Share

Pria Misterius

BUGH!

Mas Galih melemparku dengan bantal, matanya nyalang menatapku penuh kemarahan.

"Sekali lagi kamu membantah, aku suruh kamu tidur di luar!" seru Mas Galih dengan mata berkilat.

Sakit rasanya hatiku diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri. Bukan karena dia melempar aku dengan bantal tapi karena sikapnya yang kasar dan tak menganggapku sebagai teman hidup.

"Kenapa, mau nangis lagi? Bosen lama-lama aku sama kamu, udah gak bisa nyenengin suami malah ngeyel terus kalau dibilangin." Mas Galih menggerutu.

Aku menunduk menghindari tatapannya, tak ingin dia semakin marah karena imbasnya pasti tak akan bagus buatku.

"Buruan pijitin, jangan sampai aku berubah pikiran!" seru Mas Galih padaku.

Dengan menahan sesak di dada aku memijit tubuh Mas Galih. Yang aku heran, seharian ini dia cuma rebahan sambil bermain game di ponsel, kenapa dia mengeluh sakit seluruh tubuhnya.

Karena lelah dan mengantuk, kadang pijitanku berhenti tanpa aku sadari.

"Maya! Kamu niat apa gak sih mijitnya" Mas Galih berteriak.

"I-iya, Mas." aku berkata seraya memijit kembali tubuh suamiku.

Setelah aku rasa selesai, aku berbaring di sisi Mas Galih. Belum juga semenit mata ini terpejam, aku rasakan ada sentuhan di bagian sens*tif tubuhku.

"Mas?!" aku terkejut.

"May, aku pingin banget," bisik Mas Galih di telingaku.

Mau tak mau aku pun melayani hasrat suamiku, meskipun tubuh ini lelah, batin ini tersiksa aku tak bisa menolaknya.

****

Sebelum subuh aku sudah harus bangun. Banyak pekerjaan yang masih menungguku.

Kucuci beras dan menanaknya. Setelah itu aku memanaskan kembali soto dan rendang yang sudah aku masak semalam.

Terdengar adzan subuh berkumandang. Aku tinggalkan pekerjaanku untuk sesaat dan mandi wajib setelah itu aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Dalam tiap sujudku aku berdoa untuk masa depan yang lebih baik karena aku tak ingin hidup seperti ini terus.

Setelah itu aku menyapu dan membersihkam rumah. Pintu kamar ibu terbuka dan dia langsung bertanya kepadaku.

"May, kamu udah masak nasi?" tanyanya.

"Sudah, Bu. Soto dan rendangnya juga sudah aku panaskan," jawabku.

"Terus itu kenapa toples-toplesnya belum diisi kue?" tanyanya dengan menatapku sinis.

"Iya, Bu. Setelah ini aku kerjakan," sahutku.

"Masak harus disuruh beberapa kali baru paham. Gitu tuh, kalau cuma lulusan SMP apa-apa gak paham mesti dijelaskan berulangkali baru ngeh," cerocos mertuaku di pagi buta begini.

Apa hubungannya coba, kenapa dia mesti mengungkit pendidikanku yang memang sampai SMP saja.

Aku memang berasal dari keluarga tak punya. Bapak dan ibuku menolak keinginanku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka malah menyuruhku untuk bekerja agar bisa membantu perekonomian keluarga.

Sebagai anak pertama aku memang harus banyak mengalah dari adikku. Bahkan saat aku sekolah dulu, aku seringkali harus membayar sekolah sendiri tanpa bantuan orangtua.

Aku membantu tetanggaku apa saja asal bisa mendapatkan uang yang tak seberapa. Mulai dari membantu Bang Rudi di kedai baksonya, membantu mencuci baju milik Tante Virna tetanggaku dan juga membantu Mak Apah di sawah.

Jika aku meminta Bapak uang untuk membayar sekolah maka dia akan menghardikku dan memintaku untuk berhenti sekolah.

Kini setelah menikah pun kehidupanku bukannya lebih baik, justru di sini aku lebih seperti pembantu dari pada menantu.

"Heh, ngelamun mulu ya kerjaan kamu!" mertuaku sudah berkacak pinggang di depanku.

Tak mau membantahnya, aku memilih pergi meninggalkannya dan kembali berkutat dengan kesibukanku.

Setelah semua selesai, aku meminta ijin kepada ibu mertua untuk sholat ied di masjid dekat rumah. Aku tak mau melewatkan momen spesial di hari yang suci ini.

Sebelum itu aku membangunkan Mas Galih agar mengikuti sholat ied di masjid.

"Mas, bangun! Apa kamu gak ikut sholat ied di masjid?" tanyaku saat dia mengerjap menatapku.

"Aku masih ngantuk, kamu berangkat sendiri saja," ucapnya lalu dia menarik kembali selimutnya.

Aku menghela nafas panjang, selalu saja begini. Suamiku itu sulit sekali jika aku memintanya sholat.

Percuma saja jika aku memaksa membangunkannya, yang ada dia akan marah dan mengomeliku panjang lebar.

"Bu, toples-toplesnya sudah diisi dengan kue, aku mau minta ijin untuk mengikuti sholat ied dulu," ucapku takut.

"Iya berangkat sana. tungguin Diana, katanya dia mau bareng," ucap mertuaku.

Aku cukup senang karena biasanya mertuaku tak pernah mengijinkan aku keluar rumah bahkan untuk sholat teraweh sekali pun. Alasannya karena dia takut aku berkumpul dan berghibah bareng teman-temanku, sungguh tak masuk akal menurutku.

Mbak Diana terlihat sudah siap dengan mukenah barunya, dia memang cantik apalagi penampilannya juga selalu mengikuti tren masa kini.

Dia menatap dan memindaiku dengan pandangan tak suka.

"Kamu mau pergi dengan mukenah kumel begitu?" tanyanya sinis.

"Iya, Mbak. Aku cuma punya satu mukenah,"sahutku.

"Malu-maluin keluarga Raharjo aja kamu ya, mimpi apa Galih punya istri udik begini,"

Aku hanya menunduk tak berani membantah kakak iparku. Mbak Diana masuk kembali ke dalam kamarnya dan dia keluar lagi dengan membawa mukenah yang lain.

"Nih, pake punyaku! Tapi setelah ini cuci lagi dan kembalikan!" seru Mbak Diana dengan tatapan tajam.

Aku lantas mengambil mukena itu dan segera memakainya.

"Maya, cepetan!" teriak Mbak Diana yang sudah menuggu di luar.

"Iya, Mbak," sahutku dengan berlari kecil ke arah Mbak Diana.

"Lelet banget kamu, ayo lekas berangkat nanti gak dapet shaf depan lagi," omel Diana.

Aku lihat rumah tetangga yang terletak di depan rumah mertua. Rumah berpagar tinggi itu, berdiri seorang pria menatap ke arah kami, seolah dia sedang mengamati gerak-gerik kami.

Dia tetangga kami di sini, tapi dia sangat misterius dan tidak pernah berinteraksi dengan para tetangga.

Aku sering juga menjumpainya di pagi buta saat membuang sampah di luar, pria misterius itu selalu menatapku dengan tajam, membuatku bergidik ketakutan, apalagi suasana masih sepi. Terbayang dia akan menculik dan memakanku seperti orang-orang psikopat yang sering aku jumpai di cerita creepypasta.

"Heh, ngapain kamu mengamati duda sombong itu?" gertak Mbak Diana mengagetkanku.

"Eh, enggak, Mbak. Aku cuma penasaran aja kenapa dia selalu melihatku seperti itu," ucapku lirih.

"Halah, jangan GR kamu! Gak mungkin lah pria itu suka sama kamu. Kamu itu terlalu kucel makanya dia heran kenapa Galih bisa punya istri kampung*an sepertimu," cerocosnya.

Sebelum berangkat, Mbak Diana mengambil foto selfi dirinya dan menguploadnya di sosial media miliknya.

Mbak Diana tampak susah berjalan karena dia memakai higheels di jalanan yang tidak rata. Hampir saja dia jatuh kepleset jika aku tidak berhasil menangkapnya.

"Duh, kamu tuh ya. Peka dikit kenapa?" Mbak Diana kembali marah.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku tak paham.

"Pinjemi sandal kamu itu! Udah tahu aku hampir jatuh," teriak Mbak Diana.

"Eh, iya Mbak. Ini pakai aja sandalku," ucapku seraya menyerahkan sandalku kepada Mbak Diana.

Maya kemudian menerima sandal yang diberikan oleh Diana dan hendak memakainya.

"Eh ... eh ... eh mau ngapain kamu? Itu sandal mahal ya, jangan dipakai!" Mbak Diana melotot kepadaku.

"Lah, terus aku pakai apa, Mbak?" tanyaku tak mengerti pola pikirnya.

"Kamu telanj*ng kaki aja! Kan orang udik udah biasa tuh!" ucapnya dengan memicingkan matanya kepadaku.

Akhirnya aku pun pasrah berjalan ke masjid dengan telanjag kaki, aku pikir nanti kan bisa ambil wudhu lagi di sana.

Baru beberapa langkah kami melanjutkan perjalanan, seseorang memanggil kami.

"Mbak, tunggu sebentar! Ini pake sandal saya," ucapnya seraya meletakkan sandal di depan kakiku.

Aku melongo tak percaya, begitu pun Mbak Diana. Pria itu rela berjalan telanj*ang kaki demi aku.

****

Notes :

Yang penasaran dengan sosok pria misterius, bisa spill ceritaku yang berjudul "Dihina Suami Setelah Aku Melahirkan" ya, kak .... terima kasih🤗

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status