Share

4. Memilih Pergi

Penulis: Laradin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-03 18:07:14

Sekali lagi, rupanya semesta tidak berpihak padanya. Syaila diam beberapa saat untuk meredakan rasa sesaknya. Di tempatnya berdiri ia menatap sang ayah dengan tatapan nanar.

"Aku ... Aku enggak pernah kepikiran sebelumnya kalau aku akan dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit ini," katanya. Air matanya masih senantiasa menetes, sampai beberapa kalimatnya terdengar tidak jelas karena bibirnya bergetar tidak sanggup untuk berkata.

"Tapi kalau ayah memang maunya kaya gitu, aku akan pergi dari sini. Tenang saja, aku enggak akan balik lagi. Ayah bisa hidup tenang dengan bisnis ayah. Dan, tolong jaga mama. Jaga kesehatan kalian juga."

"Nak ...," lirih Yunita. Wanita itu turut meneteskan air mata.

"Enggak, Ma. Lia enggak mau jadi perempuan yang tunduk sama suami yang salah. Azka bahkan enggak nyamperin aku buat minta maaf. Sudah jelas, perbuatannya enggak pernah ia sesali. Dan kenapa aku harus nahan orang yang bahkan enggak mau hidup sama aku lagi? Ayah atau mungkin mama belum percaya sama apa yang aku katakan barusan. Itu terserah kalian."

"Kalau keputusan yang kamu ambil memilih pergi dari sini, itu berarti kamu harus meninggalkan semua aset yang pernah ayah kasih ke kamu," ucap Praja.

Syaila tersenyum pilu. "Aku enggak masalah, Yah. Dari awal aku hidup juga atas kerja keras aku sendiri kan? Silahkan ambil semua yang pernah ayah kasih ke aku. Sekarang aku pamit."

Syaila melangkah dengan lebar, penggilan sang ibu ia abaikan hingga kakinya kembali menyentuh tanah perempuan itu tidak ada niatan sedikit pun untuk berbalik dan menyesali pilihannya sendiri. Mobil yang tadi ia bawa ke rumah orang tuanya ia tinggalkan, ia sudah teguh dengan pendiriannya.

Matahari yang menyengat sore itu tidak Syaila hiraukan. Ia terus berjalan melewati trotoar. Kini tidak ada tangis untuk sebuah luka yang kembali ia bawa, sebab rasanya kenyataan yang sudah ia dapatkan cukup membuatnya dihujam pelajaran. Tangisnya tidak akan berarti apa-apa jika sesal yang terus ia ucapkan.

Jarak rumahnya dengan rumah orang tuanya memang cukup jauh, maka ia memutuskan untuk menaiki kendaraan umum. Karena sepertinya sisa uang nya cukup.

Tidak butuh menunggu waktu berganti menjadi gelap, ia sampai di rumahnya. Seperti hari-hari biasanya Syaila akan menemukan sang putra tengah berbaring di sofa sembari memainkan game di handphone, sementara televisi dibiarkan menyala begitu saja.

Kehadirannya mungkin belum disadari Geino—putranya, Syaila diam beberapa saat menatap sang putra. Ia tidak cukup hati untuk memberi tahu kenyataan sebenarnya yang telah terjadi antara dirinya dan Azka. Sebab untuk anak seusia Geino ini akan menjadi luka yang bisa saja dia ingat sampai dia besar nanti.

"Kenapa mama berdiri di situ? Papa enggak pulang lagi?" Anak laki-laki berusia 12 tahun itu bersuara tanpa mengalihkan atensinya dari layar ponsel.

Syaila sedikit terhenyak, rupanya Geino sudah mengetahui kehadirannya sejak awal. "Mama mau ngomong sama kamu, Nak," ucap wanita itu seraya menghampiri sang putra.

"Apa?" Geino menegakkan tubuhnya. Menatap malas sang mama yang selama ini jarang ia temui karena kesibukkannya dalam bekerja.

"Mama, papa, juga kamu enggak bisa tinggal satu rumah lagi sekarang," jelas Syaila pelan-pela.

"Kenapa? Papa pindah? Aku mau ikut sama papa aja kalau gitu."

Ucapan Geino sungguh melukai hatinya. Inilah yang Syaila takutkan. Putranya akan lebih memilih Azka alih-alih dirinya. Ia sadar dirinya bukanlah ibu yang baik, tapi demi apapun ia tidak akan rela jika putranya nanti akan dibesarkan oleh perempuan seperti Maya.

"Nak ... Mama sama papa sudah enggak cocok lagi. Kami tidak bisa hidup bersama lagi. Tapi Geino enggak usah khawatir, kalau kamu mau ketemu papa, mama enggak akan ngelarang," tutur Syaila.

"Iya kenapa? Mama suruh papa pergi? Biar aku enggak ketemu papa tiap hari? Memang, ya dari dulu mama selalu egois." Putra tunggalnya itu pergi meninggalkan Syaila begitu saja.

"Geino!" panggil Syaila. Namun anak itu tetap melanjutkan langkahnya tidak menoleh sedikitpun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bucin berujung Sengsara   145. Selesai

    "Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha." Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya." Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang

  • Bucin berujung Sengsara   144. Karma tidak akan salah berlabuh

    Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah,

  • Bucin berujung Sengsara   143. Berita Gembira

    Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhny

  • Bucin berujung Sengsara   142. Tiba-tiba Kangen

    Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya." Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wa

  • Bucin berujung Sengsara   141. Hadeuhhh

    "Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?" "Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini." Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perem

  • Bucin berujung Sengsara   140. Pasutri Baru

    Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya. "Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis. Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status