah.

Aku ambil tisu pemberiannya. "Gak apa-apa, Mbak. Mungkin aku memang layak diperlakukan seperti ini."

"Hust! Jangan bicara seperti itu, Allah sangat menyayangimu, maka dari itu dia menempamu dengan ujian seperti ini. Yakinlah suatu hari nanti, pasti akan ada pelangi dalam hidupmu." ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Mbak Nisa kemudian memelukku erat dan dia kembali berbisik di telingaku.

"Kamu harus yakin, May ... suatu saat nanti hidupmu akan berubah,"

Aku tersenyum demi mendengar penuturannya. Setidaknya di sini masih ada yang peduli padaku.

"Ehm ... jadi yang mana nih, yang mau dibawa ke depan? Biar Mbak bantu ya," Mbak Nisa berkata dengan senyum di wajahnya.

Andai aku mempunyai kakak secantik dan sebaik dia, pasti hidupku akan bahagia sekali.

"Ini, Mbak. Rendangnya aku taruh di wadah dulu ya, nanti tolong dibawa ke depan," ucapku dengan senyum mulai merekah.

"Nah, gitu dong. Kamu cantik kalau tersenyum seperti itu, sangat cantik!" puji Mbak Nisa yang berhasil membuatku tersipu malu.

Kuserahkan mangkok kaca besar yang berisi daging rendang kepada Mbak Nisa.

"Ini aja, Mbak. Yang lain biar aku yang bawa," ucapku.

"Ya udah kamu siapin aja dulu, setelah ini Mbak akan ke sini lagi membawa yang lainnya," tuturnya.

"Siap, Mbak cantik!" seruku.

Mbak Nisa tersenyum manis dan membawa wadah itu ke depan.

Aku juga menyiapkan wadah untuk soto daging. Juga piring dan sendoknya, setelah itu nasi beserta kerupuknya juga sudah aku siapkan di meja.

"Mana lagi, May?" tanya Mbak Nisa ketika menghampiriku.

"Itu, Mbak. Bawa nasi sama kerupuknya aja, yang lain biar aku bawa. Terima kasih ya," ucapku.

"Tak masalah, aku senang melakukannya," jawabnya.

****

"Rendangnya enak banget, Bu. Siapa ini yang masak?" tanya Mas Haris.

Ibu dan Mbak Diana saling melirik, tak ada jawaban untuk pertanyaan mudah Mas Haris.

"Pasti kamu yang masak iya kan, May?" Mbak Nisa bertanya kepadaku yang duduk bermain bersama anaknya.

"Iya, Mbak," jawabku lirih.

"Ehm pantesan! Rasanya kurang pas aja di lidahku," sahut Dikna tiba-tiba menyela.

"Bukannya selama ini kamu selalu lahap makan di sini, Dik? Padahal tiap hari juga aku yang masak," celetukku.

"Ah itu mah karena terpaksa, kalau gak makan lapar," jawab Dikna dengan muka memerah, mungkin dia malu.

"Kan bisa saja kamu beli online atau ke warung kalau memang tidak cocok sama masakanku," aku mulai emosi dengan perkataan adik iparku itu, sama sekali tak ada sungkan denganku yang lebih tua.

"Kelamaan, Mbak. Lagian kenapa juga, sih aku makan di rumah orangtuaku sendiri, kok. Justru kamu tuh yang harus tahu diri, cuma numpang di sini," ucapnya dengan mata melotot.

"Udah, udah apaan, sih. Kamu juga Maya kenapa tiba-tiba nyolot begitu sama Dikna!" ibu berteriak kepadaku.

"Jelas aja nyolot, Bu. Dari tadi anak ibu ngomporin Maya terus." Mas Haris yang sedari tadi asyik bermain ponsel, seperti tak memperhatikan kami ikut berkomentar.

"Mas Haris! Kenapa mesti ikut-ikutan?" teriak Dikna.

"Makanya jangan semena-mena sama orang kalau gak mau dibales. Dari tadi kalian itu nyudutin Maya terus tau gak. Terus dimana suamimu kenapa dia gak menemui mertuanya lebaran begini?" tutur Mas Haris.

Dikna tak menjawab, aku lihat mulutnya maju beberapa senti karena cemberut.

"Diana, katanya pacarmu lebaran ini mau silaturrahim ke sini?" tanya Bulik Nur kepada Mbak Diana.

"Iya, Bulik. Nanti sore atau gak besok pagi ke sininya. Sekarang kan dia masih sibuk dengam keluarga besarnya." jawab Mbak Diana.

"Oh ya, wah ... jadi penasaran nih, dia orang mana? Kerjaannya apa, ganteng gak?" tanya Bulik Nur beruntun.

Mbak Diana senyam-senyum sendiri setelah Bulik Nur berkata seperti itu.

"Ganteng, dong. Kerjaannya juga mapan, dia manager di perusahaan tempat aku bekerja. Makanya setelah menikah nanti aku bakal resign." sahut Mbak Diana.

Semua berdecak kagum mendengar penuturan Mbak Diana. Pentesan Mbak Diana selalu menjaga penampilannya, ternyata calonnya seorang manager.

Ibu dan ayah mertua tersenyum bangga saat Mbak Diana bercerita soal pacarnya.

****

Bulik Nur dan Dewi sudah pamit pulang sedari tadi. Mas Haris, anak dan istrinya juga sudah undur diri karena mereka ingin melanjutkan silaturrahim ke kerabat lainnya.

Aku sudah membereskan semua gelas dan piring kotor bekas makan semua orang.

"Maya, cepetan sini deh!" seru Mbak Diana saat aku hendak masuk kamar untuk beristirahat.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku begitu sudah di depannya.

"Kamu bersihin semua rumah dan isi lagi toples-toples yang sudah kosong karena nanti sore pacarku jadi datang ke sini," ucap Mbak Diana.

"Udah, Mbak. Semua sudah aku sapu ulang, sampah-sampah juga sudah aku buang. Terus toples kosong sudah diisi lagi karena jaga-jaga jika ada tamu sewaktu-waktu," jawabku menjelaskan.

"Ya udah sapu dan pel ulang lagi, jangan lupa pasang juga pengharum ruangan! Pokoknya aku mau rumah ini terlihat rapi dan bersih juga wangi." cerocos Mbak Diana.

"Iya, Mbak," jawabku pasrah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status