Sidang berlanjut dengan argumen baru dari pihak Azka. "Bicara tanpa adanya bukti hanyalah sebuah omong kosong yang tidak bermakna. Hati-hati jika bicara, atau mulut anda akan berbalik mencelakai anda sendiri," kata Ferdi ditengah panasnya persidangan.Ia memang dibayar untuk membela Syaila sebagai pengacara, tapi melihat Syaila yang diperlakukan buruk oleh orang yang pernah perempuan itu cintai, Ferdi merasa prihatin. Amarahnya tersulut juga."Tentu saja kami memiliki bukti," balas Jaya mengeluarkan sebuah map yang entah apa isinya. Pria berkaca mata itu menyerahkan map itu kepada hakim ketua.Ketiga anggota hakim itu saling adu pandang, saling berbisik setelah melihat apa isi map tersebut. Cukup lama, hingga keheningan persidangan itu kembali hidup."Apakah anda dapat mempertanggungjawabkan apa yang anda katakan dengan bukti ini?" Hakim ketua bertanya pada pihak Azka.Syaila masih belum mengerti, sampai hakim ketua itu memperlihatkan isi dari map tadi. Beberapa foto yang dicetak den
Sudah hampir jam sepuluh malam Syaila belum juga sampai ke tujuannya. Puluhan pesan yang dikirim Nadira ia abaikan, tidak peduli sahabatnya nanti akan mengomel. Sebuah motor matic terus melaju dengan kecepatan tinggi, sebab si pengendara ingin cepat-cepat sampai.Dua puluh menit kemudian Syaila sampai, ia menengadah pada bangunan berlantai yang pernah ia kunjungi itu. Jauh-jauh ia datang ke tempat ini untuk suatu misi yang ia harap dapat membantunya dipersidangan Minggu depan.Lantas tanpa menunggu lebih lama, kakinya melangkah. Karena malam belum terlalu larut, masih banyak orang yang masih berlalu lalang, beberapa sedang menego harga kamar yang mereka akan sewa. "Selamat malam, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Syaila."Saya ada perlu penting," kata Syaila.Dahi perempuan di hadapannya mengerut. "Ada perlu apa?" tanyanya heran. Syaila sedikit mendekat, menempelkan tubuhnya di meja panjang itu. "Sebulan lalu saya pernah ke hotel ini
Setelah satu Minggu berikutnya berlalu, tiba saatnya Syaila untuk mendengarkan putusan hakim. Duduk di kursi bersampingan dengan Azka membuat Syaila sungguh tidak nyaman. Karena demi apapun melihat wajah pria itu rasanya Syaila ingin muntah."Sidang hari ini saya buka."Tok tok tokTidak ada perdebatan yang memanas seperti Minggu lalu. Hakim hanya terus bertanya secara bergantian. Sesekali hakim meminta pendapat pada pengacara dari pihak Syaila maupun Azka."Satu Minggu kami sudah berdiskusi, memilih siapa yang kami pikir akan lebih berhak atas putra saudara-saudara sekalian. Saya putuskan .... "Syaila mengepalkan tangannya kuat-kuat, melapalkan doa sebisanya."Saya putuskan sebaiknya putra dari kalian tinggal bersama saudara penggugat."Wajah Syaila mendongak tidak percaya. Ia sampai meneteskan air matanya, mengucapkan syukur pada sang pencipta.Sementara berbeda dengan Azka yang tiba-tiba berdiri, tidak terima dengan putusan hakim. "Saya lebih berhak, Yang mulia!" katanya."Saudara
"Malam itu gue pergi ke hotel bokap lo, buat ngambil rekaman cctv kamar yang Azka sewa. Saat gue memergoki dia lagi sama Maya. Sebenarnya Azka memang enggak sebodoh itu, dia udah ngambil cuplikan Vidio dia lebih dulu. Buat jaga-jaga kayaknya. Mungkin setelah gue pergi waktu itu, gue enggak tahu."Sore itu jalanan cukup lenggang tidak seperti hari-hari biasnya. Pembicaraan mereka berlanjut dengan serius. Nadira sebagai pendengar dan pengemudi sekaligus nampak mendengarkan setiap kata yang diucapkan Syaila dengan baik."Tapi Azka juga enggak sepintar yang orang-orang kenal. Gue enggak perlu Vidio menjijikkan itu untuk gue sebar. Apalagi cuma buat ngebela diri gue sendiri. Gue cuma butuh rekaman saat Azka dan Maya masuk ke kamar terus gue datang, itu udah cukup jadi bukti kuat. Lagian hakim juga enggak mungkin liat Vidio enggak layak kan?"Nadira mengganguk. "Terus kenapa pas pagi-pagi tiba-tiba banyak reporter di rumah gue? Nyariin lu?" tanya Nadira.Syaila terkekeh. "Gue kasih beberapa
Hari sudah berganti menjadi malam, Syaila dan Nadira kini sedang menulusuri jalan, mencari pedagang nasi goreng. Sebab sudah waktunya makan. Dua wanita itu akan lebih memilih pergi keluar walaupun diterjang hujan, dari pada harus bergelut dengan panasnya minyak di dapur. Alias tidak bisa memasak selain mi instan."Nasi Padang aja enggak si? Perasaan enggak nemu-nemu tukang nasi goreng," celetuk Nadira. Kakinya sudah terasa pegal dan kesemutan."Di sana ada. Enggak sabaran banget," balas Syaila ketus."Ya lama elah! Tenggorokan gue kering nih!" eluh Nadira."Yaudah lo tunggu di sini, biar gue yang beli. Lagian rumah kok jauh dari kehidupan masyarakat!" Syaila meninggalkan Nadira yang mengomel karena tidak terima rumahnya di dikatai jauh dari kehidupan masyarat. Nadira lantas masuk ke mini market untuk meredakan rasa dahaganya.Sementara Syaila, ia sudah sampai di tempat nasi goreng yang ia maksud. " Tiga, Pak," pesannya.Penjual pria itu mengangguk setelah memperlihatkan senyum ramahny
Selepas menghabiskan makan malam, Syaila dan Nadira berlanjut menonton televisi bersama. Dan lagi-lagi topik berita di televisi menyiarkan perihal berita perselingkuhan Azka. Namun sayangnya, uang tetap menjadi pemenang. Bagai habis terjatuh tertimpa tangga, fakta yang beredar dimasyarakat adalah Syaila yang tidak tahu diri sebagai seorang istri.Bahkan seminggu terakhir Syaila merasa tidak nyaman sebab tidak sedikit yang memandangnya tidak suka ketika ia sedang berada di luar. Orang-orang seolah melihat benda paling menjijikkan saat melihat Syaila.Maka dari itu Syaila tidak berani untuk keluar, atau ia akan mencari angin pada malam hari dengan memakai Hoodie Seperi tadi."Gila, ya? Gue pikir Azka enggak sejahat itu. Ternyata semua keluarganya juga sama aja. Muak gue liat manusia maodelan kaya gitu!" Nadira akan menjadi orang yang menggebu-gebu jika membicarakan perihal Azka."Gue juga enggak nyangka. Laki-laki yang selama ini gue anggep baik ternyata lagi nyembunyiin topeng berengse
"Sya? Sya sumpah, ya masa gue belum aja interview udah ditolak duluan cuma gara-gara ternyata perusahaan itu lagi kerja sama dengan perusahaan Azka! Gila, ya. Kalau gue mati kelaperan karena enggak punya duit bakal tanggung jawab apa dia?" Nadira mengoceh selepas membanting kan tubuhnya di sofa, melemparkan tasnya kesembarang arah."Sya?" Dia kembali memanggil ketika tidak ada sahutan apapun. Keningnya mengernyit. "Sya?" Sekali lagi dia memanggil.Bangunlah Nadira, berjalan menuju kamar Syaila yang ternyata menutup pintunya. "Tidur apa, ya?" gumamnya.Penasaran, lantas Nadira membuka kamar itu perlahan. Namun bukannya ia menemukan Syaila yang sedang meringkuk di ranjang, kamar itu nampak gelap dan tidak ada sang penghuni seperti yang Nadira duga."Kemana?" Ia berjalan masuk.Matanya menyusuri setiap sudut kamar. Hingga kamar mandi yang ada di dalam. "Apa nih?" Nadira menemukan sebuah amplop coklat yang ditindih pas foto kecil beserta sepucuk surat dengan tulisan tinta merah di meja r
Di sebuah kota kecil, jauh dengan hirup pikuk dari kehidupan kota akhirnya Syaila sampai. Wanita itu sudah banyak tahu sebelum benar-benar pindah dari kota. Rumah dusun yang lumayan murah, pas dengan sisa uang yang Syaila miliki."Kita tinggal di sini?" Geino bertanya sembari melihat bangunan dengan banyak pintu itu tidak rela.Anak itu seolah tidak terima dengan keadaan kamar yang sempit dan lembab. Dia sudah terbiasa dengan kekayaan papa nya."Iya, Nak. Kita tinggal dulu di sini sementara. Kalau mama udah dapet kerjaan nanti, di pindah ke rumah yang lebih layak, " jelas Syaila.Geino dengan mengatakan apa-apa, setelah Syaila membuka pintu dan membiarkan dia masuk.Keadaan kamar dusun itu sangat parah dari dugaannya. Debu di mana-mana sampai bersarang laba-laba. Sepertinya memang sudah lama tidak ditinggali. Dengan semangat yang menggebu-gebu, Syaila melipat lengan bajunya siap untuk berperang, membersihkan rumah barunya hingga bersih.Syaila memang tidak terbiasa melakukan pekerjaa