Share

Memilih Pergi

Sekali lagi, rupanya semesta tidak berpihak padanya. Syaila diam beberapa saat untuk meredakan rasa sesaknya. Di tempatnya berdiri ia menatap sang ayah dengan tatapan nanar.

"Aku ... Aku enggak pernah kepikiran sebelumnya kalau aku akan dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit ini," katanya. Air matanya masih senantiasa menetes, sampai beberapa kalimatnya terdengar tidak jelas karena bibirnya bergetar tidak sanggup untuk berkata.

"Tapi kalau ayah memang maunya kaya gitu, aku akan pergi dari sini. Tenang saja, aku enggak akan balik lagi. Ayah bisa hidup tenang dengan bisnis ayah. Dan, tolong jaga mama. Jaga kesehatan kalian juga."

"Nak ...," lirih Yunita. Wanita itu turut meneteskan air mata.

"Enggak, Ma. Lia enggak mau jadi perempuan yang tunduk sama suami yang salah. Azka bahkan enggak nyamperin aku buat minta maaf. Sudah jelas, perbuatannya enggak pernah ia sesali. Dan kenapa aku harus nahan orang yang bahkan enggak mau hidup sama aku lagi? Ayah atau mungkin mama belum percaya sama apa yang aku katakan barusan. Itu terserah kalian."

"Kalau keputusan yang kamu ambil memilih pergi dari sini, itu berarti kamu harus meninggalkan semua aset yang pernah ayah kasih ke kamu," ucap Praja.

Syaila tersenyum pilu. "Aku enggak masalah, Yah. Dari awal aku hidup juga atas kerja keras aku sendiri kan? Silahkan ambil semua yang pernah ayah kasih ke aku. Sekarang aku pamit."

Syaila melangkah dengan lebar, penggilan sang ibu ia abaikan hingga kakinya kembali menyentuh tanah perempuan itu tidak ada niatan sedikit pun untuk berbalik dan menyesali pilihannya sendiri. Mobil yang tadi ia bawa ke rumah orang tuanya ia tinggalkan, ia sudah teguh dengan pendiriannya.

Matahari yang menyengat sore itu tidak Syaila hiraukan. Ia terus berjalan melewati trotoar. Kini tidak ada tangis untuk sebuah luka yang kembali ia bawa, sebab rasanya kenyataan yang sudah ia dapatkan cukup membuatnya dihujam pelajaran. Tangisnya tidak akan berarti apa-apa jika sesal yang terus ia ucapkan.

Jarak rumahnya dengan rumah orang tuanya memang cukup jauh, maka ia memutuskan untuk menaiki kendaraan umum. Karena sepertinya sisa uang nya cukup.

Tidak butuh menunggu waktu berganti menjadi gelap, ia sampai di rumahnya. Seperti hari-hari biasanya Syaila akan menemukan sang putra tengah berbaring di sofa sembari memainkan game di handphone, sementara televisi dibiarkan menyala begitu saja.

Kehadirannya mungkin belum disadari Geino—putranya, Syaila diam beberapa saat menatap sang putra. Ia tidak cukup hati untuk memberi tahu kenyataan sebenarnya yang telah terjadi antara dirinya dan Azka. Sebab untuk anak seusia Geino ini akan menjadi luka yang bisa saja dia ingat sampai dia besar nanti.

"Kenapa mama berdiri di situ? Papa enggak pulang lagi?" Anak laki-laki berusia 12 tahun itu bersuara tanpa mengalihkan atensinya dari layar ponsel.

Syaila sedikit terhenyak, rupanya Geino sudah mengetahui kehadirannya sejak awal. "Mama mau ngomong sama kamu, Nak," ucap wanita itu seraya menghampiri sang putra.

"Apa?" Geino menegakkan tubuhnya. Menatap malas sang mama yang selama ini jarang ia temui karena kesibukkannya dalam bekerja.

"Mama, papa, juga kamu enggak bisa tinggal satu rumah lagi sekarang," jelas Syaila pelan-pela.

"Kenapa? Papa pindah? Aku mau ikut sama papa aja kalau gitu."

Ucapan Geino sungguh melukai hatinya. Inilah yang Syaila takutkan. Putranya akan lebih memilih Azka alih-alih dirinya. Ia sadar dirinya bukanlah ibu yang baik, tapi demi apapun ia tidak akan rela jika putranya nanti akan dibesarkan oleh perempuan seperti Maya.

"Nak ... Mama sama papa sudah enggak cocok lagi. Kami tidak bisa hidup bersama lagi. Tapi Geino enggak usah khawatir, kalau kamu mau ketemu papa, mama enggak akan ngelarang," tutur Syaila.

"Iya kenapa? Mama suruh papa pergi? Biar aku enggak ketemu papa tiap hari? Memang, ya dari dulu mama selalu egois." Putra tunggalnya itu pergi meninggalkan Syaila begitu saja.

"Geino!" panggil Syaila. Namun anak itu tetap melanjutkan langkahnya tidak menoleh sedikitpun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status