Share

Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!
Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!
Penulis: Fiska Aimma

Salam Dari Papa

Hari Senin.

"Bu Guru! Ada salam, dari Papah!"

Aku hanya tersenyum lalu mengelus pipi bakpau anak itu, kemudian berlalu setelah memeluknya.

Hari Selasa.

"Bu Guru, Papah titip salam!"

Aku bengong menatap mata bening Gio yang enggak berdosa.

Lagi, anak itu melakukannya.

"Dan ini buat Bu Guru dari Gio, ini permen kesukaan Gio, Papah yang membelikannya, sekarang jadi milik Bu Guru!"

"Eh, Gio tapi kan ini milik Gio, masa buat Ibu?"

"Gak apa-apa, pokoknya ini buat Ibu ayo terima Bu!"

Gio kali ini memaksaku untuk menerima permennya, dengan ragu aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih pada Gio, bukan pada papanya.

Hari itu jujur aku berdoa agar ucapan salam dari orang tua muridku itu berhenti, karena guru-guru di SD tempatku mengajar sudah mulai menggodaku. Namun, ternyata sayang, doaku belum terkabul.

Hari-hari berikutnya, Gio selalu datang menemuiku, baik di ruang kelas maupun di ruang guru hanya untuk sekedar menyampaikan salam dari papanya yang duda tersebut secara terus-menerus.

Hingga aku lelah dan bingung bagaimana menjelaskan pada Gio, kalau aku tidak mau menerima salam dari papanya yang telah mengkhianatiku di masa lalu.

Semua ini terjadi karena beberapa waktu yang lalu aku, Gio dan papanya yang ternyata Dewa yang juga mantan kekasihku, tanpa sengaja bertemu di supermarket tempat biasa aku berbelanja kebutuhan sehari-hari.

*****

"Bu Guru, ada salam dari Papah, katanya makasih udah jadi guru Gio!"

Seperti biasanya, Gio menghampiriku saat aku sudah selesai memberikan PR dan hendak beranjak meninggalkan ruangan kelas.

"Salam balik Gio, tapi bilangin sama Papah ya? Kalau Bu Guru sudah cukup nerima salamnya," ujarku lembut. Aku membungkuk untuk menyamakan tinggi dengan tubuhnya yang mungil.

"Kenapa Bu?" tanya Gio sambil mengerucutkan bibirnya yang menggemaskan. Kedua pipi bakpaunya mengembung lucu.

"Karena kalau kebanyakan salam nanti bingung jawabnya," ujarku asal. Kucubit hidungnya gemas, padahal ini salah satu cara untuk menetralkan hati yang kian berdenyut.

Anak itu tertawa geli sampai pipinya yang putih memerah.

"Iya, sama-sama Bu Guru, kalau gitu Gio mau istirahat dulu, ya? Nanti Gio bilangin ke Papah, biar dia gak hanya kirim salam!" ujar Gio iseng lalu berlari keluar kelas.

Aku menghela nafas sambil berdiri memandang tubuh Gio yang perlahan menghilang di balik pintu.

Jika dipikir-pikir Gio itu memang jail, niatnya untuk menjadikanku Ibu kedua setelah Ibunya meninggal karena melahirkannya belum surut juga, walaupun aku sudah coba menelaskan secara perlahan dengan menggunakan bahasanya.

Gio masih anak kelas satu SD, dia salah satu anak yang baik dan penurut di kelas yang aku ampu, sayang dia memiliki seorang Ayah yang mendengar namanya saja aku benci dialah Dewangga Prasetya.

Kehadiran Gio sebagai anak Dewa dan Yuli membuatku teringat lagi akan kejadian masa lalu yang kelam.

Tidak heran, ketika pertama kali melihat Gio aku sudah terpaku pada sosok anak itu, karena dari segi manapun Gio tampan seperti Dewa. Hidungnya mancung dengan mata hazel yang bening mirip dengan Dewa.

Sejujurnya, aku ingin menyesalkan kala aku sadar, bahwa kini aku sedang terjebak dalam situasi tak mengenakan ini.

Setelah susah payah, aku keluar dari zona kesakitan karena Dewa bahkan akhirnya aku bisa keluar dari situ dan memutuskan akan menikah dengan Dimas, dengan serta-merta aku merasa kini pertahanan hatiku kembali diuji. Semua hanya karena kehadiran orang yang aku benci di dunia ini.

(***)

"Jangan lupa PR-nya dikerjakan ya anak-anak? Ingat loh, habis pulang sekolah jangan kemana-mana lagi ya? Langsung Pulang oke?" Aku mengakhiri aktivitas ngajar Matematika di kelas satu hari ini.

Selayaknya anak SD, mereka membuatku kehabisan tenaga, maka tak jarang sehabis mengajar, aku sangat kelelahan namun aku tetap menyenangi mereka.

Anak-anak muridku mengangguk ceria, mereka berebut menyalamiku satu persatu, tidak jarang ada yang saling senggol karena gak sabar keluar kelas. Kecuali Gio, anak itu seperti biasanya berbaris paling belakang.

"Bu guru, ada salam dari Papah terus aku disuruh Papak kasih ini ... katanya buat Bu Guru!"

"Apa ini Gio?"  Mataku membulat ketika tangan kecil Gio memberikan setangkai bunga mawar merah.

Apalagi yang diperbuat Dewa kali ini? Sungguh aku mulai tidak nyaman menerimanya. Orang itu kebangetan, dia memperalat Gio untuk mendekatiku? Dasar gak gentleman.

"Ini bunga mawar buat Bu Guru. Kata Papah kasih ke Ibu," jawab Gio polos.  Aku berjongkok, kembali mensejajarkan diri dengan Gio.

"Gio, apa pesan Bu Guru udah Gio sampein ke Papah?" tanyaku lembut tanpa ada kesan menuduh anak itu.

Gio mengangguk, "Udah," jawabnya.

"Terus kenapa Papah Gio masih mengirim salam? Dan bunga ini? Kenapa bunga ini dikasih ke Bu Guru?" Aku mengambil setangkai bunga itu.

"Karena Papah bilang, Bu Guru cantik sama kaya bunga ini. Gio pingin Bu Guru jadi istri Papah!"

Degh!

"Gio?"- Aku menatap wajah Gio lamat-lamat anak sekecil itu berpikir mencarikan istri untuk papanya? Apa saja yang diceritakan Dewa pada Gio? Aku harus menemuinya.

"Bu Guru, jangan nikah sama Om itu ya!"

"Om yang mana Gio?"

"Om yang ketemu sama Gio waktu Om itu jemput Bu Guru!"

Astaghfirullah! Aku menatap Gio terkejut lalu gak berapa lama tubuhku refleks memeluk Gio. Sekarang, aku tersergap rasa bingung karena tanpa sadar aku sedih mendengar permintaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status