Siang ini Syaila mempunyai janji untuk bertemu dengan pengacara yang akan mendampingi sidang perceraiannya nanti.
Di sebuah kafe yang lumayan terkenal di ibu kota, wanita cantik dengan paras mengintimidasi itu sekarang duduk. Ia sudah menghabiskan setengah gelas kopi yang ia pesan, namun orang yang ia tunggu tidak kunjung datang."Nadira jadi enggak, sih! Bawa pengacara kenalannya itu," decak Syaila. Matanya mengedar ke setiap sudut kafe berharap sang sahabat muncul membawa pengacara yang Nadira bicarakan tempo hari.Beberapa saat setelahnya, ketika Syaila sibuk dengan ponselnya berusaha menghubungi Nadira, sahabatnya itu muncul dengan senyum lebar nampak merasa bersalah."Sorry, tadi gue sama Pak Ferdi mampir buat sarapan dulu hehe."Lantas mereka duduk. Walaupun ekspresi Syaila masih tidak mengenakan. Karena kesal sudah lama menunggu."Sya, kenalin ini Pak Ferdi pengacara yang waktu itu gue ceritain," buka Nadira.Laki-laki dengan stelan formal itu tersenyum ramah. "Saya Ferdi Ghani Mahesya," kata lelaki itu seraya mengulurkan tangan.Dengan senyum seadanya, Syaila menyambut uluran itu. "Syaila, senang mengenal anda.""Nah! Langsung aja nih, jadi gini, Fer." Nadira dengan wajah seriusnya.Kening Syaila mengernyit mendengar cara bicara Nadira yang tiba-tiba berubah. Menyadari perubahan ekspresi heran Syaila , Nadira paham. Ia lantas berdehem."Ekhem, santai Sya. Sebenarnya Ferdi ini temen gue pas kuliah. Kita juga seumuran jadi boleh lah jangan formal-formal ngomongnya. Iyakan, Fer?" tanya Nadira pada pengacara muda itu."Oh, santai aja," balas Ferdi dengan senyum sungkan."Nahkan. Muka lo jangan galak-galak Sya, ngapa dah?""Bukan gitu, lo tuh kebiasaan kalo enggak diingetin omongan lo enggak bisa di rem. Gimana kalo nanti pak Ferdi gak jadi bantuin gue?" balas Syaila ketus. Sudah tahu betul bagaimana kelakuan Nadira."Yeu, enggak gitu juga." Nadira berdecak tidak terima."Haha, santai aja. Saudara juga bisa panggil saya Ferdi aja. Biar lebih enak ngobrolnya. Kita seumuran, kok," sahut Ferdi menengahi."Oke. Kita mulai aja kalau begitu. Jadi gini, rumah tangga saya sudah berjalan 13 tahun. Saya sudah punya anak berusia 12 tahun. Dan dua hari lalu saya memergoki suami saya tengah bermain dengan perempuan lain, dengan alasan khilaf," jelas Syaila. Kentara sekali dari tatapan Syaila yang tiba-tiba meredup ketika kembali menceritakan kisah pelik rumah tangganya. Bahwa ia masih merasa sedih."Saya sudah mengajukan gugatan perceraian karena keputusan saya sudah bulat untuk berpisah dengan suami saya," lanjut Syaila."Lalu saudara menginginkan segera dipercepat prosesnya?" tanya Ferdi.Syaila diam beberapa saat. Lalu matanya kembali beralih pada Ferdi. "Sebelum menikah saya menyepakati sebuah perjanjian pra-nikah bersama suami saya." Syaila menunjukkan sebuah amplop berisi perjanjian itu kepada Ferdi yang lantas segera laki-laki itu baca."Di sini tertera saudara dan suami menyepakati bahwa jika ada diantara saudara dan suami berkhiat dalam tanda kutif berselingkuh, harta yang dihasilkan setelah menikah akan diberikan kepada orang yang dikhianati. Berarti saudara akan menggugat ini?" Ferdi kembali bertanya setelah membaca beberapa poin dalam akta perjanjian itu.Syaila mengangguk. "Iya, jujur saja saya tidak ingin melakukan ini. Tapi putra saya berhak atas apa yang sudah selama ini saya usahakan. Saya tidak rela jika keringat saya dinikmati begitu saja oleh selingkuhan suami saya.""Terlepas dari apapun alasan dari saudara, itu memang sudah hak saudara selama ucapan saudara dapat dibuktikan dipengadilan nanti. Karena saudara dan suami sudah menandatangi ini, akta perjanjian ini sah secara hukum," ucap Ferdi yang dibalas anggukan oleh Syaila."Jadi saya harus bagaimana agar bisa membuktikan itu nanti?" Syaila kembali bertanya."Saudara membutuhkan seorang saksi!"Pembicaraan mereka berlanjut semakin serius. Syaila juga menanyakan perihal hak asuh anak. Karena sebagai orang yang awam akan hukum ia perlu memiliki sedikit percerahan agar tidak salah mengambil langkah.Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Pembicaraan mereka selesai bertepatan dengan waktu makan siang."Kalau gitu mending kita makan siang dulu sebelum pulang. Lo lagi enggak sibuk kan, Fer?" tanya Nadira.Laki-laki yang kini sudah menanggalkan jasnya itu mengangguk. "Free kok. Santai aja.""Lo, Sya?" Nadira kembali bertanya hanya untuk memastikan sabahatnya yang gila kerja itu tidak akan pamit untuk segera kembali ke kantor."Enggak, santai aja. Gue sekarang pengangguran. Jadi bebas haha." Syaila terkekeh hambar.Mendengar itu mata Nadira membulat sempurna. "Serius? Jangan bercanda! Masa bos dipecat?"Tidak seperti reaksi Nadira yang berlebihan, Ferdi hanya diam menyimak karena memang dia tidak mengetahui apapun tentang klien barunya itu.Syaila menegakkan tubuhnya."Bokap gue enggak setuju gue cerai sama Azka. You know bisnis bokap itu bisa sukses kaya sekarang atas bantuan keluarga Prabakesa. Dan bokap ngancem kalau gue enggak cabut gugatan cerai gue, gue enggak bakal dianggap keluarga lagi," terangnya."Demi apa?" lagi-lagi reaksi Nadira membuat orang-orang menoleh ke arah meja mereka. Sampai Syaila harus memukul lengan sahabatnya itu agar mengecilkan suaranya."Biasa aja dong! Malu tahu gak?" ucap Syaila kesal. "Lagi pula ini bisa jadi pelajaran buat gue. Gue bisa kok hidup sendiri tanpa mereka.""Tapi ... Tapi kaya gue gak habis pikir aja sama bokap lo." Nadira geleng-geleng kepala."Ya, mungkin ini juga berat buat mereka. Yaudah lah jangan ngomongin hidup gue yang menyedihkan ini. Mending kita makan aja," putus Syaila. Ia hanya tidak ingin terus meratapi kesedihannya dengan terus mengungkit apa yang sudah terjadi.Bohong bila Syaila sudah tidak merasa sedih. Hatinya masih lebam tanpa sisa. Namun bagaimana lagi, semuanya yang terjadi tidak dapat ia ubah. Selain dihadapi, ia juga harus berusaha kuat untuk dirinya sendiri juga Geino putra tunggalnya."Lo mau makan apa?" tanya Nadira membuyarkan lamunan Syaila."Samain aja kaya kalian."Sembari menunggu pesanan mereka datang, Nadira bercengkrama ria dengan Ferdi. Sebab sudah lama tidak bertemu. Sementara Syaila tidak turut serta dalam pembicaraan. Ia hanya melamun tanpa suara."Argh!"Syeila tersentak saat mendengar suara rintihan Ferdi. Ia menoleh hanya untuk menemukan Ferdi tengah berada di samping nya sedikit mencondongkan tubuhnya."Maaf, Pak saya tidak sengaja." suara pelayan terdengar dari balik punggung Ferdi.Baik Nadira dan Syaila tentu terkejut. Apalagi Nadira yang menyaksikan itu secara jelas.Syaila lantas berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Rupanya Ferdi menghalangi bahu Syaila agar tidak terkena sup panas yang tumpah karena pelayan yang membawa pesanan mereka tersandung.Punggung Ferdi mengeluarkan kepulan, pun dengan pelayan perempuan itu yang terus meminta maaf."Bapak enggak apa-apa?" tanya Syaila panik seraya berusaha melihat punggung Ferdi yang basah."Enggak apa-apa kok. Tenang saja," jawab Ferdi. Tangannya sibuk menyingkirkan potongan sayuran yang masih tertinggal di bahunya.Sementara Nadira hanya menutup mulutnya terkejut. Perempuan itu tidak melakukan apapun, hanya berdiri menyaksikan."Maaf, ya. Saya antar ke rumah sakit saja. Sepertinya punggung bapak melepuh," ucap Syaila."Tidak usah. Saya juga masih memiliki urusan. Kalau gitu saya permisi. Dan untuk Mbanya," tutur Ferdi pada pelayan perempuan itu. "Tenang saja saya tidak akan melaporkan ini kepada manager anda. Tapi lain kali harus lebih hati-hati, ya. Saya duluan.""Terima kasih, Pak," jawab pelayanan perempuan itu dengan nada bergetar. Ia lantas berlalu setelah selesai membersihkan semua kekacauan yang ia berbuat.Ferdi beranjak setelah sebelumnya mengambil jas yang ia sampirkan di kursi."Gila! Si Ferdi gentle banget. Tapi lo enggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Nadira. Perempuan itu sampai memutar-mutar tubuh Syaila untuk memastikan Syaila tidak ikut terkena sup panas tadi."Enggak apa-apa kok. Tapi Ferdi beneran enggak apa-apa? Gue takut nanti punggung nya melepuh, lho?"Entah dibagian mana yang lucu, Nadira malah merespon kekhawatiran Syaila dengan senyum menggoda."Malah senyam-senyum! Gue serius Nadira. Tahu ah! Gue balik duluan!" Syaila juga ikut meninggalkan kafe itu.Selepas pulang dari kafe Syaila dikejutkan dengan semua barang-barangnya yang sudah berserakan di teras depan rumahnya, pun dengan Geino yang sedang memangku tas ransel. Buru-buru ia menghampiri sang putra dengan napas tersenggal."Ada apa ini? Kenapa semuanya di luar?" tanya Syaila pada Geino.Anak itu tidak bereaksi apapun, wajahnya masih datar seperti biasanya. "Geino! Jawab mama," sentak Syaila."Tadi ada banyak orang datang. Terus mereka bilang kita harus segera pergi dari sini karena ini rumah kakek," jelas Geino.Mendengar itu Syaila menunduk dalam. Menatap beberapa bajunya yang sudah kotor di lantai. Dadanya tiba-tiba sesak, ia tidak menyangka sang ayah yang selama ini ia hormati tega melakukan ini padanya. "Kita ke rumah papa aja, Ma. Aku juga mau ketemu papa," usul Geino ditengah keheningan.Dengan amarah yang meluap Syaila menoleh. "Enggak! Mama enggak sudi pulang ke rumah papa kamu. Kita ke rumah Mba Nadira saja. Bereskan semua barang-barang kamu."Geino sampai tersentak
Sore itu, suasana teras rumah Nadira berubah menegang karena kedatangan Azka yang tidak diduga. "Kamu jangan larang aku ketemu sama Geino, dia anak aku juga," ucap Azka. Bicaranya memang setenang itu, namun Syaila tahu, laki-laki itu sedang menekannya sekarang."Mending lo pergi aja dari sini. Lo ngerti kan kenapa Syaila bersikap kaya gini sama lo? Gue disini memang ngebela Syaila, tapi terlepas dari itu, coba intopeksi diri dulu dan balik kalau otak lo udah bener." Nadira ikut bersuara. Mulutnya tidak tahan lagi melihat ekspresi tidak bersalah Azka. Ia bahkan berpikir untuk meninju rahang suami sahabatnya itu—ah, akan menjadi mantan suami—dengan pengalaman juara dua taekwondo tingkat nasional dulu. Namun akal sehatnya masih berjalan. Ia bisa dituntut untuk hal itu.Diantara suara adu mulut yang tidak berhenti, suara dari belakang pungung Syaila mampu membuat perdebatan antar orang dewasa itu tertahan. Nadanya yang datar juga dingin. "Kenapa ribut-ribut? Bisakah kalian bertengkar den
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Syaila diam beberapa saat. Namun saat ia tidak sengaja saling adu pandang dengan Maya, yang rupanya turut hadir menyaksikan persidangan ia langsung menjawab tanpa berpikir lebih panjang."Saya yakin! Saya juga menolak untuk mediasi. Sebab saya pikir, diantara kami tidak perlu ada lagi yang harus diperbaiki."Semua orang yang ada di sana bereaksi terkejut, termasuk Ferdi yang duduk mendampingi nya langsung menoleh."Bukan hanya perihal tentang ketidak cocokkan lagi. Masalahnya ada pada dia." Syaila menoleh ke arah Azka. "Saya tidak mau hidup bersama orang yang telah mengkhianati pernikahannya sendiri."Suasana persidangan mendadak menegang. Wajah Azka merah padam. Bahkan keluarga Azka tidak terima dengan pernyataan yang Syaila lontarkan barusan. Mereka saling berbisik jika Syaila hanya berbicara omong kosong mencari pembelaan.Tiga hakim saling berbisik, tidak kalah menegangkan saat menunggu putusannya. "Baik jika begitu, sepertinya upaya mediasi ti
Pukul sembilan pagi, Syaila sudah duduk menghadap hakim untuk mengetahui putusan terakhir atas perceraiannya. Tidak seperti Minggu sebelumnya, hari ini Azka tidak hadir dalam persidangan hanya diwakilkan oleh pengacaranya. Itu tidak masalah bagi Syaila, justru jika pihak terkait tidak hadir akan memudahkan jalannya persidangan. "Demikian sidang pembacaan putusan hari ini, tujuh Desember 2022. Sidang saya tutup." Hakim ketua mengetuk palu tiga kali.Hari ini Syaila resmi menjadi janda. Ia bukan lagi istri dari Azka Prabakesa, laki-laki yang selama ini ia cintai. Putusan sidang perceraiannya membuat dada Syaila sedikit lenggang. Ia menghirup udara dalam dalam seraya terpejam. "Gue harus percaya sama diri gue sendiri," ucapnya.Di depan gedung pengadilan itu, Syaila tersenyum simpul. Ia menatap tulisan yang diukir besar di atas gedung. Ia harap setelah ini ia tidak akan kembali lagi kemari."Saya sudah mengajukan untuk harta gono-gini. Siapkan dan sertakan dukumen yang akan mendukung
Keesokan harinya, selepas mantan mertuanya mengusir Syaila tidak mengizinkan Syaila bertemu dengan Geino. Pagi-pagi sekali Syaila sudah berangkat ke sekolah putranya itu, untuk bertemu dengan anak semata wayangnya. Karena sungguh, meski ia jarang mengobrol dengan anak itu, rasa sepi selalu menyelimuti dirinya kala ia sedang sendiri.Mobil yang ia pinjam dari Nadira sudah ikut berjejer di barisan kendaraan lain di jalanan yang cukup lenggang.Sama seperti seorang ibu pada umumnya, ia tidak akan bisa diam jika urusannya menyangkut anak. Syaila masih bisa menahan diri ketika sang mantan ibu mertuanya menuduh dirinya yang tidak-tidak, tapi jika ada orang yang melarangnya menemui Geino, tidak peduli siapapun. Syaila tidak akan diam saja."Pak, boleh buka gerbangnya? Saya mau menemui anak saya." Sampainya di sekolah, pintu gerbang masuk rupanya sudah di tutup. "Oh, maaf, Bu. Jika tidak dalam keadaan darurat wali tidak dibolehkan masuk untuk ketentraman kegiatan belajar. Jika boleh tahu, a
Kedatangan mantan mertuanya ke sekolah Geino membuat Syaila terkejut. Apalagi wanita itu tiba-tiba menamparnya."Kemarin aku masih bisa diem aja ya, Ma, waktu mama perlakuin aku dengan buruk. Seharusnya mama enggak larang-larang aku buat ketemu sama anak aku sendiri," ucap Syaila. Wajahnya sudah memerah."Kamu enggak punya hak atas cucu saya. Dan sekarang kamu gugat harta gono-gini?" Wanita tua itu tertawa sengak. "Benar-banar enggak tahu diri. Nyesel saya pernah dukung anak saya buat nikah sama perempuan kaya kamu!"Dada Syaila memburu. Napasnya sudah sedari tadi tersenggal. Menahan amarah yang bisa kapan saja meledak. "Jelas aku punya hak atas Geino. Dia anak aku. Sebelum mama nyesel karena telah mendukung pernikahan aku sama Azka. Tanya dulu sama anak mama sendiri. Jangan memutar balikkan fakta! Oh, atau itu salah satu ajaran mama? Selalu bersembunyi atas kesalahan yang sudah dilakukan," sarkas Syaila.Air muka mama dari Azka merenggut. Keriput diwajahnya mengumpul di dahi. "Berani
Sakit hati Syaila atas perlakuan Azka padanya sudah tidak terbendung lagi. Mengetahui dari cerita Geino yang bilang bahwa papanya sudah mengenalkan Maya kepada Geino, menjadi sebuah pukulan paling menyesakkan. Dan yang membuat Syaila tidak menyangka, keluarga Azka bahkan tidak mempersalahkan itu? Apakah selama ini Syaila tidak dianggap? Bugh!"Awh!""Kalau jalan pake mata!" Perempuan dengan rambut digerai berkata dengan garang. Matanya bahkan seperti akan meloncat dari tempatnya.Syaila yang juga merasakan sakit dibagian bahu karena bertabrakan dengan bahu perempuan itu mendongak. Ia nyaris terjatuh jika tidak berpegangan pada pembatas koridor. "Jalan itu pake kaki. Kalau bicara pake otak bukan hanya mengandalkan mulut kamu yang tidak berguna itu." Syaila berdiri tegak kembali. "Sudah jelas-jelas salah kamu. Kenapa jadi kamu yang marah-marah?"Dia berdecih. Wajahnya masih sama menjengkelkan ketika terakhir Syaila bertemu, tempo hari, saat gadis itu tengah tidak mengenakan pakaian a
"Sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, hak asuh anak seharusnya jatuh kepada sang ibu kandung. Karena anak dari yang bersangkutan masih dibawah 12 tahun." Ferdi berdiri dari duduknya. Berjalan menghadap sang hakim ketua. Lima hari lalu, selepas Syaila meminta kepada mantan ibu mertuanya untuk bertemu Geino, dan malah dicaci, Syaila sungguh tidak terima. Sebagai seorang ibu, Syaila tidak bisa jauh dari putranya. Maka, Syaila meminta tolong kepada Ferdi agar mencabut gugatan harta gono-gini dan hanya mengajukan permohonan hak asuh anak.Beberapa hari kemudian Syaila mendapatkan panggilan dari pengadilan, sebab permohonannya dikabulkan. Dan hari ini sidang dilaksanakan dengan terbuka."Keberatan, Yang mulia." Pengacara dari Azka mengangkat tangannya tidak setuju.Semua atensi tertuju pada pria yang dikenal suka wara-wiri di televisi itu. Lantas setelah hakim ketua mempersilahkan pengacara itu bicara, Ferdi duduk kembali."Jika dilihat dari segi ekonomi pak Azka yang lebih pantas