Batara mengajak Syaila untuk berbicara, keluar dari kedai atas persetujuan Sujadi karena kebetulan Nizam datang dan bisa menggantikan pekerjaan Syaila.Di sebuah kedai kopi sekarang mereka berada, duduk berhadapan dengan dua kopi yang berlahan uapnya mulai habis, mungkin karena minuman itu tidak kunjung dicicipi pemiliknya sebab sibuk diam tanpa sebuah obrolan yang sebelumnya telah dirancang dalam pikiran."Eum ... Bapak mau bicara apa, ya?" Pada akhirnya Syaila menjadi orang pertama yang memecahkan keheningan diantara riuhnya kepala Batara."Saya ... Saya ...," ucap lelaki berkacamata itu bimbang."Saya?" Dahi si wanita mengernyit. Kepalanya sampai miring menunggu kalimat selanjutnya yang akan Batara ucapkan."Saya, ah kenapa kamu keluar dari pabrik? Saya tanya rekan kerja kamu katanya kamu keluar. Dan di CV kamu tidak ada nomor ponsel, saya bingung mau hubungin kamu lewat apa."Syaila terdiam. Maksudnya, kenapa pria di seberangnya ini terlihat sangat khawatir?"Saya hanya ingin tahu
Keesokan harinya Batara benar-benar datang ke dusun lantai dua untuk menjenguk Geino seperti janjinya tadi malam.Tapi di tengah perjalanan menuju pintu rumah Syaila ia malah banyak mendapatkan cibiran lagi, namun kali ini mereka lebih berani menatap Batara dengan raut wajah kebencian. "Oh dia kembali lagi, apa mereka enggak malu?""Iya, semalam juga suami saya liat Syaila diantar pulang sama pria itu. Sudah jelas Syaila pasti jadi simpanan pria itu.""Cih! Pak rt seharusnya harus ambil tindakan tegas nih! Dusun kita jangan sampai jadi tempat zina!"Batara berhenti melangkah, ia sudah cukup muak mendengarnya tuduhan itu terlontar bertubi-tubi padanya."Kalian tahu Syaila simpanan saya dari mana? Saya menikah saja belum. Bagaina caranya Syaila jadi simpanan Syaila?" ucap Batara seperti lelucon yang sebenarnya curhatan hatinya."Akh! Itu pasti hanya sebuah alasan. Agar dia bisa lebih leluasa datang ke rumah Syaila." Mereka menyetujui ucapan wanita berambut setengah ubanan itu."Tersera
"Hei! Udah mama bilang dia temen mama, Nak. Jangan gitu ah, mama mau fokus urus kamu. Mana ada mama pacar-pacaran. Mama bukan anak remaja," kata Syaila.Geino hanya menaikan bahu kirinya, melanjutkan main game. "Kalau misal ada yang lamar bagaimana?" Tiba-tiba Batara menyahut. Syaila tersenyum hambar. "Haha mana ada laki-laki yang mau sama saya? Enggak punya apa-apa, jangan kan pria yang tertarik sama saya, orang-orang yang ada di sekitar saya saja membenci saya karena status saya."Batara tidak menanggapi lagi, pria itu hanya secara diam-diam mencuri Padang pada Syaila.Entah apa yang terjadi pada dirinya, Batara juga tidak mengerti. Tapi ketika ia bersama Syaila rasanya ia selalu ingin melindungi wanita itu. Ia tidak suka bila ada orang menyakitinya. Awalnya ia hanya sedikit kagum dengan keberanian dia saat membantah kepala bagian yang berbuat semena-mena terhadapnya. Seiring berjalannya waktu, Batara semakin sering bertemu dengan Syaila, juga kejadian dia yang tidak sengaja hamp
"Wah cantiknya .... "Dipuji seperti itu membuat pipi Syaila kemerahan. Dress selutut berwarna peach yang membalut tubuh sempainya diterpa angin juga rambutnya yang digerai. Wanita itu tersenyum tipis."Bisa aja, yaudah ayo. Nanti siang saya mau urus sekolahan baru Geino," kata Syaila."Geino mau pindah sekolah?" Batara bertanya, cukup terkejut. Setahunya Geino bahkan belum genap satu tahun bersekolah di sekolahannya yang sekarang."Iya, saya gak mau anak saya celaka lagi di sana."Batara hanya mengangguk, kemudian ia membukakan pintu mobil untuk Geino—yang duduk di belakang, dan Syaila yang duduk di sampingnya.Setelah semuanya naik ke dalam mobil, Batara segera melajukan mobilnya. Ia sangat semangat sampai sedari kemarin senyumnya tidak luntur hanya karena membayangkan betapa senangnya ia akan jalan-jalan bersama Syaila."Kamu enggak keberatan kan temenin saya sekarang?" Buka Batara. Laki-laki itu akan lebih banyak bicara bila sedang bersama Syaila."Enggak apa-apa lah. Saya kan jug
Karena Syaila berpesan sebelumnya akan pergi ke sekolahan Geino baru, Batara tanpa pikir panjang langsung ke tempat di mana biasanya ia membeli play station sewaktu ia masih remaja dulu.Tempat yang menjadi langganannya, penjualnya bahkan sudah berganti generasi. "Selamat datang, dan selamat berbelanja di toko kami. Apa yang bisa saya bantu?" sapa anak dari pemilik toko ini. Ya, Batara hafal betul sebab perempuan berseragam ini seumuran dengannya. Dulu sekali Batara sering melihat dia ikut menjaga toko dan sekarang dia menggantikan usaha orang tuanya."PS keluaran baru masih stok?" tanya Batara."Masih, seperti biasa di sebelah kiri," kata perempuan itu tersenyum ramah."Oke saya lihat-lihat dulu, ya?"Batara mengajak Syaila juga Geino untuk melihat-lihat. Sebenarnya Geino hanya Batara jadikan alasannya untuk pergi jalan-jalan bersama Syaila. Tentu saja Batara sangat tahu betul tentang PS. "Kira-kira om ambil yang mana, ya?" tanya Batara pada Geino yang sibuk dengan dunianya sendiri
Pria itu bernama Heri Winata, orang kepercayaan keluarganya. Dia adalah salah satu saksi perkembangan perusahaan yang dikelola ayahnya. Dulu pak Heri merupakan sahabat ayahnya, sebab itu ayah Syaila mempercayakan Heri sebagai penasihat sekaligus orang yang dia percaya.Yang Syaila heran, untuk apa pria berjas yang sudah ia anggap sebagai orang tua keduanya itu datang menemuinya. Ia tidak perlu bertanya kenapa beliau bisa menemuinya di tempat terpencil ini. Heri jelas bukan orang biasanya, hanya untuk menemukan keberadaan Syaila itu urusan yang kecil baginya. Tapi bukan kah Syaila sekarang bukan lagi bagian dari keluarga nya sendiri? Itu berarti antara ia dan Heri juga tidak ada urusan apa-apa lagi, seharusnya. Karena Heri memiliki ikatan kuat dengan keluarga Syaila."Bapak udah dua bulan ini nyari kamu. Sampai akhirnya anak buah bapak ada yang melihat kamu sedang ada di sebuah kedai." Pria yang sering menyebut dirinya bapak itu buka suara.Sebuah kedai dekat halte yang akhirnya menjad
Mungkin Syaila belum mengerti alasan mengapa dulu ayahnya sangat amat menentang perceraiannya dengan Azka. Namun setelah menilik lebih jauh, setelah semalaman ia berpikir tentang permohonan pak Heri kemarin ia baru bisa paham. Sepertinya ayahnya takut jika perusahaan yang menjadi kebanggaan nya itu diambil alih oleh keluarga Azka. Karena keluarga Azka menjadi penanam saham paling besar.Tapi meski begitu, jujur Syaila masih belum menerima. Yang membuatnya menyetujui permintaan pak Heri, ia hanya ingin melihat Azka menderita seperti yang Syaila rasakan selama ini. Atau ia membawa sebuah misi untuk kembali ke kota."Kenapa tiba-tiba mau pindah, Ma? Om Batara bilang mau ke sini nanti. Pulang dia kerja. Apa kita nungguin dia dulu?" tanya Geino. Syaila tidak tahu sudah sedekat apa antara anaknya dan Batara. Namun yang Syaila ketahui, mereka sekarang sudah seperti sepasang ayah dan anak yang serasi."Gak usah, Nak. Kita buru-buru. Nenek sama kakek sekarang lagi sakit. Di bawah sudah ada ora
"Pak stop sebentar," kata Syaila tepat di depan kedai pak Sujadi.Mobil berhenti, kemudian wanita itu turun untuk menemui Sujadi yang nampak sedang membersihkan kedai."Kan kedai buka nanti sore, Nak," kata pria itu sesaat setelah Syaila berdiri di hadapannya. Syaila tersenyum. "Enggak, Pak. Saya ke sini mau pamit. Saya mau pulang lagi ke kota," paparnya.Kening sempit Sujadi mengerut. Antara bingung dan terkejut. "Pindah?" Syaila mengangguk. "Kenapa?""Ada urusan yang sangat mendesak, Pak. Terima kasih sudah pernah kasih kepercayaan untuk saya kerja di sini. Bapak banyak bantu saya selama di sini. Semoga kebaikan bapak Tuhan balas dengan kebaikan yang tidak terduga," ucap Syaila.Sujadi menepuk-nepuk pundak Syaila pelan. Tersenyum hangat sampai matanya menghilang. "Bapak enggak tahu seperapa berat beban kamu saat kamu menawarkan diri untuk berkerja di sini. Kamu perempuan tangguh, bapak yakin itu. Tetap jadi orang kuat, ya? Sehat-sehat.""Bapak juga sehat-sehat. Salamin juga sama Ni