Share

5. Pertemuan Pengacara

Penulis: Laradin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-04 20:57:35

Siang ini Syaila mempunyai janji untuk bertemu dengan pengacara yang akan mendampingi sidang perceraiannya nanti.

Di sebuah kafe yang lumayan terkenal di ibu kota, wanita cantik dengan paras mengintimidasi itu sekarang duduk. Ia sudah menghabiskan setengah gelas kopi yang ia pesan, namun orang yang ia tunggu tidak kunjung datang.

"Nadira jadi enggak, sih! Bawa pengacara kenalannya itu," decak Syaila. Matanya mengedar ke setiap sudut kafe berharap sang sahabat muncul membawa pengacara yang Nadira bicarakan tempo hari.

Beberapa saat setelahnya, ketika Syaila sibuk dengan ponselnya berusaha menghubungi Nadira, sahabatnya itu muncul dengan senyum lebar nampak merasa bersalah.

"Sorry, tadi gue sama Pak Ferdi mampir buat sarapan dulu hehe."

Lantas mereka duduk. Walaupun ekspresi Syaila masih tidak mengenakan. Karena kesal sudah lama menunggu.

"Sya, kenalin ini Pak Ferdi pengacara yang waktu itu gue ceritain," buka Nadira.

Laki-laki dengan stelan formal itu tersenyum ramah. "Saya Ferdi Ghani Mahesya," kata lelaki itu seraya mengulurkan tangan.

Dengan senyum seadanya, Syaila menyambut uluran itu. "Syaila, senang mengenal anda."

"Nah! Langsung aja nih, jadi gini, Fer." Nadira dengan wajah seriusnya.

Kening Syaila mengernyit mendengar cara bicara Nadira yang tiba-tiba berubah. Menyadari perubahan ekspresi heran Syaila , Nadira paham. Ia lantas berdehem.

"Ekhem, santai Sya. Sebenarnya Ferdi ini temen gue pas kuliah. Kita juga seumuran jadi boleh lah jangan formal-formal ngomongnya. Iyakan, Fer?" tanya Nadira pada pengacara muda itu.

"Oh, santai aja," balas Ferdi dengan senyum sungkan.

"Nahkan. Muka lo jangan galak-galak Sya, ngapa dah?"

"Bukan gitu, lo tuh kebiasaan kalo enggak diingetin omongan lo enggak bisa di rem. Gimana kalo nanti pak Ferdi gak jadi bantuin gue?" balas Syaila ketus. Sudah tahu betul bagaimana kelakuan Nadira.

"Yeu, enggak gitu juga." Nadira berdecak tidak terima.

"Haha, santai aja. Saudara juga bisa panggil saya Ferdi aja. Biar lebih enak ngobrolnya. Kita seumuran, kok," sahut Ferdi menengahi.

"Oke. Kita mulai aja kalau begitu. Jadi gini, rumah tangga saya sudah berjalan 13 tahun. Saya sudah punya anak berusia 12 tahun. Dan dua hari lalu saya memergoki suami saya tengah bermain dengan perempuan lain, dengan alasan khilaf," jelas Syaila. Kentara sekali dari tatapan Syaila yang tiba-tiba meredup ketika kembali menceritakan kisah pelik rumah tangganya. Bahwa ia masih merasa sedih.

"Saya sudah mengajukan gugatan perceraian karena keputusan saya sudah bulat untuk berpisah dengan suami saya," lanjut Syaila.

"Lalu saudara menginginkan segera dipercepat prosesnya?" tanya Ferdi.

Syaila diam beberapa saat. Lalu matanya kembali beralih pada Ferdi. "Sebelum menikah saya menyepakati sebuah perjanjian pra-nikah bersama suami saya." Syaila menunjukkan sebuah amplop berisi perjanjian itu kepada Ferdi yang lantas segera laki-laki itu baca.

"Di sini tertera saudara dan suami menyepakati bahwa jika ada diantara saudara dan suami berkhiat dalam tanda kutif berselingkuh, harta yang dihasilkan setelah menikah akan diberikan kepada orang yang dikhianati. Berarti saudara akan menggugat ini?" Ferdi kembali bertanya setelah membaca beberapa poin dalam akta perjanjian itu.

Syaila mengangguk. "Iya, jujur saja saya tidak ingin melakukan ini. Tapi putra saya berhak atas apa yang sudah selama ini saya usahakan. Saya tidak rela jika keringat saya dinikmati begitu saja oleh selingkuhan suami saya."

"Terlepas dari apapun alasan dari saudara, itu memang sudah hak saudara selama ucapan saudara dapat dibuktikan dipengadilan nanti. Karena saudara dan suami sudah menandatangi ini, akta perjanjian ini sah secara hukum," ucap Ferdi yang dibalas anggukan oleh Syaila.

"Jadi saya harus bagaimana agar bisa membuktikan itu nanti?" Syaila kembali bertanya.

"Saudara membutuhkan seorang saksi!"

Pembicaraan mereka berlanjut semakin serius. Syaila juga menanyakan perihal hak asuh anak. Karena sebagai orang yang awam akan hukum ia perlu memiliki sedikit percerahan agar tidak salah mengambil langkah.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Pembicaraan mereka selesai bertepatan dengan waktu makan siang.

"Kalau gitu mending kita makan siang dulu sebelum pulang. Lo lagi enggak sibuk kan, Fer?" tanya Nadira.

Laki-laki yang kini sudah menanggalkan jasnya itu mengangguk. "Free kok. Santai aja."

"Lo, Sya?" Nadira kembali bertanya hanya untuk memastikan sabahatnya yang gila kerja itu tidak akan pamit untuk segera kembali ke kantor.

"Enggak, santai aja. Gue sekarang pengangguran. Jadi bebas haha." Syaila terkekeh hambar.

Mendengar itu mata Nadira membulat sempurna. "Serius? Jangan bercanda! Masa bos dipecat?"

Tidak seperti reaksi Nadira yang berlebihan, Ferdi hanya diam menyimak karena memang dia tidak mengetahui apapun tentang klien barunya itu.

Syaila menegakkan tubuhnya."Bokap gue enggak setuju gue cerai sama Azka. You know bisnis bokap itu bisa sukses kaya sekarang atas bantuan keluarga Prabakesa. Dan bokap ngancem kalau gue enggak cabut gugatan cerai gue, gue enggak bakal dianggap keluarga lagi," terangnya.

"Demi apa?" lagi-lagi reaksi Nadira membuat orang-orang menoleh ke arah meja mereka. Sampai Syaila harus memukul lengan sahabatnya itu agar mengecilkan suaranya.

"Biasa aja dong! Malu tahu gak?" ucap Syaila kesal. "Lagi pula ini bisa jadi pelajaran buat gue. Gue bisa kok hidup sendiri tanpa mereka."

"Tapi ... Tapi kaya gue gak habis pikir aja sama bokap lo." Nadira geleng-geleng kepala.

"Ya, mungkin ini juga berat buat mereka. Yaudah lah jangan ngomongin hidup gue yang menyedihkan ini. Mending kita makan aja," putus Syaila. Ia hanya tidak ingin terus meratapi kesedihannya dengan terus mengungkit apa yang sudah terjadi.

Bohong bila Syaila sudah tidak merasa sedih. Hatinya masih lebam tanpa sisa. Namun bagaimana lagi, semuanya yang terjadi tidak dapat ia ubah. Selain dihadapi, ia juga harus berusaha kuat untuk dirinya sendiri juga Geino putra tunggalnya.

"Lo mau makan apa?" tanya Nadira membuyarkan lamunan Syaila.

"Samain aja kaya kalian."

Sembari menunggu pesanan mereka datang, Nadira bercengkrama ria dengan Ferdi. Sebab sudah lama tidak bertemu. Sementara Syaila tidak turut serta dalam pembicaraan. Ia hanya melamun tanpa suara.

"Argh!"

Syeila tersentak saat mendengar suara rintihan Ferdi. Ia menoleh hanya untuk menemukan Ferdi tengah berada di samping nya sedikit mencondongkan tubuhnya.

"Maaf, Pak saya tidak sengaja." suara pelayan terdengar dari balik punggung Ferdi.

Baik Nadira dan Syaila tentu terkejut. Apalagi Nadira yang menyaksikan itu secara jelas.

Syaila lantas berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Rupanya Ferdi menghalangi bahu Syaila agar tidak terkena sup panas yang tumpah karena pelayan yang membawa pesanan mereka tersandung.

Punggung Ferdi mengeluarkan kepulan, pun dengan pelayan perempuan itu yang terus meminta maaf.

"Bapak enggak apa-apa?" tanya Syaila panik seraya berusaha melihat punggung Ferdi yang basah.

"Enggak apa-apa kok. Tenang saja," jawab Ferdi. Tangannya sibuk menyingkirkan potongan sayuran yang masih tertinggal di bahunya.

Sementara Nadira hanya menutup mulutnya terkejut. Perempuan itu tidak melakukan apapun, hanya berdiri menyaksikan.

"Maaf, ya. Saya antar ke rumah sakit saja. Sepertinya punggung bapak melepuh," ucap Syaila.

"Tidak usah. Saya juga masih memiliki urusan. Kalau gitu saya permisi. Dan untuk Mbanya," tutur Ferdi pada pelayan perempuan itu. "Tenang saja saya tidak akan melaporkan ini kepada manager anda. Tapi lain kali harus lebih hati-hati, ya. Saya duluan."

"Terima kasih, Pak," jawab pelayanan perempuan itu dengan nada bergetar. Ia lantas berlalu setelah selesai membersihkan semua kekacauan yang ia berbuat.

Ferdi beranjak setelah sebelumnya mengambil jas yang ia sampirkan di kursi.

"Gila! Si Ferdi gentle banget. Tapi lo enggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Nadira. Perempuan itu sampai memutar-mutar tubuh Syaila untuk memastikan Syaila tidak ikut terkena sup panas tadi.

"Enggak apa-apa kok. Tapi Ferdi beneran enggak apa-apa? Gue takut nanti punggung nya melepuh, lho?"

Entah dibagian mana yang lucu, Nadira malah merespon kekhawatiran Syaila dengan senyum menggoda.

"Malah senyam-senyum! Gue serius Nadira. Tahu ah! Gue balik duluan!" Syaila juga ikut meninggalkan kafe itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bucin berujung Sengsara   145. Selesai

    "Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha." Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya." Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang

  • Bucin berujung Sengsara   144. Karma tidak akan salah berlabuh

    Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah,

  • Bucin berujung Sengsara   143. Berita Gembira

    Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhny

  • Bucin berujung Sengsara   142. Tiba-tiba Kangen

    Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya." Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wa

  • Bucin berujung Sengsara   141. Hadeuhhh

    "Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?" "Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini." Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perem

  • Bucin berujung Sengsara   140. Pasutri Baru

    Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya. "Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis. Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status